Aleksandria, kota bak permata di Laut Tengah, telah tertinggal begitu jauh di belakang lalu menyelinap begitu cepat di balik cakrawala, menyerahkan diri pada kegelapan malam. Di sepanjang perjalanan, langit menyaksikan perubahan takdir yang dramatis. Hingga matahari terbenam sempurna tanpa menyisakan semburat cahanyanya, belum tampak perkampungan penduduk yang bisa mereka jadikan tempat beristirahat. Sekiranya masih membutuhkan waktu cukup lama, sekira pelayan mengadon roti gandum hingga siap dihidangkan. Sementara itu, keletihan dan kesedihan telah menumpuk dalam diri gadis-gadis Koptik yang telah meninggalkan tanah kelahirannya. Mereka butuh istirahat untuk menenangkan jiwa dan raganya.
Rombongan Shinouti merayap menuju takdir malam mereka, menjelajahi keheningan alam liar di bawah atap langit nan luas yang berpadu erat dengan butiran pasir lembut sebagai tikar. Mereka memutuskan untuk menjadikan padang pasir sebagai saksi bisu perjalanan mereka. Malam ini, hidup di bawah gemintang bukanlah sekadar petualangan biasa.
Kemah-kemah sederhana pun didirikan, menjadi satu-satunya pelindung dari kegelapan yang menyelinap dan gigitan hawa dingin pada malam hari. Pasir menjadi alas untuk merebahkan tubuh yang lelah ditingkahi cahaya gemintang di langit.
***
Makan malam sederhana telah selesai beberapa saat lalu. Sup lentil dan empuknya daging domba muda dengan racikan bumbu sederhana seperti jintan, ketumbar, dan kayu manis terasa lezat menyentuh lidah mereka yang sudah lapar sebab seharian berjalan. Porsinya pun mengenyangkan. Perbekalan dari Aleksandria yang mereka bawa akan menjadi sahabat setia dan memenuhi kebutuhan pangan selama perjalanan mereka untuk beberapa hari ke depan.
Hidangan malam khas Mesir yang sederhana, tetapi sarat kenangan telah menghiasi malam itu. Maria dibantu Shirin dan Barirah, menciptakan keajaiban di dapur sederhana mereka berupa kayu bakar yang disusun sedemikian rupa menjadi api unggun. Aroma sup lentil memenuhi udara. Daging domba muda lembut dengan sentuhan khas rempah-rempah seperti jintan, ketumbar, dan kayu manis, memanjakan lidah. Porsinya yang melimpah memanjakan perut, menjadi pelipur lapar bagi para musafir yang telah merindukan kehangatan makanan setelah melewati sepanjang hari perjalanan.
***
Makan malam telah usai. Mereka berkumpul di sekeliling tumpukan kayu bakar dibiarkan tetap menyala. Suara ranting kering terbakar dan percikan bara api mengisi udara malam gurun pasir yang sunyi. Sesekali api meliuk dihembus angin sepoi-sepoi. Di antara percikan api, Mina dan Maburi dengan cermat menambahkan ranting-ranting kering, menjaga api tetap menyala, sebagai penawar terhadap dinginnya udara malam yang menusuk kulit.
Sementara itu, hanya sepelempar batu jaraknya dari api unggun, seperti sebuah adegan dari teater bayangan, Shinouti dengan cekatan melayani Hathib. Sebagaimana perintah Megaukes, Shinouti memenuhi kebutuhan Hathib selama dalam perjalanan dengan penuh dedikasi. Shinouti pun tak pernah lengah menjaga rombongan. Ia selalu awas menatap sekeliling, memastikan Hathib dan rombongan tetap aman. Shinouti adalah paduan kebaikan hati, ketangguhan, dan kewaspadaan seorang pengawal.
Di balik cahaya api unggun, bayangan tubuh Shinouti dan Hathib bergerak seperti sebuah pementasan lakon sandiwara. Dari kejauhan, Mina dengan cermat mengikuti setiap gerak langkah Shinouti yang membawa sekirbat air di tangannya. Dengan langkah mantap, Shinouti mendekati Hathib, yang berdiri tak jauh dari kemah mereka. Sesampainya di depan Hathib, Shinouti diam, membiarkan Hathib membuka surban di kepala, mengekspos wajahnya yang teduh dan penuh kebijaksanaan. Beberapa saat kemudian, Hathib menggulung lengan gamis putihnya hingga mencapai siku. Perlahan, Shinouti menuangkan air segar dari kirbat ke dalam kedua telapak tangan Hathib. Setiap tetesan air menjadi penghubung antara pelayan dan penerima.