Madah Rindu Maria

Hadis Mevlana
Chapter #24

Kabar Duka

Cuaca siang itu sangat panas dan kering. Terik matahari menyengat kulit sehingga banyak orang berlindung di bawah naungan, berteduh di bawah pohon rindang atau menutupi kepala dan wajah dengan kain untuk menghindari sengatan sinar matahari di atas kepala mereka. Tampak di jalan-jalan kota, orang-orang berlalu-lalang, bergerak begitu cepat menuju tujuan mereka. Para pedagang mencoba menarik perhatian para pejalan kaki dengan berteriak menjajakan barang dagangan mereka. Harum rempah-rempah dan ramai orang-orang berbelanja dan bertransaksi, sambil berbicara dalam bahasa-bahasa yang berbeda menambah ramai dan menghidupkan suasana siang itu.

Dari kejauhan tampak Shinouti memacu kudanya dengan cepat menuju istana. Dia baru saja kembali dari biara menemui Abba Isaak untuk sebuah keperluan yang begitu penting baginya. Dia melintasi jalanan kota yang sangat sibuk dan ramai. Dia terus melaju dengan kencang tanpa mempedulikan suara satu dua orang yang memanggil namanya. Hari itu tak seperti biasanya, dia enggan berhenti dan menyapa. Bahkan, membalas senyum pun terasa berat. Dia sedang tak mempedulikan keadaan di sekelilingnya. Hati Shinouti sedang kacau. Ia hanya ingin segera sampai ke istana.

Tak berapa lama, Shinouti memasuki gerbang istana. Satu persatu kakinya dilepaskan dari sanggurdi lalu turun dari punggung kuda. Shinouti mengikat tali kudanya pada sebuah tiang di dekat kandang lalu berjalan langkah berat. Cuaca panas akibat terpaan sinar mentari seakan memberi tekanan lebih pada pikirannya yang kacau. Maburi yang sedang duduk beristirahat di bawah pohon rindang dekat kandang usai memberi pakan kuda-kuda istana segera bangkit menghampiri Shinouti. Dari gelagatnya, Maburi dapat membaca ada sesuatu yang telah terjadi pada sang pengawal. Entah, apa sebabnya karena baru kali ini dia mendapati Shinouti tampak tak bergairah usai menemui Abba Isaak. Maburi menangkap raut wajah pengawal Megaukes itu penuh dengan ekspresi duka. Wajah yang biasanya ceria kini dipenuhi kesedihan dan kemarahan.

“Demi Salib Kristus yang suci, apa yang sudah terjadi, Shinouti?” tanya Maburi cemas sambil menyentuh bahu Shinouti.

Shinouti menarik napas dalam-dalam sebelum menceritakan apa yang baru saja dia lihat di biara. Entah apakah dia mampu menceritakannya, sebab beberapa waktu lalu baru saja dia telah menjadi saksi dari sebuah tragedi yang mengguncang seluruh biara. Tak ada seorang pun yang tahu betapa hancur dan terpukulnya perasaan Shinouti saat itu.

“Demi Perawan Suci Maria ….” Mendadak dada Shinouti sesak. Ia merasa berat mengungkapkan kabar buruk yang membuat hatinya hancur berkeping-keping.

“Semua baik-baik saja, kan?”

Shinouti menunduk seraya memejamkan mata. Pelan dia membuka matanya lalu mengangkat wajah, mengarahkan pandangan pada Maburi. Shinouti pun mulai menceritakan kabar duka yang dia bawa.

“Sekira empat hote sebelum tiba di biara, aku terpaksa menghentikan laju kudaku,” ucap Shinouti dengan suara serak.

Maburi tampak tegang. Dari raut wajah Shinouti, Maburi merasakan akan ada hal buruk yang akan dia dengar.

“Abba Isaak … mereka ….” Kalimat Shinouti terhenti. Shinouti terdiam sejenak, mencoba menahan air mata yang ingin mengalir.

