Madah Rindu Maria

Hadis Mevlana
Chapter #16

Asora de Tishri

Abba Isaak memandangi perkamen di tangannya. Pelan-pelan dia membaca lagi tulisan pada perkamen itu. Suaranya serak. Perlahan, setitik air bening muncul dari kedua ujung mata. Tulisan suci Nabi Daniel itu mengingatkannya kepada seorang sahabat yang tinggal di negeri nan jauh di sana. Ia teringat kembali diskusi-diskusi ringan mereka nan sarat makna, tentang janji Tuhan dalam kitab suci, tentang sebuah ramalan masa depan. Sebuah nubuatan yang jauh-jauh hari sudah disampaikan Tuhan melalui hamba-Nya yang hidup pada masa pembuangan bangsa Israel dari Kerajaan Yehuda ke negeri Babilonia, di selatan Mesopotamia.

Nubuatan Nabi Daniel tentang akhir zaman itu sempat menyebabkan Abba Isaak dan sahabatnya berseteru. Mereka meyakini bahwa nubuatan Nabi Daniel adalah sebuah peristiwa besar yang akan terjadi menjelang akhir zaman. Namun, mereka berselisih pendapat. Sang sahabat meyakini bahwa nubuatan Nabi Daniel adalah tentang kedatangan Mesias. Sementara Abba Isaak dengan latar belakang keluarga Yahudi yang begitu religius meyakini bahwa ramalan itu bukan untuk kedatangan Mesias.

“Bagaimana kau tidak yakin bahwa ini tentang kedatangan Mesias?”

Abba Isaak, dengan latar belakang keilmuan keluarga yang sebagian besar adalah para rabi hanya menggeleng pelan.

“Sungguh, aku yakin itu bukan untuk Mesias.”

Jawaban Abba Isaak itu membuat mata sang sahabat membelalak. Dia terkejut mendengar kata-kata Abba Isaak. Keyakinan Abba Isaak sangat bertentangan dengan apa yang sudah diyakini oleh gereja sejak lama.

“Kau sudah kerasukan roh jahat, Isaak.”

Abba Isaak hanya menggeleng seraya tersenyum.

“Tuhan lebih tahu peristiwa apa sebenarnya di balik nubuat itu. Kita hanya bisa menerka-nerka saja dengan dasar keilmuan yang kita punya. Jangan tergesa-gesa menuduhku bidat hanya lantaran cara pandanganku berbeda denganmu.”

***

Abba Isaak mengambil sebuah ranting kering di tanah. Lalu, dia menuliskan deretan angka-angka di sana. Pada baris atas dia menuliskan angka 132, angka yang menyimbolkan tahun berdarah. Terhitung sejak tahun 132 hingga tahun 135, telah terjadi Perang Bar Kokhba, yakni serangkaian pemberontakan besar untuk kali kedua yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi dari Provinsi Yudea terhadap Kekaisaran Romawi. Pemberontakan pertama terjadi sekitar 60 tahun sebelumnya, yakni pada tahun 66-73 Masehi. Pada Perang Bar Kokhba, seorang ahli kitab Yahudi bernama Rabi Akiva meyakinkan pihak Sanhendrin, dewan tertinggi agama Yahudi, untuk mendukung pemberontakan melawan Romawi. Simon Bar Koziva, yang diberi gelar Simon Bar Kokhba, terpilih menjadi pemimpin.

Tepat di bawahnya, Abba Isaak menuliskan angka 490, sebagaimana angka yang disebutkan pada kitab Nabi Daniel pada ayat ke 24, pasal kesembilan.

Tujuh puluh kali tujuh masa telah ditetapkan atas bangsamu dan atas kotamu yang kudus, untuk melenyapkan kefasikan, untuk mengakhiri dosa, untuk menghapuskan kesalahan, untuk mendatangkan keadilan yang kekal, untuk menggenapkan penglihatan dan nabi, dan untuk mengurapi yang Maha Kudus.

Lalu, dia menjumlahkan keduanya sehingga mendapatkan hasil 622, sebuah angka yang menyimbolkan tahun kedatangan sosok sebagaimana dinubuatkan Nabi Daniel. Pada tahun 622 diharapkan akan datangnya penolong mereka. Sebab, Perang yang dipimpin oleh Simon Bar Kokhba melawan Kaisar Hadrianus telah menelan banyak korban dari pihak Yahudi. Kegagalan dalam Perang Bar Kokhba memakan korban begitu besar. Sebanyak 580.000 orang Yahudi terbunuh, 50 kota benteng dan 985 desa diratakan dengan tanah. Bahkan, kaisar yang berkuasa dari 117 hingga 138 M itu melarang segala bentuk Yudaisme. Kaisar juga melarang hukum Taurat dan penggunaan kalender Yahudi karena dianggap sebagai penyebab pemberontakan yang selama ini dilakukan oleh kelompok Yahudi kepada Romawi.

Tidak hanya itu, Kaisar pun melarang pemeluk Yahudi mempelajari Taurat secara terang-terangan. Bagi mereka yang melanggar, maka tanpa belas kasihan, kaisar akan menjatuhinya dengan hukuman mati. Rabi Akiva melanggar larangan itu. Lalu, dia dijebloskan ke dalam penjara. Perwira Romawi, Turnus Rufus, menjatuhkan hukuman mati kepada Rabi Akiva. Kaisar memerintahkan para tentara Romawi merobek-robek tubuh Rabi Akiva dengan paku-paku besi.

Kaisar pun memerintahkan untuk membakar gulungan suci Taurat dalam sebuah upacara di Gunung Bait Allah. Lalu, kaisar bernama lengkap Publius Aelius Traianus Hadrianus ini pun menempatkan patung Dewa Yupiter dan patung dirinya sendiri di tempat kudus, bekas reruntuhan Bait Allah.

Lihat selengkapnya