“Aku akan merindukanmu duhai wanita mulia yang senantiasa beribadah dengan begitu ragib,” batin Shinouti saat melangkah meninggalkan Madinah.
Sekira tiga hari di Madinah, Shinouti kembali lagi ke tanah airnya. Kakinya menapaki lagi tanah Mesir yang bukan sekadar ladang subur di tepian Nil, melainkan juga panggung megah peradaban. Negeri di mana tempat para ahli falak menyulam kisahnya dalam kilauan bintang, para jenius dalam rumus matematika yang misterius. Negeri dengan keindahan seni ukir yang memukau dan arsitektur yang menjulang anggun di antara sejarah gemilangnya. Shinouti meninggalkan keramahan Madinah menuju hidup penuh ketegangan dan keganasan di Aleksandria.
Sungguh berat langkah Shinouti meninggalkan Madinah. Terlebih kini jarak telah memisahkan Shinouti dengan gadis pujaannya. Namun, bagaimanapun berat hatinya, dia harus kembali ke istana. Tugasnya hanya mengantar Hathib dan hadiah dari Megaukes. Kini ia beralih ke tugas semula, mengabdi dengan patuh di bawah pimpinan Megaukes sang penguasa negeri dengan kisah gemilang di bidang pertanian. Shinouti memaknai laku hidupnya sebagaimana halaman-halaman Alkitab mengukir epik ketika Abraham menapaki padang pasir untuk mencari pangan di tanah Mesir saat kelaparan melanda Kanaan. Di perut bumi Mesir, biji-biji kehidupan tumbuh subur, memenuhi panggung dunia dengan keajaiban gandum dan kesuburan tak terhingga. Puncak kejayaan tiba pada era Ioseph, di mana Mesir menjelma menjadi penopang tunggal bagi kehidupan dunia, menyajikan rezeki melimpah untuk setiap belahan bumi.
Tak hanya sendiri, Mina turut serta dengannya kembali ke pangkuan Mesir. Benar, Megaukes telah menyertakan Mina sebagai hadiah untuk Nabi Arabia. Nabi pun menerima semua hadiah dari Megaukes dengan penuh keramahan, termasuk kedua perempuan bersaudara itu. Namun, ketika tiba giliran Tabib Mina, beliau menolaknya dengan halus. Sang nabi mengizinkan Mina untuk kembali ke keluarganya.
“Pulanglah kepada keluargamu,” sabda nabi dengan bijak. Ia berbicara dengan lembut dan penuh belas kasih. “Kami adalah kaum yang tidak makan sebelum lapar, dan jika kami makan, tidak sampai kenyang.”
“Tapi, Tuan, Megaukes memintaku tinggal di sini bersama dengan yang lainnya,” jawab Mina.
Pelan, tangan Shinoiti menepuk pundak Mina tanda dia harus tunduk dan taat pada perintah sang nabi. Sejenak, Mina menarik napas dalam lalu mengembuskannya perlahan.
“Baiklah, jika memang ini perintahmu,” ucap Mina berlapang dada.
***
Beberapa hari tinggal di Madinah, Shinouti melihat betapa sang Nabi Arabia hidup sederhana nan bersahaja. Tak terdetik pun ketamakan terlihat pada dirinya. Dari semua hadiah pemberian Megaukes, sang Nabi Arabia, hanya mengambil Maria untuk dirinya, lalu menikahinya. Nabi memberikan Shirin kepada salah satu temannya, Hasan bin Tsabit, penyair terkenal di Mekah dan Madinah berusia sekira 70 tahun. Hari pertama, kedua gadis Koptik ini beristirahat di rumah Umm Sulaym binti Milhan. Kemudian hari, sang nabi menempatkan Maria di salah satu rumah sahabatnya yang dekat dengan masjid, Haritsah bin Numan. Sebuah rumah dengan dua bilik dan loteng terbuka di atasnya.
Pemberian Megaukes lainnya pun begitu menyenangkan hati sang nabi. Bighal warna kelabu diberi nama Duldul. Sang nabi sering menunggangi Duldul ketika berjalan-jalan di kota Madinah. Sementara keledainya diberi nama Ufair dan kuda betina yang gagah dan lincah diberi nama Lizaz.