Sudah enam hari berlalu sejak kedatangan Abba Isaak ke istana. Selama hampir sepekan itu pula Maria dan Shirin merawat Abba Isaak. Mereka bolak-balik dari istana ke biara tanpa pengamananan Shinouti yang kala itu tengah menemani Megaukes. Sebagai pengganti Shinouti, Maburi selalu setia menyertai mereka ke biara untuk memastikan kondisi Abba Isaak tetap baik-baik saja. Dari negeri nun jauh di sana, Megaukes resah mendengar kabar tentang kondisi Abba Isaak. Segera, dia memerintahkan anak buahnya untuk mengirimkan tabib terbaik di kota Aleksandria ke biara untuk merawat Abba Isaak.
Pagi itu, seperti biasa Mesir begitu cantik saat cahaya gilang-gemilang menggelimantang dari sebelah timur. Matahari makin meninggi dan menghadirkan pemandangan yang memukau. Alam telah membuat mata terpana ketika matahari mulai menyinari gurun di Mesir, memberi warna keemasan pada langit dan tanah. Pepohonan dengan daun yang rimbun dan bunga-bunga yang sedang mekar dengan warna-warna cerah, semuanya terlihat begitu hidup dan menggugah semangat.
Seperti biasa, Maria, Shirin, dan Maburi menjenguk Abba Isaak di biara sekaligus mengantar beberapa bahan makanan titipan Megaukes. Untuk pertama kali setelah pulang dari mengawal Megaukes, Shinouti turut serta bersama mereka menjenguk Abba Isaak. Pada perjalanan kali ini Shinouti mengendalikan kereta yang ditarik dua ekor kuda hitam pilihan bersurai indah. Di sebelah Shinouti, Maburi duduk tenang.
Shinouti penasaran siapa tabib hebat yang dikirim Megaukes untuk merawat Abba Isaak. Meski demikian, hati Shinouti lebih ingin tahu keadaan Maria daripada sosok sang tabib. Pembahasan tentang Maria menjadi bahan yang begitu menarik bagi Shinouti selama diperjalanan.
“Maria aman, kan, selama aku tidak ada di istana?” ucap Shinouti pelan.
Sengaja Shinouti menurunkan suaranya agar tak terdengar dua kakak beradik yang duduk di belakang. Meski dia tahu, dengan suara tinggi pun mereka tidak akan mendengar karena tersamarkan oleh derap kaki-kaki kuda dia atas pasir dan bebatuan. Mustahil Maria dan Shirin yang duduk di belakang akan mendengar. Apalagi kaca jendela berlapis kain sutera cokelat muda itu tertutup rapat.
“Maria?” tanya Maburi pura-pura tidak paham dengan pertanyaan Shinouti.
Dari gelagatnya, Maburi tahu ada sesuatu di hati Shinouti kepada saudaranya yang jelita. Maburi kerap melihat Shinouti menatap Maria dengan tatapan berbeda. Bukan semata tatapan pengawal raja kepada pelayan istana melainkan tatapan seorang lelaki yang sedang dilanda cinta.
“Mengapa kau hanya bertanya tentang Maria? Shirin?”
“O … hmm, i-itu … hmmm…,” jawab Shinouti gelagapan. “Maksud saya mereka berdua, Maria dan Shirin.”
“Mereka baik-baik saja.” jawab Maburi
“Syukurlah.”
“Bagaimanapun meraka masih memiliki jalur darah dengan saya. Tentu sudah menjadi tanggung jawab saya untuk menjaga mereka,” ucap lelaki yang tak hanya pelayan istana, tetapi juga sepupu Maria dari pihak ayah.
“Apakah Maria pernah menceritakan sesuatu kepadamu? Hmmm … maksudnya saat saya tidak berada di istana beberapa hari kemarin, saat saya menemani Megaukes?”
Shinouti berharap, melalui Maburi, kali ini dia mendapat kepastian tentang perasaan Maria usai dia menyatakan isi hatinya beberapa waktu lalu. Shinouti menduga bahwa Maria akan berbagi cerita kepada Maburi sebab mereka masih bersaudara tentang kejadian sore itu, saat dirinya memberikan surat cinta. Maburi diam sejenak. Dia seperti mengingat-ingat lagi kejadian beberapa waktu lalu ketika berbincang dengan Maria.
“Ya, pernah,” jawab Maburi seraya mengerutkan kening.
