Matahari mulai meninggi. Bayang-bayang penjaga gerbang istana jatuh di tanah setinggi tombak. Unta-unta yang tengah diberi makan oleh para petugas mulai merasakan teriknya matahari. Terdengar suara terompah dari arah ruang tamu istana menuju kamar Maria. Dari suaranya yang bertalu cepat nyaris tanpa jeda, bisa diketahui jika pemilik terompah tengah berlari. Shirin terengah. Tepat di depan kamar Maria dia berhenti sejenak. Shirin mengatur napas sambil menempelkan telapak tangan di dada.
“Tiherine noten,”1 ucap Shirin mengucap salam sebelum memasuki kamar.
Tak ada jawaban dari dalam. Shirin membuka pintu kamar. Matanya langsung tertuju ke salah satu sudut kamar di sebelah timur dekat jendela yang sengaja dibiarkan terbuka. Sudut ruangan ditata sedemikian rupa untuk tempat beribadah. Sebuah meja sepanjang satu hasta dan lebar tiga hasta yang terbuat dari kayu pohon aras ditempatkan di sana sebagai meja altar pribadi untuk ibadah Maria. Meja itu ditutupi dua jenis kain, linen putih di bagian dalam serta kain wol berwarna ungu cerah di luarnya. Di atas meja ditempatkan sebuah wadah kecil berisi bara arang untuk membakar dupa serta beberapa ikon kudus di antaranya, Ikon Iesous Pkhristos, Bunda Sang Perawan, serta Janasuci2 Markus Sang Penginjil.
Shirin berjalan mendekat dengan langkah perlahan sambil merapikan telekung yang jatuh di atas pundaknya. Shirin menghentikan langkah beberapa depa dari tempat Maria duduk. Dia berdiri di belakang Maria yang baru saja menyudahi Ounou Mahsyomti.3 Lirih terdengar Maria sedang mendaraskan doa menggunakan mequetaria. Maria tampak begitu khusyu berdoa dengan mata terpejam. Shirin sungkan untuk menjedanya.
Sejenak Shirin mematung, menunggu sang kakak menyudahi ibadahnya. Namun, dia tahu bahwa Maria selalu tenggelam dalam doa dan kuat bersimpuh berlama-lama. Akhirnya, Shirin membuka terompah dan mendekati Maria. Kini, Shirin berada di atas permadani yang sama. Lalu, ia bersimpuh tepat di sebelah Maria.
“Xen Phran mphiot, nem Psyeri, nem Pi-pneuma Etouab, ounouti nouot. Amen,”4 ucap Shirin pelan seraya menyentuh dahi, dada dan pundak kanan kirinya membentuk simbol salib, seraya mengucap kalimat doa: dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus, Tuhan Yang Esa, Amin.
Shirin turut merapal doa tentang pengampunan. Bukan karena dia ingin turut berdoa bersama Maria, melainkan karena ingin menjeda Maria yang tengah memuji-muji nama-Nya sehingga Shirin merasa perlu meminta ampun pada Tuhan.
“Abba Isaak datang, Maria,” lirih Shirin bermaksud menjeda doa Maria.
Seketika Maria menghentikan jari-jarinya yang sedang menghitung mequetaria. Perlahan mata Maria membelah kegelapan, menampakkan iris yang berkilau bak bintang. Lalu, dia mengarahkan pandangan pada Shirin yang berada di sebelah kirinya. Shirin mengulangi ucapannya, mengatakan bahwa Abba Isaak sudah tiba di istana untuk memenuhi undangan Megaukes tempo hari.
“Ada apa dengan Abba Isaak?” tanya Maria pelan sambil membelai lembut tangan sang adik.
“Abba Isaak dan rombongan sudah datang, Maria,” jawab Shirin dengan wajah terlihat panik.
Maria menatap heran sang adik. Tak biasanya Shirin seperti ini saat kedatangan Abba Isaak ke istana. Justru sebaliknya, setiap kali Abba Isaak dan rombongan datang, Shirin menyambut dengan gembira.
“Apa tidak ada sajian yang bisa dihidangkan?”
Shirin menggelengkan kepala. “Bukan karena itu.”
“Lalu, apa yang membuatmu panik seperti ini?”
“Kau tahu, kan, maksud kedatangan Abba Isaak untuk menemui Megaukes?”
Maria mengangguk.
“Aku tak sampai hati jika mengatakan Megaukes tidak ada di istana karena sudah berangkat memenuhi undangan Kaisar Ieraklas tadi pagi. Kasihan Abba Isaak sudah jauh-jauh datang, tapi tak bisa bertemu dengan orang yang telah mengundangnya.”
Maria tersenyum. Seketika, dia teringat kembali tentang sosok yang belum tuntas diceritakan Abba Isaak saat Maria bertandang ke biara tempo hari. Senyum Maria menandakan selaksa makna tersembunyi di sana. Shirin makin heran. Mengapa Maria bisa setenang itu? Kehadiran Abba Isaak di istana tentu menjadi hal yang berarti bagi Maria. Sebuah kesempatan baik ada di depan mata. Pertemuannya kali ini dengan Abba Isaak adalah waktu yang tepat untuk menuntaskan keingintahuannya tentang Mesuga.
“Segeralah temui Abba Isaak,” ucap Shirin sambil meremas lembut tangan Maria.
“Baik. Aku akan segera menemui Abba Isaak,” ucap Maria dengan tenang, “Kau mau membantuku menyiapkan hidangan terbaik untuk mereka, kan?”
Shirin mengangguk. Perlahan dia melepas tangan Maria. Shirin segera bangkit dan memakai kembali terompahnya. Lalu, dengan langkah cepat Shirin pergi ke dapur untuk menyiapkan hidangan. Sejurus kemudian, Maria pun berdiri dari simpuhnya. Dia merapikan diri dengan cepat lalu bergegas menemui Abba Isaak dan rombongan di ruangan yang menjadi tempat Megaukes menjamu tamu.
“Mesuga. Siapa dirimu sebenarnya?” batin Maria penuh tanda tanya.
***
Rekeb Hamowr, tentang siapa seorang penunggang keledai, Maria sudah tak penasaran lagi. Sosok lelaki yang digambarkan berwajah lembut berhati mulia. Ikon kudus menggambarkannya tengah menunggang keledai dengan jubah kirmizi ketika dia memasuki kota Yerusalem menjelang perayaan Paskah. Sudah sering Maria mendengarkan tentang nubuat kedatangan Iesous Pkhristos, sang Penunggang Keledai, dari Abba Isaak. Salah satu nubuatan yang Maria ingat adalah dari Daniel sang nabi, dalam kitabnya.5
Kuangkat mukaku, lalu kulihat,