Aleksandria, Akhir Tahun 628 M
Malam-malam di Mesir terasa begitu panjang dan terasa sunyi. Waktu berlalu dengan lambat, seolah enggan bergerak maju. Rindu yang tak terobati menciptakan penderitaan tak terlukiskan. Dalam setiap detik yang berlalu, luka Shinouti terus berdarah dan tak pernah sembuh. Shinouti seringkali menerawang, mencari bayang-bayang Maria di balik rembulan yang bersinar pucat. Shinouti kerap terjaga di malam hari sebab didera oleh mimpi buruk. Bayangan Maria tak pernah hilang. Ketika malam makin larut, ia memaksakan tubuhnya berbaring di tempat tidur, tetapi matanya tetap terbuka, menatap langit-langit kamar dengan pikiran melayang jauh ke Madinah.
“Maria ...,” bisik Shinouti lirih di tengah kesunyian malam. Namun, hanya ada deru angin yang membawa suara lirihnya ke kejauhan.
Seperti melangkahkan kaki di atas pasir yang basah, hari-hari Shinouti berlalu sangat lambat. Siklus hidupnya menjadi monoton sejak pagi hingga ke penghujung malam. Entah sudah kali ke berapa dia bercerita tentang keresahan hatinya pada sungai Nil. Hampir setiap orang yang melihatnya menyangka dia sudah gila. Tak terlewatkan hari ini, di bawah langit luas, di tepi Nil, Shinouti duduk terpaku merenungkan semua yang telah terjadi dalam hidupnya.
Tatkala duduk di tepi Nil, Shinouti merasa nasibnya yang malang hanyut bersama aliran air. Setiap riak kecil di permukaan Nil seakan mencerminkan hatinya yang tak berdaya, terombang-ambing oleh gelombang rindu tak berujung. Air sungai yang mengalir perlahan, membawa pergi semua kenangan manis bersama Maria lalu meninggalkan Shinouti dalam kesendirian. Ketika matahari terbenam di balik cakrawala dan langit jingga berubah gelap, Shinouti merasa seolah hatinya pun ikut terbenam dalam kegelapan yang sunyi.
Setelah melewati hari-hari muram, Shinouti kembali dihempas badai. Sebuah kabar tiba di penghujung tahun, tak lama setelah kepulangannya dari kota suci Madinah. Berita dari Madinah telah menghantam hati Shinouti seperti badai menggulung bumi, menghancurkan setiap harap yang tersisa, menggetarkan jiwa Shinouti yang rapuh. Hati Shinoti remuk. Jiwanya terpecah. Harapan yang ia bangun selama ini runtuh seperti istana pasir diterjang ombak. Maria, wanita dia cintai sepenuh hati, pusat segala harapan dan mimpi, telah menikah dengan sang nabi dari Arabia. Keduanya menyatu dalam ikatan suci yang tak terpisahkan.
Hati Shinouti pun tenggelam dalam lautan duka. Ia seperti perahu kecil yang terombang-ambing di tengah lautan. Di tepi Nil, Shinouti merasa lebih sendiri dari sebelumnya. Dunia tak lagi memiliki warna dan suara. Dulu, menatap aliran air sungai Nil selalu menenangkan. Kini sebaliknya, semakin lama memandang, semakin dalam pula kesedihan di hati Shinouti. Dalam setiap helaan napasnya, Shinouti merasakan keperihan yang sulit diungkapkan, seolah Maria telah pergi dari hidupnya untuk selama-lamanya. Maria pergi bersama mimpi-mimpi yang dia gantungkan dalam doa di setiap malam. Shinouti merasa dunia yang dikenalnya telah berakhir, meninggalkan dirinya sendirian dalam gelapnya malam tanpa bertepi.
Kini, Shinouti tak hanya termenung, tetapi hanyut dalam lautan duka. Seperti Nil yang tak pernah berhenti mengalir, begitu pula rasa rindunya pada Maria, mengalir tanpa akhir, membawa kesedihan abadi.
Segala tentang Maria pun berubah sejak kehadirannya di Madinah. Di istana Megaukes, ia hanya pelayan rendahan. Kedudukannya sering tak dianggap. Derajatnya terabaikan oleh manusia. Namun kini, ia memiliki kedudukan istimewa di sisi sang Nabi Arabia. Sungguh, tak ada seorang pun yang dapat menahan bila Sang Pencipta hendak memuliakan hamba-Nya. Ketika cahaya iman menyusup dalam hati Maria, ketika pesona dirinya menawan hati manusia paling mulia, dia pun memulai perjalanan hidup penuh kemuliaan.
Rasa hormat dan kasih sayang sang nabi, manusia paling mulia dalam sejarah, terhadap Maria membuka pintu perubahan besar dalam hidupnya. Dia tidak lagi seorang sahaya yang diliputi oleh bayang-bayang rendah hati, melainkan seseorang yang dihormati dan dicintai. Ia dimuliakan, memperoleh tempat istimewa di hati sang nabi dan masyarakat yang mulai mengerti bahwa kebesaran seseorang tidak hanya diukur oleh status atau harta. Maria, menemukan jalan menuju kehormatan dan kebesaran yang sejati.