Madah Rindu Maria

Hadis Mevlana
Chapter #6

Rajah - REVISED

Dari kejauhan, kubah dan menara biara tampak samar di balik kilau matahari yang kian meninggi. Letaknya di tepi timur Sungai Nil, di mana aliran air itu seolah berangkat menuju Laut Mediterania. Bangunan itu berdiri di atas bukit pasir yang tinggi, berjarak sekitar 1,2 shbo[1] dari timur laut kota Aleksandria.

Biara itu didirikan pada abad keempat oleh Santo Arsenius Sang Saleh, seorang rahib terkemuka dan dikenal karena kebijaksanaannya. Bagi Maria dan Shirin dan orang-orang Koptik, tempat itu bukan sekadar biara, melainkan tempat pulang. Dari sana, mereka sering memandang Teluk Aleksandria yang berkilau seperti perak di bawah cahaya matahari sore—pemandangan yang selalu membuat mereka lupa akan hiruk-pikuk dunia.

Maria tersenyum kecil setiap kali mengingat nama kota itu: Aleksandria. Sebuah nama yang tak mungkin dipisahkan dari Aleksander Agung, raja Makedonia yang pernah menaklukkan Syam dan mengubah dunia. Dulu, begitu menurut cerita para leluhur Koptik, kota ini bernama Rakote, nama yang diucapkan dalam lidah Koptik kuno. Namun, sejak sekitar bulan April tahun 331 sebelum Masehi, semuanya berubah.

Maria sering bertanya dalam hati: apakah perubahan nama bisa mengubah jiwa sebuah kota? Rakote telah lama hilang, tapi di balik hiruk pelabuhan dan menara-menara baru, kadang ia masih merasa mendengar gema masa lalu, gema orang-orang Koptik yang dahulu membangun kota ini dengan iman dan air mata.

Tiba-tiba kereta mereka melambat. Dua ekor kuda hitam pilihan dengan surai indah yang menarik kereta meringkik pelan. Shinouti menarik tali kekang. Suara roda berdecit di antara desir angin dan butiran pasir. Kereta berhenti. Maria dan Shirin saling beradu pandang. Tak perlu kata, mata mereka seolah menyimpan tanya yang sama. Masih jauh perjalanan menuju Biara Kanopos, namun sesuatu tampaknya menghadang di depan sana.

“Kalian tenang. Jangan berucap sesuatu pun,” pinta Shinouti setengah berbisik tanpa menoleh.

Angin berdebu membawa bau besi dan kulit kuda. Shirin meremas tangan Maria. Trauma lama menyeruak dari dasar ingatan, bayangan tubuh-tubuh yang diseret dari rumah, jeritan menyayat hati yang tak sempat berubah menjadi doa. Betapa sering ia menyaksikan penganiayaan atas mereka yang hanya ingin beriman dengan cara yang berbeda dari sang penguasa. Di negeri ini, perbedaan bisa berarti kematian. Meski demikian orang-orang Koptik tetap bangga dengan iman mereka. Penganiayaan bukanlah alasan untuk meninggalkan keyakinan dan kecintaannya pada Iesous Pkhristos.

Maria mengintip ke luar jendela. Pasir berputar, mengaburkan pandangannya pada cakrawala yang jauh. “Shirin,” bisiknya, “sejarah kita ditulis dengan darah para martir.”

Dalam diam, benaknya menyingkap kisah yang dulu sering diceritakan Abba Isaak. Tentang penganiayaan yang tiada henti sejak Santo Markos, sang pengabar Injil pertama di tanah Mesir, yang tubuhnya diseret hingga syahid oleh tentara Romawi pada tahun 68 Masehi. Pun setelahnya, berabad-abad penderitaan datang silih berganti, seolah Mesir menolak berhenti menumpahkan darah umatnya sendiri.

Maria menarik napas panjang. “Sejak masa Diocletianus,” ucapnya lirih, “bayang-bayang kematian seakan tak pernah pergi dari rumah-rumah orang beriman.”

Ia masih ingat bagaimana Abba Isaak pernah menceritakan kisah Georgius, sang Pangeran Para Martir. Janasuci yang diperingati kemartirannya setiap tanggal 23 Paremhat menurut Kalender Koptik. Lahir dari keluarga bangsawan di Kapadokia. Namun, ia memilih hidup sederhana dalam pengabdian kepada Kristus. Ia pernah menjadi perwira kesayangan Kaisar Diocletianus, sebab kecakapannya dalam berperang. Hingga suatu hari, kaisar tahu bahwa Georgius memeluk agama Kristen.

Kemarahan kaisar membelah dunia mereka menjadi dua. “Tinggalkan Tuhanmu,” perintahnya, “dan kuberikan padamu kekuasaan yang lebih tinggi.” Namun, Georgius menolak. Tak sedikit pun rayuan kaisar yang menggoyahkan pendiriannya. Ia memilih derita daripada penghianatan iman. Dalam penjara, di bawah gelap dan dingin, ia berdoa tanpa henti. Wanita yang dikirim kaisar untuk menjerumuskannya malah tersentuh dan ikut beriman. Pilihan Georgius mempertahankan iman harus dibayar dengan penyiksaan yang begitu keji terhadap dirinya.

Maria menunduk, bibirnya bergetar. “Dan pada hari itu,” ucapnya hampir berbisik, “di depan tembok Nikomedia, kepala Georgius jatuh ke tanah. Tapi dari darahnya, lahir keberanian bagi kita semua.”

Maria masih ingat setiap kata Abba Isaak saat menceritakannya: “Di hadapan kaisar, Georgius tidak gemetar. Ia kehilangan segalanya, kecuali keyakinan.”

Maria menutup matanya. Ia bisa merasakan nyala keberanian itu di dadanya sendiri, nyala yang diwariskan pada setiap orang Koptik, bahkan pada dirinya yang kini duduk di dalam kereta, dikepung sunyi dan ancaman.

Shirin terdiam. Hanya suara napasnya yang terdengar. Di luar, angin membawa aroma debu. Maria melanjutkan dengan suara yang penuh getir dan kebanggaan.

“Tahun ketika Diocletianus naik takhta, orang-orang menyebutnya sebagai Anno Martyrum—Tahun Para Syahid. Tahun yang tak dihitung dengan kemenangan, tapi dengan kesetiaan.”

Lihat selengkapnya