Matahari sudah terbenam tiga kali di Mesir sejak kedatangan tamu dari negeri Arabia. Sang utusan tidak bisa berlama-lama karena harus kembali ke negerinya. Hari ini Georgios Putra Menas Sang Megaukes harus memberikan jawaban atas ajakan kepada agama baru yang dibawa Hathib. Sekali lagi dia membuka bejana kecil dari gading berisi pesan yang tertulis di atas perkamen dari Nabi Arabia.
Georgios Putra Menas Sang Megaukes ingin memastikan lagi bahwa surat yang dibawa Hathib itu benar dari sosok mulia dan berisi seruan kepada agama lurus penerus ajaran Sang Mesias. Entah bagaimana cara dia meyakinkan dirinya bahwa surat itu bukan surat biasa.
“Xen Phran mphiot, nem Psyeri, nem Pi-pneuma Etouab, ounouti nouot. Amen,” ucap Georgios Putra Menas Sang Megaukes dalam bahasa Koptik sebelum mendedah kotak yang ada di hadapannya.
Bejana gading pun terbuka. Menyeruak wangi aroma kesturi dari dalamnya. Selembar perkamen ada di sana. Georgios Putra Menas Sang Megaukes mengambilnya penuh takzim. Lalu, ia memperhatikan tiap huruf yang berjajar dari kanan ke kiri. Kedua mata Megaukes menyusuri perkamen dari atas ke bawah dan berakhir pada cap berupa tiga baris aksara Arab yang ditulis berurutan tanpa ada satu pun yang terlewat.
Hati Megaukes mendadak bergetar, merasakan kekuatan magis yang terpancar dari surat di tangannya. Mata Georgios Putra Menas Sang Megaukes berkaca-kaca. Air bening tergenang di kelopak meski tak sampai jatuh ke pipi. Lidahnya pun tiba-tiba kelu.
Georgios Putra Menas Sang Megaukes memang tidak menguasai aksara Arab yang tertulis di sana. Namun, ia masih ingat dengan jelas makna dari isi surat itu saat dibacakan oleh Makalani tempo hari. “Jika tawaran dari Nabi Arabia itu aku terima, bagaimana dengan nasibku? Kaisar tentu akan mencopot jabatanku sebagai penguasa Aleksandria. Bahkan nasibku bisa jadi akan berakhir tragis.”
Bimbang. Georgios Putra Menas Sang Megaukes menimbang-nimbang seberapa besar baik buruknya jika ia menerima ajakan sang Nabi Arabia. Ini bukan perkara mudah. Dia tahu bahwa keputusan yang akan diambilnya itu akan berdampak besar bagi diri dan rakyat Mesir yang dipimpinnya.
Terlebih diskusi Megaukes dengan Hathib pada malam-malam sebelumnya begitu meyakinkannya bahwa lelaki yang diceritakan Hathib adalah benar seorang nabi. Meski awalnya Magaukes sempat meragukan bahwa nabi terakhir itu berasal dari Arabia. Namun, dia teringat juga diskusinya yang kerap dilakukan bersama Abba Isaak beberapa waktu belakangan.
“Saat ini kita berada pada zaman nabi yang ciri-cirinya tertulis dalam kitab Allah,” kenang Megaukes mengingat ucapan Abba Isaak.
“Ya, saya pun merasakan hal demikian, Saudaraku,” sahut Megaukes penuh keseriusan. “Bilakah dia datang?”
“Menurut perhitungan dan tanda-tanda alam yang kupahami, mestinya nabi terakhir itu sudah datang, Tuan.”
Megaukes mengangguk lalu matanya tertuju pada wajah teduh Abba Isaak. Abba Isaak melihat kegalauan pada paras Megaukes, seperti ada pertanyaan yang ingin segera ia ketahui jawabannya.
“Apakah dia berasal dari negeri yang telah melahirkan banyak nabi?”
Abba Isaak menggeleng. Megaukes makin penasaran dari negeri mana sebenarnya sang nabi terakhir berasal.
“Saya mengira nabi itu akan muncul di Damaskus, Syam,” sorot mata Megaukes menatap tajam Abba Isaak. “Sebab sebagian besar nabi-nabi sebelumnya muncul di sana.”
“Tuan, para nabi memang banyak yang berasal dari negeri Syam.” Kali ini mata Abba Isaak menatap Megaukes dengan dengan yakin. “Saya telah membaca berbagai kitab. Saya pun telah mendapat kabar dari sahabatku yang saat ini berada di negeri sang nabi terakhir.”
“Di mana itu, Saudaraku?” Megaukes penasaran. Dipegangnya kedua bahu Abba Isaak.
“Nabi terakhir itu akan muncul dari negeri tandus,” jawab Abba Isaak. “Tuan tentu tahu cerita tentang sumur Lahai-Roi?”