“Bagaimana rasanya jatuh cinta?”
Seketika Maria tergemap mendengar ucapan Shirin saat mereka menuju Biara Kanopos. Usai menyerahkan jubah beberapa saat lalu, seperti biasanya, Megaukes memerintahkan Maria untuk mengantarkan beberapa bahan makanan. Mereka pergi ke biara dengan kereta yang dikendalikan oleh Shinouti. Sengaja, Shinouti yang dipilih mengiringi mereka untuk berjaga serta mengawasi keduanya dari bahaya selama di perjalanan. Lelaki itu paling bisa dipercaya dan Megaukes yakin pengawalnya itu mampu menjaga Maria, pelayan terbaik istana.
Maria sontak tergemap mendengar pertanyaan itu. Ucapan Shirin terdengar ringan, tapi menusuk seperti angin pagi yang menyelinap tanpa izin. Mereka sedang menuju Biara Kanopos dengan berecoout, kereta kuda yang rangkanya terbuat dari kayu akasia, rodanya berdiameter besar dan atapnya melengkung elegan. Sementara, badan kereta terbuat dari kayu cedar yang didatangkan dari Fenisia berbentuk persegi dengan dihiasi ukiran dan logam khas budaya Romawi Timur serta tradisi lokal Mesir. Atapnya dibuat sedikit melengkung. Kereta yang mereka tumpangi kali ini mampu menampung dua orang.
Megaukes, tuan mereka, sebenarnya bukan nama diri, melainkan sebuah gelar atau jabatan. Megaukes adalah jabatan penting di Mesir. Hanya orang-orang terpilih saja yang bisa mendapatkan jabatan itu. Setelah Mesir direbut kembali dari Kekaisaran Sassanid Persia oleh Kaisar Ieraklas, kini jabatan itu dipegang oleh Georgios Putra Menas, uskup Agung Aleksandria.
Gelar Megaukes tersebut sejajar dengan gelar megaloprepestatos, eudozotatos dan eukleestatos yang semakna dengan “Paduka Yang Mulia”. Lisan orang-orang Arab lebih nyaman menyebut Megaukes dengan sebutan Muqawqis. Seperti pengalaman Shinouti ketika bertemu dengan para pedagang Arab yang singgah di Aleksandria. Lidah para pedagang itu melafazkannya dengan sebutan Muqawqis. Sebagaimana mereka juga lebih mudah melafazkan nama Juraij untuk menyebut Georgios. Sementara, orang-orang Mesir lebih mudah melafazkan nama Gerges.
“Apa kau terlalu banyak minum erp[1] pagi ini?” goda Maria sambil melirik adiknya yang duduk di sebelah kirinya. “Bahkan matahari belum meninggi, tapi kau sudah melantur seperti orang mabuk.”
Shirin tertawa kecil. “Aku serius, Maria.”
“Entahlah. Aku sendiri belum pernah merasakannya,” jawab Maria sambil menatap keluar jendela. Sinar mentari menerobos lembut di antara tirai sutra, memantulkan bayangan wajahnya yang teduh.
Di depan, Shinouti mengendalikan dua ekor kuda dengan tenang. Lelaki itu dikenal setia, kuat, dan saleh. Megaukes—gelar bagi pejabat tinggi istana yang kini dipegang Georgios putra Menas, Uskup Agung Aleksandria—memilihnya untuk mengawal mereka. Maria tahu, tak ada tangan yang lebih aman daripada tangan Shinouti di sepanjang jalan menuju biara.
Maria dan Shirin duduk di belakang, di tempat duduk terbuat dari kayu sikamor beralaskan bulu angsa dilapisi beludru hitam. Kaca jendela kereta di sebelah kanan dan kiri untuk memudahkan penumpangnya melihat keadaan di luar. Kain sutra cokelat muda menutupi jendela, menahan cahaya mentari yang baru menanjak di ufuk timur.
Mereka terus melaju di jalan berbatu. Roda kereta berderit pelan, seiring irama langkah kuda. Maria dan Shirin masih terus melanjutkan perbincangan mereka tentang cinta. Sementara itu, lidah Shinouti tak lepas merapal ayat-ayat dari pe psalmos en Dauid — Mazmur Daud, sebagaimana yang diajarkan Abba Isaak. Melalui ayat-ayat itu, ia berharap Tuhan selalu menyertai dan melindungi perjalanan mereka ke Biara Kanopos hingga kembali lagi ke Istana.
“em pa toutah esf pjoeis pe pa ouōin emmen pa sōtēr eina rhōte phēt ef nnim — Tuhan adalah terangku dan keselamatanku; kepada siapakah aku harus takut?” begitu bisiknya di sela deru angin. “pjoeis pe etna shtem mpa oujai eina rchōb phēt ef nnim — Tuhan adalah benteng hidupku; terhadap siapakah aku harus gemetar?”
Suaranya pelan, tapi tegas. Mazmur itu menjalar lembut di antara denting pelana dan debu jalanan, menenangkan siapa pun yang mendengarnya.
“Bagaimana dengan dia?” tanya Shirin tiba-tiba sambil mengarahkan pandangannya ke arah Shinouti yang sedang fokus mengendalikan dua kuda.
“Maksudmu?”
“Kau tidak tertarik padanya?”
Maria melihat Shirin sambil menautkan kedua alis hingga hampir terpaut. Seketika itu pula Maria menutup mulut dengan tangan kanannya. Maria tak habis pikir, bagaimana bisa Shirin mempunyai pikiran seperti itu. Maria hampir tak bisa menahan tawa.