Madah Rindu Maria

Hadis Mevlana
Chapter #37

Menuju Perkampungan Madinah

Ketiga gadis Koptik itu, Maria,Shirin, dan Barirah, tergerak oleh cerita yang memukau dan penuh kasih tentang sang nabi. Usai mendengar cerita Hathib tentang sang nabi, mereka yang semula terbalut dalam kesedihan mendalam sedikit demi sedikit mulai berubah. Kisah itu bukan hanya rangkaian kata, melainkan melodi indah yang membelai jiwa, mengusir kelam dan menggantinya dengan cahaya harapan baru.

“Wahai kaum Koptik, ketahuilah bahwa Islam adalah agama yang indah. Rasulullah membawa pesan perdamaian dan kebahagiaan. Sungguh beliau adalah teladan terbaik untuk umat manusia,” ucap Hathib dengan senyum lembut.

Dengan keanggunan tutur kata Hathib, mereka dibawa menelusuri jalan-jalan suci yang pernah dilalui sang nabi. Setiap kisah yang diceritakan penuh dengan cinta, kasih, dan kedamaian, menggambarkan keindahan Islam yang memesona. Kata-kata Hathib bukan sekadar cerita, tetapi jendela menuju dunia yang belum pernah mereka kenal, dunia yang penuh dengan pengharapan. Melalui lisan Hathib, tergambar bahwa Islam adalah agama yang membawa pesan perdamaian dan kebahagiaan. Setiap kata yang terucap, setiap cerita yang dibagikan, menjadi obor yang menuntun mereka keluar dari kegelapan, mengarahkan mereka menuju cahaya terang yang selama ini mereka cari.

"Terima kasih, Hathib. Cerita-ceritamu telah memberikan kami petunjuk yang selama ini kami rindukan," ucap Maria dengan mata berbinar.

Shirin dan Barirah mengangguk, senyum perlahan menghiasi wajah mereka. Kesedihan di hati ketiga gadis itu perlahan sirna. Mereka mulai merasakan kehangatan dan harapan baru. Perjalanan menuju Madinah kini tak lagi penuh beban. Mereka memang akan terpisah dengan kenangan dan kehidupan di Aleksandria, tetapi hati mereka tenang karena akan memulai perjalanan spiritual yang baru. 

Shinouti melihat Maria, Shirin, dan Barirah duduk di hadapan Hathib dengan penuh perhatian. Setiap kata yang keluar dari mulut Hathib tentang Sang Nabi seolah-olah cahaya yang menembus ke dalam relung hati mereka. Di wajah-wajah mereka, ada kilau kebahagiaan yang tak bisa disembunyikan, seperti mentari pagi yang memecah kabut kelam. Kebahagiaan itu terasa begitu nyata. Namun, tetap saja ada sesuatu yang menahan mereka untuk mengambil langkah lebih jauh.

 

Maria menatap Shirin dan Barirah, seolah ingin memastikan bahwa mereka merasakan hal yang sama. Mereka saling berpandangan. Shirin mengangguk pelan. Sementara, Barirah yang biasanya pendiam, kali ini tak mampu menyembunyikan senyumnya.

"Ajaran ini... begitu indah. Namun, mengapa hati ini masih ragu? Mengapa lidah ini belum sanggup mengucapkan pengakuan itu?" batin Barirah.

Keheningan yang menggantung di antara mereka, seakan-akan kata-kata pengakuan itu terhenti di ujung lidah. Mereka belum berani mengucapkan pengakuan diri sebagai seorang yang ingin memeluk Islam. Masih ada keraguan yang samar di hati.

Di sudut lain, Tabib Mina dan Shinouti duduk dengan sikap yang berbeda. Tabib Mina, dengan kerut di dahinya, tampak skeptis, matanya memicing seolah-olah ajaran Sang Nabi adalah teka-teki yang tak mungkin terpecahkan. Dia menggelengkan kepalanya perlahan, "Aku belum bisa melihat kebenaran dalam ajaran ini, Hathib. Terlalu banyak yang tidak masuk akal bagiku."

Lihat selengkapnya