Dua hari berlalu sejak Megaukes mengeluarkan titah, Shinouti sibuk mempersiapkan hadiah dengan penuh semangat. Hadiah-hadiah itu akan diserahkan kepada Nabi Arabia yang mulia, membawa pesan persahabatan dari negeri yang jauh. Sejak fajar perlahan merangkak naik dan cahaya mentari yang hangat mulai menyinari bumi. Seluruh istana hiruk-pikuk, penuh gemuruh dan riuh.
Hari itu, Hathib akan kembali ke negeri Madinah, tempat yang penuh berkah. Lima hari sudah dia menetap di Aleksandria, menikmati keindahan dan keramahan yang luar biasa. Hadiah-hadiah yang telah disiapkan dengan teliti kini berbaris rapi di hadapan Hathib untuk dibawa pergi. Emas, kain tenun lembut khas Mesir, madu, dan rempah-rempah dengan aroma memikat hati. Semua tertata indah, mencerminkan keagungan dan kemurahan hati Megaukes.
Seluruh istana penuh kegembiraan melihat hadiah-hadiah yang menawan. Setiap benda, setiap detail, memancarkan kemegahan, seperti puisi yang indah penuh makna. Hathib tersenyum, dengan hati bahagia, siap memulai perjalanan pulang dengan membawa berkat dari Megaukes yang agung. Dengan hati-hati dia memeriksa semuanya, memastikan tak ada yang terlewatkan, agar setiap hadiah sampai dengan selamat, menyampaikan salam hangat dari Aleksandria.
“Baru kali ini Megaukes memberikan hadiah begitu banyak kepada tamu,” ucap salah seorang pengawal yang berjaga di dekat pintu melihat tumpukan hadiah.
“Betul. Tidak hanya itu, bahkan Megaukes memberikan pelayan-pelayan terbaik istana,” sahut pengawal lain yang berdiri di sebelahnya.
“Maria maksudmu?”
“Siapa lagi kalau bukan dia.”
Megaukes melangkah dengan gagah memasuki ruangan megah diikuti Shinouti dan Makalani yang setia. Dengan langkah mantap, dia duduk di tahtanya, penuh wibawa dan memancarkan aura seorang pemimpin yang bijaksana. Di sebelah kiri dan kanannya, Shinouti dan Makalani berdiri tegap, menjaga dengan penuh hormat dan bakti.
Di hadapan mereka, Hathib berdiri dengan tenang, tampak segar dan bersemangat. Gamis putihnya bersih berkilau, selaras dengan surban yang melingkari kepala, menciptakan paduan sempurna. Ia sudah bersiap untuk berpamitan, kembali ke Madinah, membawa pesan persahabatan dan hadiah istimewa. Megaukes tersenyum, memandang Hathib penuh kebanggaan. Megaukes mengamati hadiah-hadiah yang tertata rapi di hadapannya, simbol cinta dan penghargaan yang dipilih dengan teliti dan hati-hati. Shinouti dan Makalani di sampingnya, berdiri dengan bangga, menyaksikan momen penting ini. Mereka tahu, hadiah-hadiah ini lebih dari sekadar benda berharga, melainkan juga simbol ketulusan persahabatan dan kasih sayang.
“Sudah sesuai dengan yang saya perintahkan?” ucap Megaukes seraya melihat ke arah tumpukan hadiah.
“Sudah, Tuan. Semua dipilih dari yang terbaik yang ada di istana.” Lalu, Shinouti menyebut semua hadiah untuk memastikannya. “Seribu kantong emas. Dua puluh kain tenun lembut khas Mesir. Kayu gaharu, minyak kesturi dan berbagai wewangian. Obat-obatan yang diperlukan selama mereka diperjalanan. Tak lupa madu dari Banha, madu terbaik seantero Mesir.”
Megaukes mengangguk. Shinouti melanjutkan kembali ucapannya menyebutkan hadiah-hadiah untuk Nabi Arabia.
“Seekor bighal kelabu lengkap dengan pelananya, seekor keledai dan seekor kuda terbaik di istana sudah siap dan tertambat dengan aman di luar, Yang Mulia.”
“Maria?” tanya Megaukes kepada Shinouti seraya melihat sekeliling ruangan.
“Maria dan pelayan lainnya sedang bersiap, Yang Mulia.”
Sekali lagi, Megaukes mengangguk. Dia tidak ingin ada hadiah yang terlewat untuk Nabi Arabia.
“Bawalah hadiah-hadiah ini dengan hati yang tulus,” ucap Megaukes dengan suara lembut penuh makna. "Sampaikan salam hangat dan doa kami kepada nabi yang agung di tanah Arabia.”
Hathib mengangguk. Dengan mata bersinar penuh harapan, siap memulai perjalanan pulang .
“Shinouti, kau tak lupa hadiah untuk Hathib, kan?”