“Aku rela darahku tertumpah, asal jangan engkau, Maria. Semoga saat itu segera tiba. Semoga di hari itu hatimu belum ada yang memilikinya. Agar aku bisa mengisinya menjadi cinta yang sempurna, menyelesaikan semua derita yang selama ini mendera,” desis hati Shinouti sebagai ungkapan betapa besar cintanya dia pada gadis yang selama ini menawan hatinya.
Shinouti terus melajukan kereta penuh semangat. Dengan kecepatan penuh dia memacu kuda-kudanya, tak sabar ingin segera tiba di tempat tujuan. Bukan semata ingin menyelesaikan misinya untuk bertemu dengan Abba Isaak, melainkan juga karena dia tahu bahwa hati kedua gadis yang dibawa di dalam keretanya begitu was-was. Dia yakin, bahwa biara adalah tempat ternyaman bagi hati-hati yang gelisah.
Seyojana mata memandang, hamparan pasir terbentang begitu luas. Angin bertiup kencang bercampur pasir memedihkan mata. Shinouti tetap bertahan. Ia memusatkan pandangan hingga jauh ke depan. Matanya begitu awas. Dia tak ingin kejadian seperti yang dialaminya beberapa saat lalu terulang kembali, bertemu para tentara Romawi yang sedang berjaga-jaga membuat hatinya resah. Kematian seolah menghampar di depan mata.
Sudah sejak lama Mesir tak lagi nyaman untuk mereka para pemeluk ajaran Iesous Pkhristos. Hampir tiga abad lamanya penganiayaan terhadap agama Kristen berlangsung, hingga tiba di masa Konstantinus Agung, Kaisar Romawi yang berkuasa sejak tahun 306 hingga 337 M. Dia adalah putra Gaius Flavius Valerius Constantius, kaisar dari Kekaisaran Romawi bagian barat yang lebih dikenal dengan sebutan Chlorus.
Konstantinus Agung menjadi Kaisar Romawi pertama yang mengaku melakukan konversi ke Kekristenan. Konstantinus Agung telah mengdopsi agama Kristen sebagai agama dominan di daerah kekuasaannya. Sejak saat itu penganiayaan kepada penganut agama Kristen di wilayah Kekaisaran Romawi dihentikan, termasuk penganiayaan para jemaat Kristen di Mesir.
Entah apa yang menyebabkan Konstantinus Agung mengangkat Kristen sebagai agama dominan di Kekaisaran Romawi. Para sejarawan masih belum menemukan kata sepakat mengapa ia mengadopsi agama Kristen, sebagaimana agama yang dianut sang ibu, Helena, pada masa mudanya. Karena sikapnya, Konstantinus menjadi tokoh sangat penting dalam sejarah Kekristenan. Kepemimpinan Konstantinus Agung menjadi titik cerah bagi keamanan dan kenyamanan para pemeluk agama Kristen dalam beribadah sebagaimana maklumat kaisar pada tahun 313 masehi yang dikenal dengan Maklumat Milano.
Pada tahun 324 M, Kaisar Konstantinus Agung menjadi penguasa tunggal di barat maupun timur. Dia menjadi tokoh yang memerintahkan pembangunan Gereja Makam Kudus di sebuah lokasi yang diklaim sebagai makam Iesous Pkhristos di Yerusalem. Dia juga kaisar Romawi pertama yang mengadakan konsili dalam sejarah gereja pada tahun 325 Masehi di kota Nicea. Konsili Nicea menjadi konsili oikumenis perdana, sebuah pertemuan para uskup dari seluruh gereja untuk membahas dan mengambil keputusan terkait doktrin gereja serta aturan praktisnya.
Kaisar Konstantinus Agung mengundang semua uskup di bawah Kekaisaran Romawi ke Nicea. Sekitar 1.000 orang uskup di kawasan barat dan 800 orang uskup di kawasan timur diundang dalam konsili itu. Namun, hanya 318 orang uskup saja yang hadir memenuhi undangan tersebut. Salah satu hasil dari konsili perdana ini adalah Syahadat Nicea, sebuah rumusan doktrin Kristen pertama yang dianut oleh seluruh umat Kristen. Pada saat itu muncul perselisihan mengenai kodrat ilahi Iesous Pkhristos di tengah jemaat Aleksandria. Arius, penatua dari Aleksandria, memiliki ajaran berbeda dibanding keyakinan tentang Iesous Pkhristos pada masa itu. Perdebatan tentang hakikat Iesous Pkhristos pun kian panas.
Hingga pada satu ketika, Nicholas, salah satu uskup keturunan Yunani dari kota Myra, memukul wajah Arius karena tetap mempertahankan pendiriannya bahwa Putra memiliki sifat “heteroousios” atau “dari substansi/sifat yang berbeda” dengan Bapa, sehingga dengan demikian Putra tunduk kepada Bapa. Sementara itu Alexander, seorang Paus dan Patriark ke-19 dari Aleksandria, bersikeras dengan ajarannya bahwa Putra setara dengan Bapa, serta mengutuk ajaran Arius itu sebagai ajaran sesat dan tidak dapat diterima.
Sayang, ketenangan orang-orang Koptik terenggut lagi. Sekitar tahun 451 M dilakukan kembali konsili oikumenis untuk kali keempat di Kalsedon, sebuah kota di Bithinia di Asia Kecil. Dampak dari Konsili Kalsedon pada tahun 451 M yang dihadiri 520 orang uskup itu menyebabkan terjadinya perpecahan di Mesir. Keyakinan di tubuh gereja Aleksandria terpecah menjadi dua kelompok, dua kubu yang saling berseberangan. Kelompok Kalsedon, mereka menerima keputusan konsili. Sementara para penolak keputusan konsili tersebut disebut kelompok Miafisit dan dianggap sesat.