Madah Rindu Maria

Hadis Mevlana
Chapter #13

Gunung Paran - REVISED EDITION

Setibanya di sana, mata Maria mencari ke segala arah. Dia tak mendapati Abba Isaak di tempat biasa. Maria melangkah pelan menyusuri lorong batu yang dingin sambil terus melihat kiri kanannya, mencari-cari Abba Isaak. Langkah Maria terhenti tepat di depan trapeza,[1] meja kayu tua, tempat di mana Abba Isaak biasa menerjemahkan ayat-ayat kitab suci bahasa Ibrani ke dalam bahasa Koptik.

Maria tidak melihat keberadaan Abba Isaak. Entah di mana lelaki itu berada. Di sana, hanya ada Meja penuh dengan lembaran perkamen dari kulit domba. Di atasnya, tinta yang belum kering berkilau disinari cahaya yang masuk dari celah angin di dinding. Di sanalah, di antara keheningan biara dan aroma minyak zaitun, Maria selalu melihat Abba Isaak melakukan pekerjaan yang begitu melelahkan dan menguras pikiran,

“Abba hanya ingin mendekatkan firman Tuhan kepada lidah kita sendiri, Maria. Agar umat Koptik dapat mengenal Tuhan dengan bahasa hatinya.” jawab Abba Isaak saat Maria bertanya tentang kegiatan Abba Isaak beberapa waktu lalu.

Maria pernah membaca sejarah itu: sejak abad kedua hingga keempat, umat Koptik telah memiliki Kitab Suci dalam berbagai dialek. Namun, baru pada abad keempat dan kelima, dialek Sahidik dibakukan — bahasa yang kini memenuhi biara-biara di Mesir Hulu.

Namun bagi Abba Isaak, terjemahan bukan sekadar ilmu bahasa. Ia seperti peziarahan jiwa.

Maria mengingat bagaimana Abba Isaak selalu menatap huruf-huruf itu seolah menatap wajah Tuhan sendiri.

“Setiap bahasa punya rahasia, Maria,” katanya suatu sore. “Ada kata yang tak punya padanan dalam bahasa lain. Dan di sanalah Tuhan bersembunyi, di antara makna yang tak bisa diterjemahkan.”

Maria tersenyum samar. Ia memahami kini mengapa Abba Isaak tak pernah berhenti menyalin, meski sudah ada Septuaginta, terjemahan Yunani yang diwariskan sejak tiga abad sebelum Masehi. Namun, bagi Abba Isaak, terjemahan itu belum usai; ia masih mencari makna yang paling jernih dari bahasa wahyu.

“Setidaknya Abba berusaha mendekati makna aslinya,” kata Abba Isaak suatu kali, dengan mata yang letih tapi penuh keyakinan.

Maria berjalan mendekat. Sekilas ia bisa melihat perkamen dari kulit domba yang telah disamak dibiarkan tergeletak di atas meja. Matanya memperhatikan dengan seksama tiap aksara yang tertulis di sana. Tulisan suci dari ayat-ayat Taurat terhampar di hadapannya dengan tinta yang masih basah. Tiba-tiba, suara pelan memecah sunyi.

“Tiherine noten.”[2]

Maria terkejut mendengar salam itu hingga terkinjat. Kedua tangannya sontak ditaruh di atas dada, merasakan detak jantung yang mendadak berubah lebih cepat. Maria membalikkan badan. Abba Isaak berdiri beberapa depa di belakangnya sambil tersenyum melihat perubahan wajah Maria. Gadis itu seperti sedang melihat hantu.

“Abba!” seru Maria, setengah lega, setengah malu.

Abba Isaak tersenyum sambil berjalan mendekati trapeza lalu meletakkan wadah kayu berisi tinta di atasnya.

 “Abba kehabisan tinta. Untung masih ada sedikit di gudang.”

Abba Isaak menengok ke arah kiri dan kanan seperti mencari sesuatu.

Lihat selengkapnya