Abba Isaak menarik napas pelan sebelum melanjutkan lagi ceritanya.
“Pada hari yang sama ketika kafilah tiba di biara tempat Behira, aku juga berada di sana, sibuk melayani mereka dengan membawa nampan-nampan penuh makanan. Aku baru beberapa pekan tiba di tempat itu untuk belajar tentang kitab suci pada Behira, seorang ahli yang dikabarkan telah mempelajari berbagai manuskrip kuno. Manuskrip-manuskrip itu mengisahkan sosok nabi akhir zaman yang sangat dinantikan kehadirannya.
“Baru kali ini ada perasaan berbeda ketika tamu-tamu itu datang ke biara. Dari kejauhan aku melihat Behira mendekati seorang lelaki pemimpin kafilah dan berbincang dengannya. Sekilas aku mendengar perbincangan mereka. Begitu serius.
“Entahlah, tetapi hari ini Behira tampak begitu berbeda dari biasanya. Bahkan sejak beberapa hari sebelumnya tingkah laku Behira begitu berbeda. Gelisah. Seolah dia memiliki firasat atas kedatangan rombongan kafilah pada hari itu. Tak bosan-bosannya dia melihat keluar, ke kejauhan. Lalu, ketika tak ada sesuatu pun yang di lihatnya kecuali fatamorgana dia pun kembali ke tempat biasa ia menekuri perkamen-perkamen yang sudah dia pelajari sejak lama.
“Aku sempat mendengar tangis Behira ketika berdiam di ruang ibadah. Di hadapannya terbentang manuskrip tua yang selalu ia baca. Behira mencerap sekelilingnya. Tangannya gemetar menyentuh tulisan itu. Lalu, suaranya terbata-bata seraya menatapi sebuah tulisan di perkamen yang ada di hadapannya.
“Sesekali aku mendengar tangisan tertahan. Mendadak tubuh Behira lunglai lalu bertumpu dengan kedua lutut di lantai biara. Satu persatu telapak tangan Behira menyentuh lantai dingin untuk menopang tubuh tuanya.
“Itu pertama kalinya aku melihat Behira menangis. Tubuhnya gemetar. Ia bersujud dengan air mata yang jatuh satu-satu ke lantai batu. Ia berbisik:
“Dia telah lahir … dia telah lahir … dia telah lahir ….” Terdengar suara sesenggukan yang semakin lama semakin pelan.
“Dia yang kedatangannya telah disampaikan olah Mouses kepada bani Israel di Sinai. Dia yang kedatangannya telah disampaikan oleh Iesous Pkhristos di meja perjamuan makan malam terakhir di hadapan para muridnya. Oh, Tuhan, andai Engkau memberiku umur panjang saat Engkau melantiknya menjadi seorang nabi akhir zaman. Semoga dia selamat kembali ke kampung halamannya.”
“Aku berusaha mendekat. Aku khawatir terjadi sesuatu padanya. Namun, beberapa saat sebelum aku melangkah ke ruang peribadatan, dia bangkit secara perlahan.
“Ah, entah siapa sebenarnya sosok yang sedang Behira nantikan?”
***
“Jadi Rahib Behira salah menafsir tanda itu, Abba?” tanya Shirin tiba-tiba.
Maria melihat ke arah Shirin sambil meletakkan telunjuk kanan di depan bibir. Shirin yang merasa bersalah karena memotong cerita Abba Isaak segera menundukkan pandangan. Abba Isaak tersenyum kecil melihatnya, lalu melanjutkan cerita.
“Namun dalam perjamuan, ia tidak menemukan siapa pun sesuai ciri manuskrip. Hingga ia menyadari… ada satu yang tak bersama mereka makan.”
Maria mengangkat wajahnya. Shirin menggenggam tangan kakaknya dengan erat.
“Rupanya ada satu orang yang terlewat,” lanjut Abba Isaak, “Behira melihat sosok bocah lelaki yang tidak turut serta dalam perjamuan itu. Sang bocah terlihat duduk sendiri di bawah pohon. Menjaga unta dan barang dagangan.”
Abba Isaak tersenyum samar. Ada haru di sana.
“Aku berdiri di samping Behira ketika ia menatap sang bocah.”
Tampak raut wajah Abba Isaak begitu bahagia. Cara Abba Isaak berkisah membuat semua pendengar seperti hadir dalam setiap fragmen yang diceritakan, begitu nyata, runut, hingga mudah dipahami setiap episodenya.
“Aku mengingatnya dengan jelas. Bahkan setelah puluhan tahun berlalu.” Suara Abba Isaak kembali hadir di hadapan gadis Koptik itu, perlahan memutus keheningan Matanya menatap kosong ke masa lalu, tapi ada bara yang menyala di balik keriputnya.
“Di tepi biara di Busra itu berdiri sebuah pohon tua—Buṭm, begitu penduduk setempat menyebutnya, sejenis Pistacia atlantica yang akarnya merayap jauh ke batu-batu basalt. Rantingnya lebat, seolah telah menyaksikan kafilah demi kafilah melintas sejak berabad silam.”
Selama perjamuan berlangsung, mata Behira terus memandangi wajah sang bocah dengan seksama. Dari ujung kaki hingga kepala tak ada yang terlewat dari pantauannya. Behira seperti mengingat-ingat kembali satu per satu ciri yang tertulis dalam manuskrip kuno yang selama ini ia pelajari. Dari wajah polos bocah itu, Behira merasakan ada sesuatu di sana, mukjizat Tuhan untuk sang nabi akhir zaman.