Mereka tiba di biara yang bangunan utamanya terbuat dari batu basal berwarna abu-abu kehitaman dengan kubah bujur sangkar. Maria segera masuk. Dinding bangunan berkubah yang menghadap ke timur itu dihiasi dengan gambar, tulisan, serta, ornamen religius berupa kisah-kisah yang diambil dalam kitab suci. Bukan tanpa sebab sebuah bangunan ibadah memiliki konstruksi seperti itu. Konstruksi biara sudah menjadi tradisi dan sesuai konstitusi apostolik di mana disebutkan dalam tulisan para Bapak Gereja awal seperti St. Clement dari Aleksandria, Origenes, dan Tertullian.
Maria berjalan menuju serambi untuk bertemu Abba Isaak. Biasanya lelaki itu ada di sana sejak matahari sepenggalan hingga tepat di atas kepala. Sementara Shirin masih menemani Shinouti mengikat tali kekang kereta kudanya agar aman di halaman biara.
Di serambi, Abba Isaak biasa menyampaikan kisah-kisah penuh hikmah kepada Maria dan Shirin saat mereka berkunjung ke biara. Mulai dari kisah cinta Adam dan Hawa, kisah heroik Mouses menyeberangi laut merah, serta kisah lain yang sarat makna. Salah satu kisah yang cukup menarik perhatian mereka adalah ketika Abba Isaak bercerita tentang Abraham.
“Kalian pernah mendengar kisah Abraham dibakar di tungku api?” ucap Abba Isaak waktu itu.
Shirin melihat ke arah Maria. Lalu, keduanya menggelengkan kepala. Tampak kerutan di kening mereka. Selang beberapa saat, Shirin membuka mulut lalu mengungkapkan hal yang mengganjal hatinya.
“Setahuku kitab suci tidak pernah menceritakan hal itu, Abba,” ucap Shirin sambil memainkan ujung bajunya.
“Aku yakin pasti cerita dari tradisi Taurat lisan. Bukankah Abba sebelumnya adalah seorang rabi?” ucap Maria dalam hati. “Ya, tentunya banyak tradisi lisan yang tidak ada dalam kitab suci dan kaum Yahudi memegang teguh secara turun temurun tradisi itu.”
“Justru itu, Abba akan menceritakannya, sebab tidak tercatat dalam kitab suci.”
Maria dan Shirin mengangguk pelan. Abba Isaak mulai bercerita tentang pembangkangan Abraham terhadap penguasa yang menyembah berhala pada masanya, kisah yang diceritakan melalui tradisi lisan dari generasi ke generasi.1
***
Hari itu, Terah baru saja menyelesaikan berhala buatannya. Tanpa menunggu waktu lama, dia harus menjualnya untuk keperluan dapur keluarga. Terah membawa putranya, Abraham, ke suatu tempat. Dia menyuruh Abraham untuk menjual patung berhala yang dijadikan berhala pada penduduk.
Hatta, seorang lelaki tua mendekati Abraham yang sedang menunggui berhala barang jualannya. Lelaki tua itu hendak membeli sebuah berhala yang ada di hadapan Abraham. Belum sempat lelaki tua itu menawar harga, Abraham mengajukan pertanyaan padanya.
“Wahai lelaki tua, berapa usiamu?” tanya Abraham.
“Lima puluh tahun, Anak Muda,” jawab lelaki itu.
“Celakalah engkau wahai lelaki tua. Engkau berusia lima puluh tahun dan engkau akan menyembah sebuah benda yang baru berumur satu hari!” ucap Abraham.
Lelaki itu pun pergi meninggalkan Abraham dengan perasaan malu.
Pada kesempatan lain, seorang perempuan datang kepada Abraham membawa sepiring penuh tepung dan memintanya untuk mempersembahkan tepung itu pada berhala-berhala.
“Ambillah tepung ini dan persembahkanlah kepada mereka,” pinta perempuan itu pada Abraham lalu pergi meninggalkannya. Ia percaya Abraham akan mempersembahkan tepung yang dibawanya kepada berhala-berhala itu.
Namun, dugaan perempuan itu salah. Abraham bangkit dari duduknya lalu mengambil sebatang tongkat. Kemudian dia meremukkan berhala-berhala itu dengan tongkatnya. Usai menghancurkan berhala, Abraham meletakkan tongkat di tangan patung yang paling besar.
Abraham duduk kembali ke tempat semula seolah tidak terjadi apa-apa. Beberapa saat berselang, Terah kembali menemui Abraham. Sang Ayah terkejut dengan apa yang dilihatnya. Mata Terah memerah. Gerahamnya digigit kuat. Kedua matanya membelalak seolah ingin keluar dari tempatnya.
“Apa yang telah kamu lakukan pada mereka?” murka Terah.
“Ayah, beberapa waktu lalu ada seorang perempuan datang kepadaku. Dia membawa sepiring penuh tepung dan memintaku menawarkannya kepada mereka.”
Abraham menceritakan dengan tenang seolah bukan dia pelaku perusakan berhala-berhala itu.
“Kau tahu ayah? Melihat aku membawa tepung lezat itu, salah satu berhala mengatakan ingin memakannya lebih dulu. Sementara berhala lain pun menginginkan hal yang sama. Mereka saling berebut ingin makan tepung itu lebih dulu.”
Terah makin geram mendengar cerita tak masuk akal dari putranya. Abraham terus melanjutkan kalimatnya.
“Kemudian, berhala paling besar itu muncul. Dia mengambil tongkat lalu meremukkan berhala-berhala kecil yang sedang meributkan tepung itu hingga tinggal dirinya yang tersisa dan mendapat tepung persembahan.”