Seyojana mata memandang, hamparan pasir terbentang begitu luas. Angin bertiup kencang bercampur pasir memedihkan mata. Shinouti tetap bertahan. Ia memejam sejenak, menunduk, lalu kembali menatap jalan di depan. Ia memusatkan pandangan hingga jauh ke depan. Matanya begitu awas. Dia tak ingin kejadian seperti yang dialaminya beberapa saat lalu terulang kembali, bertemu para tentara Romawi yang sedang berjaga-jaga membuat hatinya resah. Kematian seolah menghampar di depan mata.
“Aku rela darahku tertumpah, asal jangan engkau, Maria,” desis Shinouti dalam hati, seolah berdoa kepada angin yang melintas. “Semoga di hari itu hatimu belum ada yang memilikinya. Agar aku bisa mengisinya menjadi cinta yang sempurna, menyelesaikan semua derita yang selama ini mendera.”
Kuda-kuda yang menarik kereta meringkik lirih, sementara roda-roda kayu berdecit di atas pasir kering yang panjangnya seolah tak berujung. Di belakangnya, Maria dan Shirin duduk saling berdekapan, wajah mereka pucat, mata mereka masih menyimpan sisa ketakutan dari pertemuan dengan para prajurit Romawi beberapa waktu lalu.
Shinouti terus melajukan kereta penuh semangat. Dengan kecepatan penuh dia memacu kuda-kudanya, tak sabar ingin segera tiba di tempat tujuan. Bukan semata ingin menyelesaikan misinya untuk bertemu dengan Abba Isaak, melainkan juga karena dia tahu bahwa hati kedua gadis yang dibawa di dalam keretanya begitu was-was. Dia yakin, bahwa biara adalah tempat ternyaman bagi hati-hati yang gelisah.
Kereta terus meluncur di atas jalan berdebu. Angin berhembus lembut, mengibaskan rambut kuda. Biara Kanopos, tempat Abba Isaak berdiam dan berdoa sudah tampak di kejauhan, menjulang tenang di antara gugusan batu dan pohon tamaris yang mirip tangan-tangan tua sedang berdoa. Di sanalah, Shinouti berharap, mereka akan menemukan sejumput ketenangan. Namun, setiap kali roda berputar, pikirannya tak bisa diam. Kenangan dan sejarah bangsanya bergulir seperti arus Sungai Nil, tenang di permukaan, tapi deras di kedalaman. Sudah berabad-abad lamanya orang-orang Koptik menanggung luka, luka yang tak terlihat tapi terus bernanah dalam jiwa. Ia menatap jauh ke depan, seolah ingin menembus kabut waktu dan melihat kembali wajah para leluhur yang berjuang mempertahankan iman mereka.
“Betapa berat menjadi Koptik,” gumamnya dalam hati. “Kami memeluk salib, tapi dunia memeluk pedang.”
Ia teringat kisah Konstantinus Agung, yang dulu diagungkan para rahib di istana karena menghentikan penganiayaan terhadap pengikut Iesous Pkhristos. Dialah Kaisar pertama yang membawa salib ke dalam istana Romawi. Tahun-tahun itu disebut orang sebagai masa Rahmat, saat salib bisa berdiri di altar tanpa takut dirubuhkan, dan para jemaat beribadah tanpa bayang-bayang maut. Namun Shinouti tahu, bersama cahaya salib itu, bayangan kekuasaan juga ikut masuk.
“Sejak Konstantinus,” pikirnya getir, “iman berubah menjadi alat pemersatu Kerajaan dan dari situlah, perpecahan justru lahir.”
Ia mengingat Konsili Nicea pada tahun 325 Masehi, yang sering dikisahkan oleh Abba Isaak dengan nada getir bercampur kagum.
Ratusan uskup berkumpul, dari barat hingga timur, untuk menetapkan hakikat Iesous, Sang Anak. Di sana, Arius, imam dari Aleksandria, berkata bahwa Anak tidak sehakikat dengan Bapa. Bahwa Anak adalah ciptaan, bukan Pencipta. Kata-katanya menimbulkan badai. Sementara Athanasius, dengan wajah berapi dan hati penuh keyakinan, menentang:
“Anak adalah terang dari terang, Allah benar dari Allah benar.”