“Bukankah bulan Koiak masih lama?”
Abba Isaak heran dengan permintaan Megaukes melalui lisan Maria usai menceritakan kisah Behira siang itu. Maria hanya tersenyum kecil melihat raut kebingungan di wajah Abba Isaak. Padahal, Megaukes sudah biasa meminta Abba Isaak datang ke istana. Namun hari ini, entah mengapa, Abba Isaak seperti merasa asing dengan permintaan Megaukes itu. Seolah sedang membaca isyarat baru yang sulit dimengerti.
“Thout, Paopi, Athor, Koiak.” Maria menyebutkan nama-nama bulan Koptik sambil menghitung dengan jari kanannya.
Maria menggenggam tangan kanannya. Lantas, ketika menyebut “Thout” dia membuka ibu jarinya. Berikutnya, dia membuka telunjuk ketika menyebut “Paopi”, bulan yang kedua. Sambil menyebut “Athor”, Maria membuka jari tengahnya. Terakhir, dia membuka jari manis seraya menyebut “Koiak”, bulan di mana orang-orang Koptik merayakan kelahiran Iesous Pkhristos, Pimétron ente te-nnou-ti. Orang-orang Kristen di negeri Arab menyebutnya dengan Idul-milad, hari raya untuk memperingati lahirnya Mesias yang jatuh pada tanggal 29 bulan Koiak menurut perhitungan kalender Koptik. Hari di mana mereka dengan suka cita saling memberikan selamat dengan ucapan Pikhristos avmasf![1] atau Khen Omethmi Avmacf![2].
“Masih tiga bulan lagi,” lanjut Maria. “Megaukes mengundang Abba bukan untuk membahas Pimétron ente te-nnou-ti, tapi sepertinya ada hal lain yang ingin dibicarakan.”
Abba Isaak mendesah ringan. “Abba pikir ia ingin membahas itu. Biasanya Megaukes menginginkan sesuatu yang istimewa saat perayaan kelahiran Sang Mesias.”
Maria mengangkat bahu.
“Entahlah. Megaukes hanya mengatakan seperti itu.”
“Abba akan meluangkan waktu ke istana, Are shan efnouti ouosh.[3]”