Madinah, 628 Masehi/ 6 Hijriah
Perjalanan panjang nan melelahkan pun usai. Rombongan Shinouti akhirnya tiba di Madinah. Sejak melihat Hathib dan rombongan dari kejauhan, penduduk Madinah begitu antusias menyambutnya. Semakin dekat, semakin jelas pula Hathib beserta rombongan yang dibawa bersamanya. Kerumunan penduduk Madinah mendekati Hathib dan rombongan sehingga mereka sedikit kesulitan berjalan menuju rumah sang nabi.
“Saudaraku, berikan jalan untuk Hathib dan rombongannya,” terdengar samar suara laki-laki Madinah berperawakan tinggi besar dan berjanggut lebat yang mulai ditumbuhi uban. Ia berusaha membantu membukakan jalan.
Sementara, tampak lelaki berperawakan kurus berlari lebih dulu menuju rumah sang nabi hendak mengabarkan kedatangan Hathib dan rombongan. Tanpa berlama-lama, Hathib segera menghadap sang nabi yang pada hari itu baru saja pulang dari dari Hudaibiyah bersama para sahabat. Perlahan Hathib dan rombongan dari Aleksandria bergerak mendekati rumah sang nabi. Riuh suara asma Allah keluar dari lisan-lisan penduduk Madinah. Ada yang mengucap hamdalah, sebab Hathib kembali dengan selamat setelah beberapa lamanya dia meninggalkan Madinah. Ada juga yang mangucap kalimat thayibah lainnya sebab melihat rombongan serta barang-barang dari Mesir yang begitu indahnya.
“Masyaallah, lihat wanita di atas unta itu,” seru salah satu wanita Madinah kepada teman di sebelahnya. “Cantik sekali mereka.”
“Sangat cantik,” timpal sahabatnya. “Kau lihat gadis berbaju putih itu?”
“Yang berambut ikal dan tampak lebih dewasa dari yang lain?”
“Iya, benar.”
“Lihat dia menatap kita.”
“Wajahnya teduh sekali.”
Kedua wanita Madinah itu tersenyum kepada Maria. Segera, Maria membalas senyum mereka.
“Masyaallah …. Senyumnya manis sekali.”
***
Maria turun dari tunggangannya lalu melangkah dengan hati-hati di tanah yang baru. Hari pertama hidup di Madinah. Segala sesuatu di sekitarnya terasa sangat asing meski ia disambut dengan hangat. Maria merasa kehidupannya di negeri yang baru ini seperti puisi yang belum diukir oleh pena waktu.
Wanita-wanita Madinah menyemut di sekeliling rombongan Maria, seperti kupu-kupu tengah berdansa di sekitar bunga yang baru mekar. Bisik-bisik ringan terlontar di udara, merayap ke telinga Maria seperti melodi lembut. Mereka tertarik pada kecantikan eksotis gadis Mesir yang kini berada di tengah-tengah mereka.
Maria, dengan kepolosan di matanya, menerima hangatnya sambutan tanpa kecanggungan. Wanita-wanita Madinah melayangkan pandangan kagum pada paras jelita sang gadis Mesir, seperti melihat lukisan indah yang hidup di antara guratan waktu. Maria bersiap merajut kisah baru di kota Madinah, di antara senyum-senyum wanita yang menjadi saksi pertemuan dua dunia dengan budaya dan kebiasaan yang saling memperkaya.
Hathib dan rombongan menginjakkan kaki di pelataran rumah yang suci, rumah sang nabi. Mereka berdiri dengan penuh pengharapan, membawa serta hadiah-hadiah dari tanah Mesir. Berbagai barang berharga diturunkan dari punggung unta, keledai, dan kuda, disusun dengan cermat dan penuh kerendahan hati di atas tanah. Hadiah-hadiah dari Mesir itu bersinar di bawah sinar matahari yang lembut, seolah-olah memberikan penghormatan yang tak terucapkan kepada sang pemilik rumah. Sosok yang begitu dihormati oleh seluruh alam semesta.
Beberapa saat kemudian pintu rumah sang nabi terbuka. Embusan pelan angin