Madah Rindu Maria

Hadis Mevlana
Chapter #20

Masygul - REVISED EDITION

“Maburi?”

Maria menatap heran pria yang berdiri di ambang pintu kamar dengan pandangan tertuju pada lantai batu. 

Maburi bukan orang asing bagi Maria. Ia adalah salah satu sida terbaik di istana, lelaki yang mengurus urusan kerumahtanggaan dengan ketekunan dan disiplin.

Maburi tak melangkah masuk. Tidak setapak pun. Seolah ambang pintu itu adalah garis yang tak boleh dilanggar. Bukan karena takut pada Maria, bukan pula pada pengawal istana. Ia lebih gentar pada sesuatu yang tak terlihat: pandangan Tuhan.

Apa jadinya jika seorang lelaki dan seorang perempuan berduaan di sebuah ruangan? Maburi tak ingin menimbulkan fitnah. Terlebih, petuah Abba Isaak, beberapa waktu lalu saat mengantarkan bahan makanan ke biara, kembali terngiang.

Tiap-tiap orang yang memandang seorang perempuan serta menginginkannya, sudahlah ia berzinah dengan dia di dalam hatinya.

Kalimat itu terpatri kuat. Meski syahwat tak lagi bersemayam di hatinya, Maburi tahu, mata bisa menjadi pintu dosa. Ia tahu, kesalehan bukan hanya soal niat, melainkan juga tentang menjaga jarak dari kemungkinan. Kesalehan baginya bukan soal siapa yang melihat, melainkan siapa yang menilai—manusia atau Tuhan.

Ucapan Iesous Pkhristos dari salah satu ayat dalam Injil Mattaios yang pernah disampaikan Abba Isaak kepada beberapa waktu lalu begitu merasuk hati Maburi. Meski tak terbesit lagi sedikit pun syahwat di hatinya, bukan berarti ia bisa seenaknya menatap kecantikan wanita. Lelaki yang masih memiliki hubungan keluarga dengan Maria itu tetap berusaha menjaga diri. Kesopanan serta kesalihan menjadi prinsip hidupnya. Sebab, dia tak hanya ingin bernilai di mata manusia, melainkan lebih dari itu, di hadapan Sang Maha.

“Ibarat pelita yang menerangi seisi rumah, matamu adalah misbah untuk raga. Jika matamu baik, maka seluruh tubuhmu pun akan benderang. Namun, jika matamu jahat, niscaya tubuhmu pun akan dipenuhi gelita,” ucap Abba Isaak tempo hari kepada Maburi yang disambut anggukan pelan tanda mengerti.

“Saya tak ingin mata ini,” ucap lirih Maburi waktu itu sambil menunjuk kedua matanya dengan tangan kanan, “kelak berada di neraka.”

Abba Isaak tersenyum.

“Sungguh, lembut hatimu, Maburi. Kiranya Tuhan selalu menyertai langkahmu.”

“Saya pernah mendengar, jika mata kananku menyebabkanku terjerambab dalam dosa, maka lebih baik untukku mencungkilnya?” tanya lelaki yang sudah memasuki usia senja itu bersungguh-sungguh. “Sebab, lebih baik kehilang satu mata, daripada segenap tubuh dibuang ke neraka.”

Lagi-lagi Abba Isaak tersenyum mendengar ucapan Maburi.

“Benar, Iesous Pkhristos memang pernah berkata demikian.”

Mendadak kerongkongan Maburi seperti tersumbat. Ada kengerian yang dia rasakan. Bola matanya membelalak. Jakunnya naik turun menelan air ludah. Seketika kedua tangan Maburi meraba kedua matanya.

“Buanglah segala hal yang menghalangi kita dari ketaatan kepada Allah. Sedetik pun, jangan pernah membiarkan nafsu jahat itu membuatmu terjerumus dan berkeinginan untuk merealisasikan perbuatan dosa.”

“Entah sudah berapa kali mata ini berbuat dosa,” ucap Maburi pelan.

“Bukankah Tuhan sudah menyatakannya, bahwa Dia Maha Pengampun?”

Lalu Abba Isaak mengutip rangkaian kata bijak yang terinspirasi dari salah satu ayat dalam kitab Nabi Esaias.

Sekalipun dosamu merah bagaikan kirmizi, ia akan menjadi seperti salju nan lesi. Sekalipun berwarna merah seperti kain kesumba, akan menjadi putih seperti bulu domba.

Kenangan itu membuat Maburi makin menunduk.

“Maaf jika, saya lancang mengetuk pintu kamarmu malam-malam begini.”

Maria berjalan mendekati Maburi. Jarak mereka sekarang hanya sekira dua depa saja. Tanju di dinding membiaskan bayang-bayang tubuh Maria. Dari bayangannya, Maburi tahu jika Maria makin dekat sehingga ia makin menundukkan pandangan. Tak terpungkiri jika hasrat manusiawinya itu kadang masih bergetar. Maka ia memilih menjaga diri.

“Tadi, saya sudah mencarimu di seluruh sudut istana, tapi tidak ada. Saya pikir kau ada di dapur, nyatanya hanya ada Shirin dan beberapa pelayan lain di sana.” 

“Ada apa malam-malam ke sini, Maburi? Sepertinya ada hal yang sangat penting?”

Lihat selengkapnya