“Boleh aku tahu tentang apa itu, Maburi?”
Shinouti makin penasaran. Sang pengawal berharap bahwa Maria akan mencurahkan isi hati kepada Maburi tentang surat cinta yang ia dapat dari Shinouti. Setidaknya, Shinouti tidak menduga-duga lagi tentang perasaan Maria kepadanya.
“Hmm …,” Maburi memegang dagu yang ditumbuhi janggut putih.
“Semoga saja itu tentangku,” batin Shinouti penuh harap.
Maburi menatap Shinouti yang masih tetap fokus mengendalikan kuda meski sesekali pandanganya mengarah ke Maburi saat berbicara.
“Coba kau ingat-ingat lagi.”
“Aaa … yaa, aku ingat.”
Shinouti melambatkan kudanya. Di depan mata sudah tampak gerbang biara.
“Maria menanyakan tentang dia,” ucap Maburi sambil menunjuk seorang Yahudi gila yang duduk-duduk agak jauh, kira-kira sepemanah jauhnya dari biara.
Shinouti melihat ke arah Maburi dengan tatapan heran.
“Apa pentingnya Maria menanyakan Yahudi gila itu?” tanya Shinouti dalam hati.
“Ya, benar. Tempo hari Maria bertanya kepadaku tentang Mesuga.”
***
Mereka tiba di biara. Maria dan Shirin berjalan lebih dulu menuju ke ruangan tempat Abba Isaak beristirahat. Abba Isaak menempati sebuah ruangan bagian belakang biara. Kamar itu berbentuk kotak, terbuat dari tanah liat dengan dua jendela kecil yang teletak mengapit daun pintu. Pintu dan jendela kamar yang terbuat dari kayu aras terbuka ketika mereka tiba tepat di depan kamar Abba Isaak. Jarak kedua gadis itu dengan pintu kamar hanya sepuluh depa.
Tidak lama setelah kedatangan Maria dan Shirin, keluar seorang tabib bersama tiga biarawan yang tempo hari menemani Abba Isaak ke istana. Salah satu dari biarawan itu berjalan ke pelataran sementara dua biarawan lain pergi ke ruang ibadah. Sang tabib yang selama empat hari ini merawat Abba Isaak melemparkan senyum ketika menatap Shirin dan Maria. Dua gadis Koptik itu pun membalas senyum sang tabib.
Mina, demikian nama sang tabib, lelaki berdarah campuran Romawi Koptik, berperawakan tinggi besar dan berparas rupawan. Dia dipilih Megaukes bukan lantaran keahliannya semata dalam ilmu pengobatan, melainkan juga karena kesalihannya. Tabib Mina juga dikenal sebagai ahli ibadah. Kesalihannya tidak perlu diragukan lagi oleh masyarakat sekitar. Tabib Mina tak sekadar mengandalkan ilmu pengobatan yang dikuasainya ketika melayani orang sakit, tetapi juga terkenal sebagai tabib rohani. Sebab saat melayani pengobatan, sang tabib kerap menyampaikan nasihat-nasihat dari kitab suci.
“Tabib, bagaimana keadaan Abba Isaak?” tanya Maria sedikit cemas.
“Sudah membaik, kan?” ucap Shirin turut bertanya.
Tabib Mina mengerutkan kening. Maria dan Shirin tampak cemas melihat air muka sang tabib yang seolah menandakan hal buruk terjadi pada Abba Isaak. Jeda beberapa saat, sang tabib pun mengubah kerut di dahinya dengan senyuman.
“Puji Tuhan, kondisi Abba Isaak makin membaik.”
“Syukurlah,” ucap Maria dan Shirin bersamaan.
“Melihat raut wajah Tabib tadi, saya kira terjadi sesuatu pada Abba Isaak.”
Tabib menggeleng serasa memulas senyum di bibirnya.
“Saya hanya melihat ada sesuatu yang aneh padamu, Maria.”
“Aneh?” ucap Maria heran.
Tabib Mina mengangguk. Maria tampak bingung.
“Hari ini, saya melihat binar matamu berbeda dari biasanya,” jawab sang tabib.
Mendengar ucapan sang tabib, Shirin menoleh lalu memandang Maria yang berdiri tepat di sebelah kanannya. Kemudian, ditatapnya dalam-dalam kedua bola mata sang kakak.