Pagi-pagi sekali Shinouti pergi menemui Makalani. Dia tahu, beberapa hari ke depan Makalani akan sangat sibuk menjadi penerjemah Megaukes. Fajar masih mengintip. Masih banyak kesempatan bagi Shinouti untuk bertemu dengan Makalani. Entah mengapa, ada perasaan tak biasa di hati Shinouti saat dia berjalan di sepanjang lorong istana menuju tempat Makalani. Mendadak ia menangis. Bisikan syair dari bibir Shinouti yang bergetar membuat semakin deras air matanya. Keharuan merayapi dirinya.
Benarkah engkau telah datang?
Dari negeri Arabia kini sabdamu tiba di negeri Mouses
Sabdamu yang santun
Mengajak hati menyembah kepada Sang Maha Pengampun
Benarkah engkau Nabi yang datang setelah Iesous?
Benarkah hitungan gematria yang menyebut namamu di sana?
Duhai lelaki yang telah diramalkan Yesaya dalam kitabnya
Duhai penunggang unta
Betapa tak sabar menunggumu tiba
***
Shinouti mengetuk pintu kamar Makalani. Beberapa saat kemudian, pintu terbuka. Makalani terkejut melihat sepagi itu Shinouti datang untuk menemuinya. Sebaliknya, Shinouti tersenyum. Dia merasa beruntung sebab pagi ini bisa menemui juru tulis istana itu. Makalani mempersilakan Shinouti masuk ke kamarnya lalu memintanya duduk di kursi yang biasa digunakan Makalani untuk menerjemahkan atau menuliskan surat-surat dalam bahasa asing dari negeri tetangga.
“Ada apa, Tuan? Tak biasanya sepagi ini Tuan menemuiku? Apakah Megaukes memanggilku lebih pagi dari rencana sebelumnya?” tanya Makalani sesaat setelah Shinouti memasuki ruang tempat kerjanya. Kini mereka duduk berhadapan. Tatapan mata Shinouti begitu serius.
“Benar, dia mengaku sebagai nabi?”
“Bukankah Tuan turut mendengarnya juga di ruang Thronos?”
“Aku hanya ingin memastikannya saja, Makalani.”
“Demikian pengakuan sebagaimana yang tersebut dalam surat yang kubaca dari tamu itu,” jawab Makalani seraya mengangguk pelan.
“Siapa namanya?” tanya Shinouti menelisik.
“Nabi itu?”
Shinouti mengangguk. Mata Shinouti memperhatikan gerak bibir Makalani saat dia menyebut nama sang nabi Arab itu.
“Boleh kau ulangi sekali lagi dengan perlahan?” Sekali lagi Shinouti memastikan bahwa kata-kata yang terucap dari Makalani itu tidak salah.
Makalani mengulangi persis sebagaimana diminta Shinouti.
“Boleh kau tuliskan nama sang nabi itu?”
Kedua alis Makalani bertaut. Dia heran melihat Shinouti yang begitu menggebu dengan sosok yang mengaku sebagai nabi dari negeri Arabia.
“Kau masih ingat, kan?” tanya Shinouti memastikan.
Makalani mengangguk.
“Sebentar,” ucap Makalani seraya mengambil selembar papirus.
Makalani mencelupkan ujung penanya ke sebuah wadah berisi tinta lalu dia menuliskan sebuah nama. Shinouti mengerutkan dahi. Kedua alisnya saling bertaut. Sebuah aksara yang asing baginya. Tak seperti biasanya, kali ini Makalani menuliskan sebuah nama dalam aksara Arab di atasnya dengan sangat hati-hati. Padahal, ini bukan kali pertama dia menuliskan sebuah nama dalam aksara Arab. Bahkan, dia sudah sering menulis surat perjanjian dagang dalam bahasa Arab bagi saudagar-saudagar yang melakukan transaksi jual beli di Pelabuhan Aleksandria. Namun, kali ini terasa berbeda bagi Makalani. Nama yang dia tuliskan di atas papirus itu seolah memiliki kekuatan magis. Sebuah nama asing yang baru kali ini dia dengar. Bahkan, dia yakin nama itu hanya dimiliki satu orang saja. Sebab, selama ini dia tidak pernah mendengar nama Muhammad di antara para saudagar Arab yang singgah di Aleksandria.
“Kau tahu apa yang kudengar dari lelaki itu?” ucap Makalani seraya menulis satu persatu aksara arab menjadi sebuah nama.
“Hathib maksudmu?”
Makalani mengangguk pelan.
“Apa?” Shinouti penasaran lalu makin mendekatkan duduknya ke arah Makalani.
“Beberapa kali aku tak sengaja mendengarnya sedang mengucapkan kalimat seolah merapal mantra.”
“Mantra?” Shinouti makin penasaran.