Madah Rindu Maria

Hadis Mevlana
Chapter #11

Cahaya dari Gunung Paran

Setibanya di sana, mata Maria mencari ke segala arah. Dia tak mendapati Abba Isaak di tempat biasa. Maria berjalan pelan sambil terus melihat kiri kanannya, mencari-cari Abba Isaak. Langkah Maria terhenti tepat di depan sebuah kursi dan trapeza1 yang terbuat dari kayu, tempat di mana Abba Isaak biasa menerjemahkan ayat-ayat kitab suci bahasa Ibrani ke dalam bahasa Koptik.

Maria tidak melihat keberadaan Abba Isaak. Entah di mana lelaki itu berada. Di sana, hanya ada lembaran-lembaran perkamen hasil kerja keras Abba Isaak. Sebuah kegiatan yang begitu melelahkan dan menguras pikiran, menerjemahkan kitab suci berbahasa Ibrani ke dalam bahasa Koptik. Meski sebenarnya sudah ada kitab suci berbahasa Koptik sejak abad ke-2 hingga ke-4 dengan beberapa dialek yang ada di masyarakat Koptik. Hingga akhirnya pada abad ke-4 dan ke-5, dialek Sahidik dibakukan sebagai terjemahan kitab suci dalam bahasa Koptik.

“Abba hanya ingin berusaha menerjemahkan kitab suci dari bahasa aslinya,” jawab Abba Isaak saat Maria bertanya tentang kegiatan Abba Isaak beberapa waktu lalu.

  Maria mengangguk pelan. Sebab, kitab suci berbahasa Koptik yang ada sejatinya adalah kitab terjemahan. Kitab Septuaginta2, terjemahan Perjanjian Lama ke dalam bahasa Yunani yang diperkirakan diterjemahkan sekitar abad ke-3 SM. Sementara, Perjanjian Baru menggunakan teks berbahasa Yunani. Dia sangat paham bahwa setiap bahasa mempunya ciri khas yang berbeda dari bahasa lain. Setiap bahasa tentu memiliki kata yang tidak memiliki padanan kata dalam bahasa lainnya.

“Setidaknya Abba sudah berusaha menerjemahkannya mendekati makna dari bahasa aslinya,” pungkas Abba Isaak.

Maria berjalan mendekat. Sekilas ia bisa melihat perkamen dari kulit domba yang telah disamak dibiarkan tergeletak di atas meja. Matanya memperhatikan dengan seksama tiap aksara yang tertulis di sana. Tulisan suci dari ayat-ayat Taurat terhampar di hadapannya dengan tinta yang masih basah.

“Tiherine noten.”3

Maria terkejut mendengar salam itu hingga terkinjat. Kedua tangannya sontak ditaruh di atas dada, merasakan detak jantung yang mendadak berubah lebih cepat. Maria membalikkan badan. Abba Isaak berdiri beberapa depa di belakangnya sambil tersenyum melihat perubahan wajah Maria. Gadis itu seperti sedang melihat hantu.

“Ab-Abba …,” ucap Maria sambil mengatur napas.

Abba Isaak berjalan mendekati Maria lalu menuju meja tempat ia biasa menerjemahkan ayat-ayat kitab suci. Abba Isaak meletakkan wadah kayu berisi tinta di atas meja.

“Salinan ini masih satu baris lagi dan Abba kehabisan tinta. Untung saja masih ada sedikit sisa di gudang.”

Abba Isaak menengok ke arah kiri dan kanan seperti mencari sesuatu.

“Shirin? Shinouti? Di mana mereka?”

Lihat selengkapnya