Shinouti berjalan menuju ruang kamar terbaik yang ada di istana. Di belakangnya turut serta Maburi dan beberapa pelayan yang siap membantunya. Sementara, Hathib masih bersama Megaukes. Mereka melanjutkan berbincang usai jamuan makan beberapa saat lalu.
Maburi berjalan lebih cepat mendahului Shinouti. Beberapa langkah lagi di depan, mereka akan tiba di ruang yang akan digunakan Hathib untuk berisitirahat. Maburi membukakan pintu. Shinouti memasuki ruangan. Empat pelayan lain dan Maburi membuntuti dari belakang.
Shinouti memeriksa sekeliling ruangan yang cukup luas dan terjaga kebersihannya itu. Terlebih hari ini ruangan itu akan digunakan untuk tamu Megaukes hingga beberapa hari ke depan. Sudah menjadi keharusan untuk memperlakukan sang tamu dengan jamuan terbaik. Sesaat setelah memasuki ruangan, aroma wewangian dari mur yang dibakar pun menusuk hidung mereka. Tercium aroma wewangian yang menyegarkan, menenangkan, dan membuat nyaman siapa pun yang tinggal di dalamnya.
Maburi dan empat pelayan berbaris rapi, siap menerima instruksi. Sementara Shinouti berjalan ke arah tempat tidur megah untuk tempat beristirahat sang tamu. Tempat tidur untuk tamu Megaukes kali ini, dipannya terbuat dari besi, memiliki atap dan tirai penutup yang terbuat dari beludru. Dipan itu dilapisi dengan alas empuk berupa kain yang berisi bulu-bulu unggas.
Shinouti mengarahkan pandangan ke dinding kamar. Matanya tertuju pada ikon Abraham yang bersebelahan dengan ikon Mouses di sebelah kirinya serta ikon Iakob di sebelah kanan. Lalu, Shinouti mengeluarkan ikon berukuran kecil dari saku baju dan menciumnya, ikon yang selalu menemaninya setiap kali melakukan perjalanan atau pun saat bertempur di medan perang agar memperoleh berkat keselamatan. Ikon salah seorang santo yang namanya persis dengan nama dirinya. Nama Shinouti sendiri diberikan sang ayah sebab terinspirasi dari nama seorang santo paling terkenal dari Gereja Ortodoks Koptik yang hidup pada pertengahan abad keempat Masehi. Abba Shenouti dari Atripe juga dikenal sebagai Shenouti Agung atau Santo Shenouti sang Archimandrite, seorang kepala Biara Putih di Mesir.
Shinouti penasaran mengapa kali ini Megaukes memperlakukan tamunya lebih istimewa dibanding tamu-tamu sebelumnya. Bahkan, Megaukes pun menuruti satu permintaan sang tamu yang belum pernah diminta oleh tamu-tamu sebelumnya. Para tamu biasanya ingin disediakan makanan atau minuman yang enak, kasur empuk, dan banyak lagi hal yang kadang merepotkan pelayan-pelayan istana. Namun, kali ini berbeda. Delegasi dari negeri Arabia yang membawa sebuah surat dari sosok lelaki yang mengaku sebagai nabi meminta kamarnya bersih dari segala gambar. Baru kali ini ada tamu yang meminta permintaan seperti itu. Menurunkan gambar-gambar suci dari dinding kamar.
Permintaan sang tamu dari negeri Arabia itu mungkin terdengar begitu sederhana. Meski demikian, permintaan sederhana itu membuat hati Shinouti bergetar menahan amarah. Bagaimana mungkin Shinouti sudi menurunkan ikon-ikon suci yang sudah ada bahkan sebelum dia bertugas di istana itu?
Shinouti pun teringat bagaimana terkejutnya Hathib saat kali pertama Shinouti mengantar ke kamarnya. Hathib mengamati deretan gambar di depannya. Gelagat tidak nyaman begitu terlihat dari sikap Hathib ketika melihat gambar-gambar orang kudus di sekeliling dinding kamar. Hathib yang awam dengan gambar-gambar orang kudus itu pun bertanya kepada Shinouti. Hathib menunjuk satu per satu gambar dengan mata penuh tanya, seolah meminta penjelasan. Setiap kali jari Hathib berhenti di sebuah gambar, Shinouti dengan sigap memberikan penjelasan. Dia menjelaskan dengan rinci siapa tokoh-tokoh yang tergambar di sana, menceritakan kisah mereka seolah ia mengenal setiap wajah dalam gambar itu secara pribadi.
Shinouti, yang telah sering berinteraksi dengan para saudagar dari negeri Arab yang singgah di Aleksandria, merasa sedikit familiar dengan bahasa yang digunakan Hathib. Shinouti berusaha memahami kata-kata yang Hathib ucapkan, menangkap makna di balik nada dan intonasi yang asing itu. Shinouti berusaha menjalin komunikasi dalam bahasa Arab dengan keterbatasan bahasa yang ia kuasai.
