Madah Rindu Maria

Hadis Mevlana
Chapter #17

Puisi Cinta Shinouti

Nil pada waktu senja mulai turun selalu menampilkan lanskap memikat. Saat itu, matahari merah seolah berkaca di atasnya. Persis orang gila, Shinouti berbincang pada aliran air yang tenang itu seolah dia karib tempat berbagi cerita dan  keluh kesah yang keluar dari dada. Darah Shinouti bergemuruh sebab memendam perasaan pada seorang dara. Entah kali ke berapa dia berbicara pada Nil untuk menyatakan perasaan yang tak mampu dia ungkapkan pada wanita bermata jelita. Wanita berambut bak mayang mengurai, berparas bak purnama. Teduh nan indah saat mata menatapnya.

“Mencintaimu bagaikan melawan pasukan Persia sendirian. Ada ketakutan. Juga kerisauan kalah di medan laga. Ada perasaan tak berdaya. Sungguh, mencintaimu membuatku payah. Membutuhkan begitu banyak keberanian. Ingin diriku menempatkanmu di tempat paling bahagia. Di hatiku. Namun, lagi-lagi ragu kerap menyelundup dalam dada.”

Entah berapa lama Shinouti berkaca pada riak tenang gelombang sungai Nil. Tampak, permukaan Nil menangkap wajah lara sang pemuda. Nil seolah tahu kegundahan hati Shinouti. Perkara cinta semestinya sederhana. Namun, bagi Shinouti terasa begitu rumit dan menjadi pertarungan hebat dalam dada, lebih sulit dari mengalahkan pasukan-pasukan musuh yang kuat di medan laga.

“Aku takut cinta ini tak layak untuk kupersembahkan. Aku takut tak mampu membuatmu bahagia. Aku enggan mencintaimu dalam kesendirian. Entah sampai kapan perasaan ini mampu kutahan. Entah pada hari yang mana keberanian ini muncul sempurna untuk menyatakan perasaan yang sesungguhnya.”

Shinouti terus berbicara pada diri sendiri.

“Tuhan telah menjodohkan Mesir dengan Nil. Seberapa pun keras orang menguras airnya, Nil tetap setia mengalir untuk Mesir. Sementara kita? Maksudku, perasaanku padamu, Maria, akankah menjadi sebuah takdir Tuhan yang disebut jodoh? Entahlah. Di relung hatiku terdalam, aku meminta Tuhan agar kau menjadi milikku. Meski aku yakin, lelaki di negeri Mesir yang meminjam namamu dalam doanya agar menjadi jodohnya bukan hanya aku saja. Aku yakin, setiap lelaki yang pernah melihatmu akan terpukau dengan pesonamu. Sungguh, aku yakin mereka pun menginginkanmu sebagaimana juga aku.”

Mestinya ini sangat sederhana. Semudah menyampaikan perasaan hatinya pada sang gadis pujaan lalu takdir yang akan menentukan hasilnya. Namun, kenyataannya tak semudah itu. Shinouti tetap meragu. Dia masih menjadi pengecut yang bersembunyi di balik ketakutan. Ia takut bertepuk sebelah tangan. Entah, bilakah semua perasaan itu mampu disampaikan.

“Entah, doa siapa kelak yang akan dimenangkan Tuhan. Lagi-lagi aku meyakini bahwa jodoh tidak pernah salah tempat, tak pernah salah alamat. Jika kita berjodoh, meski seribu lelaki berdoa memintamu menjadi rusuk kirinya, tentu tetap doaku saja yang Dia menangkan. Namun, jika kita tidak .... Aaah, aku tidak mau berandai-andai buruk tentang itu. Aku tak ingin pikiran buruk itu yang nanti malah terwujud. Cukuplah doa-doaku adalah tentang memintamu. Bukan tentang selainnya.”

***

Hati Shinouti begitu mendamba, terleka asmara. Bahkan selaksa puisi pujangga pun tak cukup menuliskan betapa mabuknya Shinouti kepada sang gadis Mesir pujaannya. Gadis serupa malaikat. Ya, dia bak malaikat dalam rupa manusia yang dengan tatapannya seolah sakit dan luka sembuh seketika. Dia malaikat yang menjelma manusia. Bertemu Maria selalu membuat Shinouti gembira layaknya Sarra menerima berita kelahiran Isaak di hari tuanya.

“Tuhan, aku mabuk oleh pesonanya. Aku gila sebab ciptaanmu begitu indah. Hatiku yang gersang mendadak basah sebab gerimis dari tatapan matanya.”

Seketika melintas wajah Maria di benak Shinouti. Semu merah mendadak muncul di pipinya. Pelan, Shinouti sebut namanya bak doa yang dirapal berulang-ulang.

“Maria … Maria … Maria ….” Begitu seterusnya hingga lidahnya kelu tak lagi bersuara.

***

Malam mulai turun menyelimuti Mesir. Lautan pasir berwarna coklat keemasan seolah tersenyum. Setidaknya, ia bisa mendinginkan sejenak tubuhnya yang kepanasan sepanjang hari. Sementara itu, Nil yang seolah menghitam, tetap menunjukkan keindahan pesonanya. Udara malam bertiup pelan. Tirai putih gading yang tergantung di jendela kamar Maria menggoyang-goyangkan tubuhnya bak penari Raqs sharqi‎ yang lincah.

Maria baru saja masuk ke kamarnya. Ia berjalan menuju sudut kamar. Tangan lembutnya menarik salah satu daun jendela yang terbuat dari kayu aras lalu menutupnya. Sesekali ia tersenyum. Ada yang mengganggu hati Maria. Serangkaian kata-kata indah mendadak terdengar di telinga. Sebuah pujian sekaligus ungkapan perasaan seorang pria pada gadis pujaannya. Seketika Maria terbengang saat mendengarnya. Kata-kata puja itu membuat Maria mendadak diam seribu bahasa.

Lihat selengkapnya