Rombongan Shinouti kembali melajutkan perjalanan saat matahari mulai menampakkan cahayanya di kaki langit. Kemah-kemah sudah dibenahi. Maria, Shirin dan Barirah mengemasi barang-barang mereka sementara Shinouti memastikan tidak ada hadiah dari Megaukes yang tertinggal. Di sisi lain, Maburi membantu Mina menaburi sisa-sisa pembakaran api unggun semalam dengan pasir dan memastikan tidak ada api atau bara yang tersisa. Lalu, perjalanan panjang kembali dimulai.
Di atas unta, raut muka Maria, Shirin dan Barirah mencerminkan kepedihan mendalam. Wajah mereka dipenuhi rasa sedih dan rindu akan kampung halaman, Mesir tercinta. Shirin, memandang ke depan dengan tatapan kosong, seperti sedang menahan air mata yang ingin tumpah. Mata Maria yang biasanya bersinar penuh semangat kini terlihat redup. Begitu pula dengan Barirah, turut merasakan kepedihan yang sama. Mereka seakan tidak rela meninggalkan jejak-jejak kenangan di Mesir.
“Aku tahu ini sulit bagi kita,” ucap Maria dengan suara lembut seraya menggenggam hangat tangan Shirin dan Barirah. “Tapi aku yakin kita akan menemukan kebahagiaan baru di Madinah.”
Shirin dan Barirah hanya mengangguk tanpa sepatah kata pun. Jarak antara Mesir dan Madinah bukan hanya sekadar perjalanan fisik, bukan hanya sekadar jejak-jejak yang terukur, melainkan juga perjalanan emosional yang berat bagi mereka. Hati mereka terluka oleh rindu yang mendalam.
Di sepanjang perjalanan, Hathib terus mengalunkan zikir-zikir dan menghayati ayat-ayat suci. Namun, di dalam hati ia bisa merasakan betapa pedih perasaan ketiga gadis Koptik yang duduk di atas unta yang tengah berjalan itu. Percakapan mereka di sela-sela istirahat perjalanan terdengar samar oleh telinga Hathib, menyelinap masuk seperti angin malam menyapu padang pasir. Hathib merasa beban tanggung jawab menekan dadanya tatkala mengetahui kegundahan para gadis itu.
Bertekad membantu meredakan kegelisahan Maria, Shirin, dan Barirah, Hathib membenamkan dirinya dalam renungan. Di antara sunyi yang ditingkahi gemuruh langkah kaki kuda yang ditungganginya, Hathib merenung. Dia berpikir keras, mencari jalan bagaimana dapat menghadirkan kelegaan di hati mereka. Apa yang bisa ia lakukan untuk meredakan kegundahan di hati gadis-gadis itu? Maka, di tengah alunan melodi zikir, Hathib membiarkan pikirannya melayang, mencari jawaban dan penawar bagi kegundahan yang menghiasi wajah-wajah mereka.
***
Di sebuah oase, di bawah pohon akasia yang rindang, mereka berhenti sejenak. Oase menjadi tempat beristirahat sejenak dari teriknya matahari yang membara tanpa ampun. Mereka berhenti melepas lelah, meresapi keteduhan yang ditawarkan oleh dedaunan hijau dan kesegaran air oase. Kali ini mereka hanya beristirahat sebentar, sekadar mengisi kantong-kantong dengan air lalu melanjutkan perjalanan hingga langit gelap. Entah, kali ini mereka mendapatkan malam dengan suasana seperti apa. Entah, pada malam yang menggelap itu, apakah langit akan memberikan kedamaian atau kegugupan. Mungkin ada riuh rendah bintang-bintang sebagai saksi bisu dari langkah-langkah petualangan yang terus berlanjut. Satu hal yang pasti, mereka melangkah dengan penuh keyakinan, siap menghadapi segala bentuk malam yang menanti mereka dalam perjalanan panjang itu.
Hathib memandang dengan lembut ketiga gadis Koptik itu, melihat bayangan kesedihan masih mengepung mereka sebagaimana terpancar dari wajah-wajah yang mencerminkan kehampaan. Meskipun Maburi, Shinouti, dan Mina telah berupaya menghibur mereka, tetapi kegundahan di benak gadis-gadis itu belum juga memudar. Mereka seperti bunga-bunga yang mencoba membuka kelopaknya di tengah hujan deras dan berusaha meresapi setiap tetes hujan kesedihan.
Hathib merasakan beban dalam. Ingin sekali ia mengusir kelam di hati mereka dengan sinar keceriaan. Usai mengisi kantong-kantong dengan air yang diambil dari mata air di oase itu, Hathib mencari cara untuk membuka pintu hati gadis-gadis itu yang masih terkunci oleh kesedihan.