Nil pada waktu senja selalu menampilkan lanskap memikat. Saat itu, matahari merah seolah berkaca di atasnya. Riak-riak kecil berkilau, memantulkan langit yang perlahan menggelap. Persis orang gila, Shinouti berbincang pada aliran Nil. Air yang tenang itu baginya seolah sahabt paling setia, tempat berbagi cerita dan keluh kesah tanpa perlu dihakimi.
Darahnya bergemuruh. Bukan oleh perang, bukan oleh dendam, melainkan oleh satu nama yang berulang-ulang berdetak di dadanya. Maria. Entah, sudah kali yang ke berapa ia datang ke tepian ini, berbicara pada Nil yang tak pernah menjawab, tentang perasaan yang tak sanggup ia ungkapkan pada seorang dara bermata jelita. Wanita berambut bak mayang mengurai, berparas bak purnama. Teduh nan indah saat mata menatapnya.
Mencintaimu seperti melangkah ke medan perang sendirian
Melawan pasukan Persia dengan nyali yang tertahan
Ada takut yang diam-diam tumbuh di dada
Ada cemas kalah sebelum luka sempat terasa
Sering kali aku tak berdaya
Sebab, mencintaimu menuntut lebih dari sekadar rasa
Aku ingin menempatkanmu di tempat paling bahagia
Di hatiku, rumah yang kusiapkan sepenuh jiwa
Namun ragu selalu menemukan jalannya
Menyelundup pelan, menetap tanpa suara
Shinouti terdiam. Entah berapa lama Shinouti berkaca pada di sana. Riak Nil memantulkan wajahnya yang lara, wajah seorang lelaki yang gagah, tetapi rapuh oleh rindu. Nil seolah tahu kegundahan hatinya. Perkara cinta yang semestinya sederhana. Namun, terasa rumit dan menjadi pertarungan hebat dalam dada. Lebih sulit dari mengalahkan pasukan-pasukan musuh yang kuat di medan laga.
Aku bukan lelaki sempurna,
aku takut tak sanggup menjaganya.
Takut tak sanggup menjadi rumah nan teduh baginya.
Duhai Tuhan yang Maha Kasih
Engkau mengetahui apa yang kusembunyikan dalam hati
Jika perasaan ini tidak Kau kehendaki
padamkan ia dariku sebelum menjadi luka dan dosa.
Namun, bila ia Kau izinkan tumbuh
kuatkan aku agar mencintainya sepenuh jiwa
Jika ia Kau tanamkan sebagai anugerah
jangan biarkan aku mencintai dalam kesendirian.
Shinouti terus berbicara pada diri sendiri.
Tuhan telah menjodohkan Mesir dengan Nil.
Seberapa pun keras manusia mengurasnya,
Nil tetap setia mengalir bagi Mesir.
Lalu bagaimana dengan kita?
Maksudku—dengan perasaanku padamu, Maria.