Maria yang sedari tadi melihat kedatangan Shinouti usai dari biara, segera mendekat. Rasa penasarannya sejak tadi pagi saat melihat kepergian Shinouti ke biara, ingin segera terselesaikan. Namun, melihat muram di wajah Shinouti, Maria mengurungkan niat untuk bertanya lebih lanjut. Rasa penasarannya berubah menjadi khawatir. Gerangan apa yang telah terjadi dengan Abba Isaak?

“Ada apa dengan Abba Isaak?” tanya Maria khawatir. “Baik-baik saja, kan?”

Shinouti menudukkan kepala. Dihapusnya bulir air mata yang mengalir di kedua pipinya. Bibir Shinouti bergetar menahan perih di hati. Dia tak kuasa menceritakan peristiwa yang dilihat beberapa waktu lalu. Ia enggan melihat kesedihan di hati mereka yang begitu akrab dengan Abba Isaak, terlebih Maria. Shinouti yakin Maria tidak akan sanggup mendengarnya.

“Apa sakit Abba Isaak makin parah? Bukannya kemarin kita lihat sendiri Abba sudah membaik?”

Pertanyaan dari Maria itu hanya dijawab Shinouti dengan gelengan kepala.

“Lalu apa yang sebenarnya sudah terjadi?” Maria semakin cemas.

Maburi memegang kedua bahu Shinouti yang hanya mematung lalu mengajaknya duduk di bawah pohon rindang. Maria mengikutinya lalu duduk di sebelah Maburi. Shinouti tampak memperhatikan sekeliling, memastikan keadaan aman sebelum menceritakan semuanya. Shinouti menarik napas dalam, mengumpulkan keberanian sebelum memulai cerita. Kedua tangan Shinouti mengepal. Wajah pemuda itu tegang dan sedih. Dia berusaha tetap tegar ketika memulai cerita.

“Kalian masih ingat cerita Abba Isaak tetang kemartiran Santo Markos, kan?” ucap Shinouti memulai kisah dengan nada penuh emosi.

Maburi dan Maria mengangguk pelan. Tidak satu pun orang Mesir yang tidak mengenal Santo Markos. Dia adalah tokoh pendiri gereja Koptik, gereja tertua di Mesir, merupakan salah satu dari 70 Rasul.Salah satu dari empat pengarang Injil yang lahir lahir dari orang tua Yahudi dan berasal dari suku Lewi tiga tahun setelah kelahiran Iesous Pkhristos. Ia terlahir dari ayah bernama Aristopolos dan ibu bernama Maria. Mereka pindah ke Palestina tak lama setelah kelahiran Santo Markos karena serangan orang barbar. Mereka menetap di Kana, Galilea, tidak jauh dari Yerusalem.

Nama Santo Markos disebutkan dalam kitab suci dalam sejumlah peristiwa. Dia adalah salah satu pelayan pada pesta di Kana, Galilea, di mana Iesous Pkhristos mengubah air menjadi anggur.Dia adalah pembawa kendi ketika kedua murid pergi untuk mempersiapkan tempat perayaan Paskah.Rumah Santo Markos dipilih sebagai tempat mereka makan Paskah sebelum peristiwa penyaliban Kristus. Kamar atas di rumahnya menjadi tempat Ekaristi pertama diadakan sehingga rumah Santo Markos sebenarnya dianggap sebagai gereja pertama di dunia. Di rumah Santo Markos jugalah Roh Kudus turun kepada para rasul pada Hari Pentakosta.

“Betapa kejinya orang-orang kafir penyembah berhala itu memperlakukan Santo Markos,” lanjut Shinouti mencoba untuk tidak menangis, meskipun suaranya bergetar karena luapan emosi.

Maria dan Maburi menatap wajah Shinouti. Terlihat mata pengawal Megaukes itu berkaca-kaca. Sejenak, Maria teringat kembali kisah Santo Markos yang pernah Abba Isaak ceritakan kepadanya tempo hari.

Lihat selengkapnya