Madah Rindu Maria

Hadis Mevlana
Chapter #26

Pertemuan di Thronos

628 Masehi / 6 Hijriah/ 344 Koptik

Matahari meninggi. Langit cerah membentang. Hari itu tampak berbeda dari biasanya. Matahari terasa hangat. Sinarnya tak menyengat seperti hari-hari sebelumya. Angin seolah berbisik lembut memainkan daun-daun pohon palem yang tumbuh teratur berjajar di sepanjang pintu masuk gerbang istana. Istana tampak berbenah. Hari itu tampak lebih sibuk dari hari sebelumnya. Seperti biasa, jika istana kedatangan tamu, raja mesti menyambutnya dengan hangat. Tak terkecuali hari itu saat seorang utusan dari negeri seberang nun jauh di sana berkunjung ke istana.

Maria dan Shirin sibuk di dapur demi menyuguhkan sajian terbaik untuk tamu Megaukes. Sajian domba panggang yang dihaluskan dengan campuran rempah-rempah menjadi hidangan utama. Sementara itu, Megaukes sedang bersiap di kamarnya, memakai jubah berwarna merah seperti kain kesumba yang sudah disiapkan Maria. Sang tamu, masih duduk di ruang Thronos,sebuah ruangan yang dirancang khusus untuk tahta sang penguasa, digunakan untuk menerima tamu penting dan acara resmi lainnya.

Minuman istimewa berupa teh dari bunga hibiskus tersaji di hadapan sang tamu. Belum sempat dia sentuh meski perjalanan jauh telah membuat kerongkongannya kering. Potamiana tadi hanya meletakkan apot berisi teh itu di atas meja. Ia terburu-buru sehingga lupa mempersilakan untuk minum. Karenanya, sang tamu tak menyentuh apot itu karena tidak ingin memasukkan barang apa pun sebelum diizinkan oleh pemiliknya. Sembari menunggu, lidahnya tak letih menyebut lafaz-lafaz zikir pengagungan Tuhan. Tedengar pelan nama Tuhan diagungkan. Pun nama sang nabi disanjungkan.

Megaukes keluar dari kamar lalu melangkah menuju ruang Thronos,untuk menemui tamunya. Shinouti membuntuti Megaukes sambil terus waspada dengan keadaan sekelilingnya. Beberapa langkah lagi mereka tiba di ruang Thronos. Dua pengawal yang berdiri di depan pintu memberi hormat lalu membukakannya. Georgios Putra Menas Sang Megaukes tiba di sebuah ruangan berukuran cukup besar dengan langit-langit yang tinggi dan dinding dihiasi dengan ukiran dan seni. Ruang Thronos didekorasi dengan megah, menonjolkan kekuasaan serta otoritas seorang penguasa, dilengkapi dengan kursi-kursi mewah dan meja-meja yang digunakan untuk menerima tamu dan menyajikan hidangan. Sang tamu segera bangkit untuk menghormati ketika Megaukes tiba dan berdiri di depan takhtanya.

Tiherine noten,” ucap Megukes memberikan salam kepada seorang pemuda di hadapannya.

Salamun ’ala manittabaa’l huda,” ucap lelaki itu penuh takzim yang berdiri sekitar dua hote dari hadapan Megaukes.

Megaukes mengangguk pelan sambil berusaha memahami bahasa sang tamu yang masih terdengar asing di telinganya. Begitu pula dengan Shinouti yang turut hadir mengawal pertemuan itu. Megaukes menarik napas lalu mengembuskannya pelan.

Salam lakum,” ucap Megaukes penuh wibawa.

Sang tamu tersenyum sesaat mendengar salam Megaukes dalam bahasa Arab dengan aksen yang tidak terlalu fasih.

“Tuan, izinkan saya memanggilkan penerjemah istana,” ucap Shinouti yang berdiri di sebelah kiri tak jauh dari tahta Megaukes.

Megaukes tersenyum seraya mengangguk pelan. Shinouti segera beranjak dari ruangan. Sejenak ruangan itu hening. Georgios Putra Menas Sang Megaukes mengamati lelaki berpakaian serba putih di hadapannya. Wajahnya terasa asing. Bukan utusan yang biasa datang dari negeri lain. Ia membuka ingatan, di mana pernah bertemu pemilik wajah seperti itu. Namun, Megaukes tak menemukan apa pun di laci ingatannya. Wajah tamunya tetap asing. Dari perawakannya terlihat jelas, pria itu bukan dari kalangan Koptik ataupun Romawi. Tergambar jelas pada wajah sang tamu tanda-tanda bekas perjalanan jauh. Dari cara dia menyapa, Georgios Putra Menas Sang Megaukes menduga jika tamunya kali ini berasal dari negeri Arabia. Sekilas, mata Megaukes tertuju pada sepucuk surat di tangan kanan lelaki dengan postur tidak terlalu tinggi itu. Megaukes menarik napas. Tamunya kali ini adalah seorang utusan yang membawa sebuah pesan.

“Silakan, Tuan,” ucap Megaukes. Ia tersenyum sambil menjulurkan tangannya sebagai isyarat mempersilakan sang tamu untuk duduk.

Megaukes pun duduk di tahtanya yang megah, sebuah kursi yang terbuat dari kayu eboni berlapis emas serta dudukannya beralaskan kulit binatang. Sandaran punggungnya yang tinggi dengan kaki-kaki berbentuk seperti tungkai depan dan belakang hewan. Sebuah tahta yang begitu mengagumkan. Berpadu dengan gading, tahta itu semakin terlihat gagah. Ukiran-ukiran dan relief orang-orang kudus dan adegan dari Injil pada takta itu menunjukkan betapa pemilik adalah bukan orang biasa.

***

Tak berapa lama kemudian, Shinouti memasuki ruangan bersama dengan penerjemah istana. Setelah itu, Shinouti kembali berdiri di tempat semula. Sementara sang penerjamah istana berdiri di sebelah kanan Megaukes lalu memberikan salam hormat pada Megaukes dan sang tamu.

Makalani, sang penerjemah istana, sudah tahu tugasnya kali ini. Seperti biasa dia akan menerjemahkan bahasa asing untuk Megaukes. Kali ini tugasnya adalah menerjemahkan bahasa sang tamu yang datang dari negeri Arabia agar komunikasi terjadi dua arah. Tanpa panjang lebar, Makalani segera menanyakan nama dan tujuan datang ke istana kepada sang tamu. Tanpa banyak berbasa-basi, sang utusan pun memperkenalkan diri. Megaukes menyimak setiap kata asing yang terucap dari mulut tamunya. Sesekali, dia mengangguk pelan. Mungkin ada beberapa kata yang sudah dia pahami. Sementara selebihnya, ia hanya tampak mengerutkan dahi.

Sesaat setelah sang tamu selesai bicara, Makalani pun menerjemahkan ucapannya kepada Megaukes.

“Tuanku …,” ucap Makalani membuka suara seraya meminta izin untuk menerjemahkannya.

Lihat selengkapnya