Dengan hati-hati, Shinouti mulai berbicara, meski belum sepenuhnya fasih. Setiap kata terasa seperti jembatan yang rapuh, menghubungkan dua dunia yang berbeda—dunia gurun pasir dan dunia pantai biru Aleksandria. Dengan terbata-bata, Shinouti mencoba merangkai kata-kata dalam bahasa Arab, mencari cara terbaik untuk menjelaskan siapa sosok-sosok yang terlukis dalam gambar itu. Ia tahu, komunikasi ini bukan hanya tentang kata-kata, tetapi juga tentang pemahaman dan rasa hormat antara dua budaya yang berbeda.
Mata Hathib menatap Shinouti dengan sabar sambil mendengarkan dengan saksama. Di antara kalimat yang terputus-putus dan bahasa yang belum sempurna, tumbuhlah pemahaman di antara keduanya, sebuah jembatan yang terbentuk dari niat baik dan usaha tulus. Kata-katanya mungkin terdengar kaku, tidak sehalus para penutur asli. Namun, dalam setiap ucapannya ada keinginan kuat untuk dipahami. Sesekali Hathib mengangguk, memberi isyarat bahwa ia mengerti dengan apa yang disampaikan Shinouti. Dalam momen itu, di antara kata-kata yang terucap perlahan dan gestur yang saling mengerti, dua pria dari latar belakang yang sangat berbeda mencoba memahami satu sama lain, membangun jembatan kecil antara Timur dan Barat.
“Gambar orang-orang kudus ini sejatinya untuk mengingatkan kita tentang mereka yang telah menyerahkan hidupnya kepada Tuhan. Agar ketika melihatnya, kita selalu mengingat orang-orang kudus ini dan memuliakan Tuhan yang memuliakan mereka,” jelas Shinouti.
Hathib tersenyum mendengar penjelasan Shinouti dan berusaha memahami serta menghormati keyakinannya.
“Iesous … Mouses …,” ucap Shinouti sambil menunjuk ke arah ikon Iesous dan Mouses yang terpasang di dinding.
Selang beberapa saat kemudian, Hathib pun menceritakan tentang dua sosok tokoh yang ikonnya baru saja ditunjuk oleh Shinouti. Lalu, Hathib menceritakan sekilas tentang sosok Iesous dan Mouses. Dua sosok di mana dalam keyakinannya sebagai seorang muslim adalah nabi yang memiliki keistimewaan. Mereka adalah dua dari lima rasul bergelar Ulul Azmi, sebuah gelar khusus bagi rasul pilihan yang mempunyai ketabahan luar biasa.
Pada kesempatan itu, Hathib menceritakan tentang ciri-ciri Iesous dan Mouses seperti yang ia dengar dari sang nabi ketika sang nabi menjalankan perjalanan mistis, dari Masjidil Aqsa ke langit ke-7 yang dikenal dengan nama Mikraj.
Shinouti menyimak ciri-ciriIesous dan Mouses sebagaiamana yang disampakan oleh Hathib. Dari cerita Hathib tersebut, Shinouti akhirnya mengetahui bahwa pada saat Nabi Arabia itu melakukan Mikraj, sang nabi melihat Iesous laki-laki dengan kulit kemerahan, tegap dan berdada bidang. tidak tinggi dan tidak terlalu pendek. Rambut kepala beliau seakan menetes meski tidak basah. ‘Urwah bin Mas’ud, salah satu sahabat sang nabi, memiliki kemiripan dengannya.
Sementara Mouses, sosok nabi besar yang makna namanya berarti “Diangkat dari air”, nama itu diberikan oleh Putri Firaun, digambarkan sebagai laki-laki kurus tinggi seperti kebanyakan laki-laki dari Bani Syanu’ah, lelaki dari Afrika.
“Apakah itu malaikat Jibril?” tanya Hathib menunjuk gambar manusia bersayap.
“Iya benar, Tuan.”
“Saya pernah mendengar dari nabi, bahwa Jibril Alaihissalam, ternyata dia mirip dengan salah satu sahabat kami yakni Dihyah bin Khalifah al-Kalbi yang saat ini mendapat tugas dari sang nabi untuk menyampaikan surat kepada Ieraklas, Kaisar Romawi Timur.”
“Jadi sahabat-sahabat Tuan pun mendapat tugas mengatarkan surat kepada para penguasa lainnya?
“Benar, Tuan,” jawab Hathib seraya menganguk lalu menceritakan siapa saja sahabat-sahabat nabi yang mendapat tugas mulia itu.
Sang nabi telah memilih dan mengutus setidaknya lima sahabatnya untuk menyampaikan pesan dakwah Islam kepada penguasa dunia. Kepada Haudzah bin ‘Ali, penguasa Yamamah, sang nabi mengutus Salt al-‘Amir bin ‘Abdu Syam. Kepada Al-Mundzir bin Sawa, penguasa Bahrain, sang nabi mengutus Al-‘Ala al-Hadrami. Kepada penguasa Oman, Ja’far bin Julanda dan ‘Abbad, sang nabi mengutus ‘Amr bin ‘Ash. Kepada Ieraklas, Kaisar Romawi Timur, sang nabi mengutus Dihyah bin Khalifah al-Kalbi al-Khazraji. Sementara Hathib bin Abi Balta’ah mendapat tugas untuk menyampaikan pesan itu kepada penguasa suku Koptik di Aleksandria, Mesir.