Madah Rindu Maria

Hadis Mevlana
Chapter #3

Shir Hashirim

Fajar merangkak perlahan. Mesir mulai menampakkan pesonanya. Dua gadis kakak beradik, Maria dan Shirin, mulai sibuk seperti biasa. Shirin sibuk di dapur bersama Barirah, Potamiana dan beberapa pelayan lainnya. Sementara Maria seperti biasa masuk ke ruangan khusus tempat menyimpan jubah Megaukes. Hari ini ada pertemuan penting dengan pejabat dari negeri seberang. Maria memilihkan jubah berwarna merah tua. Jubah yang terbuat dari kain berbahan kapas terbaik di Mesir. Kain yang tepinya disulam dengan benang emas itu memiliki motif khas, garis-garis sejajar mengapit gambar mata elang perlambang perlindungan.

Maria memastikan dengan seksama tidak ada sedikit pun jahitan kain yang cacat. Maria memastian tak ada setitik pun noda atau warna yang memudar. Semua harus sempurna. Tak lupa, ia memberian wewangian di jubah Megaukes.

Dengan sangat berhati-hati, Maria mengambil wadah berbentuk buli-buli terbuat dari pualam berisi minyak wangi. Minyak yang terbuat dari akar wangi tumbuhan narwastu itu juga biasa dipakai sebagai urapan kudus dalam ibadah. Narwastu adalah tumbuhan berbunga merah muda yang namanya disebutkan begitu istimewa dalam kitab suci. Maria pernah mendengar kisahnya dari Abba Isaak1, lelaki rendah hati yang memilih mengabdikan dirinya menjadi rahib di Biara Kanopos.

“Mengapa minyak narwastu ini tidak dijual tiga ratus dinar dan uangnya diberikan kepada orang-orang miskin?” ucap Abba Isaak membacakan teks kitab suci bahasa Koptik dengan dialek Sahidik.

“Tiga ratus dinar?” tanya Maria terkejut, “semahal itu?”

Abba Isaak, lelaki berusia lebih dari delapan dasawarsa dan seluruh kepalanya sudah ditumbuhi uban itu mengangguk.

“Kitab suci mencatatnya sebagai tumbuhan mahal,” ucap Abba Isaak.

Maria menyimak dengan seksama.

“Jika ditakar harganya sekita upah satu orang dalam satu tahun di zaman Tuan kita Yehosyua Hamasyiakh hidup,” lanjut Abba Isaak. Lelaki itu hidup dan besar dari keluarga yang sebagian besar adalah seorang rabi2. Ia lebih terbiasa menyebut Yehosyua dibanding Iesous ketika menyebut nama Sang Mesias.

“Minyak ini pernah digunakan seorang wanita untuk mengurapi Iesous Pkhristos3, kan, Abba?”

“Benar sekali, Maria. Kau masih ingat tentang kisah itu?”

Maria mengangguk sambil menampilkan senyum indahnya.

***

Sambil mengidungkan kitab berbahasa Ibrani, Shir Hashirim, Maria memercikkannya narwastu pada jubah Megaukes. Harum narwastu pun semerbak memenuhi seisi ruangan. Entah mengapa, tiba-tiba Maria menyukai syair itu. Syair yang disenandungkan Abba Isaak saat Maria mengunjunginya beberapa waktu lalu. Seperti ada kekuatan magis di setiap bait yang dibacanya.

Hikkow mamtaqqim, wekullow mahamaddim; zeh dowdi wezeh re‘i, benowt Yerusalim.

“Bolehkah Abba mengajarkannya untukku?” ucap Maria sesaat Abba Isaak selesai menyenandungkan Shir Hashirim di serambi biara.

“Apa?”

“Kidung yang baru saja Abba lantunkan.”

Abba Isaak tertawa kecil. Maria bingung melihat ekpresi Abba.

“Kau sedang jatuh cinta, Maria?” tanya Abba Isaak tersenyum.

Maria terkejut mendengar ucapan Abba.

“Jatuh cinta?” Maria bertanya keheranan. “Ah, tidak Abba.”

Abba mengerutkan dahinya seolah tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan Maria.

“Bahkan saya tidak tahu arti ayat yang baru saja Abba baca.”

“Jadi kau tidak tahu arti kidung yang baru saja Abba lantunkan?”

Maria menggeleng dengan polosnya. Maklum saja, Maria tak begitu menguasai bahasa Ibrani. Berbeda dengan Abba Isaak yang memiliki kemampuan berbicara dengan berbagai bahasa. Setidaknya Abba Isaak menguasi dua bahasa lain selain bahasa Koptik. Sebagai orang yang hidup dan besar di keluarga Yahudi, tentu saja Abba Isaak fasih berbahasa Ibrani. Sementara itu sebagai rahib, tentu ia perlu menguasai bahasa Yunani. Beliau merasa sangat perlu mempelajari dua bahasa itu, sebab keduanya adalah bahasa yang dipakai untuk menulis kitab suci.

“Ada-ada saja kau Maria.” Abba Isaak tertawa kecil.

“Entah mengapa aku begitu suka dengan kidung yang baru saja Abba lantunkan. Nampaknya indah sekali. Aku seperti terbang.”

Abba Isaak bangkit dari duduknya dan berlalu dari hadapan Maria.

“Bisakah Abba mengajarkannya untukku?”

Langkah Abba Isaak terhenti. Ia memutar badannya. Didapatinya Maria dengan mata penuh kesungguhan mengharapkan agar Abba Isaak mengajarkan ayat kitab suci itu kepadanya. Abba Isaak menarik napasnya lalu mengeluarkannya perlahan. Dipandanginya Maria seraya bertanya dalam hati, gerangan apa yang menyebabkan gadis itu sangat tertarik dengan ayat yang baru saja dibacanya. Maria tertunduk. Tak sanggup menatap mata Abba Isaak yang begitu karismatik.

Lihat selengkapnya