Abba Isaak menatap perkamen di tangannya. Pelan-pelan dia membaca lagi tulisan pada perkamen itu. Suaranya serak. Perlahan, setitik air bening muncul dari kedua ujung mata. Tulisan suci Nabi Daniel itu mengingatkannya kepada seorang sahabat lama yang tinggal di negeri nan jauh di sana. Ia teringat kembali diskusi-diskusi ringan mereka nan sarat makna, tentang janji Tuhan dalam kitab suci, tentang sebuah ramalan masa depan. Sebuah nubuatan yang jauh-jauh hari sudah disampaikan Tuhan melalui hamba-Nya yang hidup pada masa pembuangan bangsa Israel dari Kerajaan Yehuda ke negeri Babilonia, di selatan Mesopotamia.
Nubuatan Nabi Daniel tentang akhir zaman itu sempat menyebabkan Abba Isaak dan sahabatnya berseteru. Mereka meyakini bahwa nubuatan Nabi Daniel adalah sebuah peristiwa besar yang akan terjadi menjelang akhir zaman. Namun, mereka berselisih pendapat. Sang sahabat meyakini bahwa nubuatan Nabi Daniel adalah tentang kedatangan Mesias. Sementara Abba Isaak dengan latar belakang keluarga Yahudi yang begitu religius meyakini bahwa ramalan itu bukan untuk kedatangan Mesias.
“Ramalan ini tentang Mesias,” sahabat itu berkata waktu itu, penuh keyakinan.
Abba Isaak, dengan latar belakang keilmuan keluarga yang sebagian besar adalah para rabi hanya menggeleng pelan.
“Sungguh, aku yakin itu bukan untuk Mesias.”
Jawaban Abba Isaak itu membuat mata sang sahabat membelalak. Dia terkejut mendengar kata-kata Abba Isaak. Keyakinan Abba Isaak sangat bertentangan dengan apa yang sudah diyakini oleh gereja sejak lama.
“Kau sudah kerasukan roh jahat, Isaak.”
Abba Isaak hanya menggeleng seraya tersenyum.
“Tuhan lebih tahu peristiwa apa sebenarnya di balik nubuat itu. Kita hanya bisa menerka-nerka saja dengan dasar keilmuan yang kita punya. Jangan tergesa-gesa menuduhku bidat hanya lantaran cara pandanganku berbeda denganmu.”
Abba Isaak berjongkok. Ia mengambil sebatang ranting kering, dan mulai menggoreskannya angka-angka di atas tanah. Bukan untuk mengajar siapa pun; hanya untuk menenangkan pikirannya sendiri. Angka-angka itu keluar dari ingatannya yang masih jernih.
Pada baris atas, ia menuliskan: 132.
Ia menarik napas perlahan, seolah angka itu membawa aroma darah dan debu perang yang datang dari masa ribuan tahun lalu.
Sejak 132 hingga 135, tahun-tahun yang oleh para leluhur itu disebut sebagai masa paling kelam. Masa ketika Bar Kokhba, pemuda gagah yang diagungkan sebagian kaum Yahudi, memimpin pemberontakan besar melawan Romawi.
Abba Isaak pernah membaca naskah tua tentang Rabi Akiva, bagaimana sang ahli kitab meyakinkan Sanhendrin untuk mendukung perang itu, dan bagaimana mereka memberi gelar kehormatan kepada Simon Bar Koziva: Bar Kokhba, “Sang Putra Bintang”.
Lalu, tepat di bawahnya, ia menggoreskan angka kedua: 490.
Ayat dari kitab Nabi Daniel langsung melintas dalam benaknya. Ayat yang selalu membuat hatinya bergetar setiap kali membacanya.
“Tujuh puluh kali tujuh masa telah ditetapkan… untuk menggenapkan penglihatan dan nabi, dan untuk mengurapi yang Maha Kudus.”
Lalu, ia menjumlahkan keduanya di baris ketiga: 622.
Abba Isaak menatap angka itu lagi, lama sekali. Angka itu seperti mempunya makna khusus baginya. Sesuatu yang tak bisa ia jelaskan sepenuhnya. Sesuatu yang, jika benar, dapat mengguncang banyak hal.
Ia mengangkat ranting itu dari tanah dengan tangannya yang gemetar. Bukan karena usia, melainkan karena ingatan yang kembali menghampiri: tentang 580.000 jiwa yang gugur di bawah bayang pedang Romawi, tentang 50 kota benteng dan 985 desa yang lenyap tanpa bekas, tentang Kaisar Hadrianus yang melarang Taurat, kalender Yahudi, bahkan doa-doa yang telah diwariskan turun-temurun.
Abba Isaak menutup mata sejenak saat membayangkan Rabi Akiva, guru para guru, yang tetap membaca Taurat meski larangan itu berdiri seperti tembok maut di depannya. Ia bisa hampir melihat bayangan tentara Romawi menarik paku-paku besi untuk merobek tubuh sang rabi.
Ia pernah membaca penuturan tua: Rabi Akiva tetap melafalkan “Shema Yisrael…” sampai napas terakhirnya.
***