Aleksandria, 338 Tahun Koptik/ 630 Masehi
Kabar demi kabar tentang Maria bagaikan pisau tajam yang terus menggores jiwa dan tubuh Shinouti, membuatnya semakin terpuruk dalam duka yang dalam. Hatinya seakan tercabik-cabik, duka yang dirasakannya semakin dalam.
Meskipun ia telah berusaha dengan segala cara, penyakitnya tidak kunjung sembuh. Cinta tak berbalas dan jarak yang memisahkan mereka telah menjadi beban tak tertanggungkan. Dalam kesendiriannya, Shinouti hanya bisa berharap bahwa suatu hari, meskipun tidak dalam kehidupan ini, ia dapat bertemu kembali dengan Maria di tempat yang lebih baik.
Dengan hati hancur dan sisa-sisa kekuatan yang dimilikinya, Shinouti menjalani hari-harinya. Senja yang dulu menyambutnya dengan hangat, kini terasa dingin dan menyakitkan. Pada setiap embusan angin, ia mendengar bisikan cinta yang hilang, membawa pergi sisa-sisa harapannya. Namun, di tengah penderitaan dan kesakitannya, Shinouti menyadari satu hal, cinta sejati tidak pernah benar-benar hilang. Meskipun ia tak lagi bersama Maria, cinta di hatinya tetap hidup, menjadi cahaya yang memandu langkah-langkah terakhirnya. Lewat setitik kesadaran itu, ia menemukan sedikit kedamaian di tengah badai rindu tak berkesudahan.
Hari-hari berlalu dengan lambat dan penuh penderitaan bagi Shinouti. Ia menghabiskan waktu dengan mengenang masa lalu, mencari kebahagiaan dalam bayangan Maria yang kini telah menjadi milik orang lain. Di tengah kesunyian malam, air matanya mengalir deras, membasahi bantal yang menjadi saksi bisu penderitaannya.
***
Georgios Putra Menas Sang Megaukes dan Tabib Mina, berjalan menyusuri lorong-lorong istana. Bau dupa dan rempah-rempah yang menyengat memenuhi udara, bercampur dengan aroma lembab dari tembok batu yang dingin. Kedua pria itu melangkah dengan pasti menuju kamar Shinouti.
Pintu kamar Shinouti terbuka perlahan. Megaukes, seorang uskup yang dihormati, memasuki kamar Shinouti dengan hati-hati diikuti oleh Tabib Mina, sang penyembuh ulung. Langkah keduanya nyaris tak bersuara di lantai yang dingin. Di kamar yang sunyi itu hanya terdengar suara napas berat Shinouti tengah berjuang melawan rasa sakit. Cahaya matahari yang redup menembus jendela kecil, menyisakan bayangan lembut di dinding kamar. Shinouti terbaring lemah di ranjangnya. Ia tampak termenung. Kedua matanya menatap ke arah jendela seolah mencari sesuatu yang tak kasatmata. Sejak terakhir kali mereka berbicara, kesehatan Shinouti semakin memburuk. Melihat kondisi Shinouti, Tabib Mina tahu, waktunya semakin singkat untuk berbagi kabar dan harapan kepadanya. Kecuali, ada mukjizat Tuhan yang bekerja di luar nalar manusia untuk menyembuhkan Shinouti.
Ketika tiba di kamar Shinouti, pemandangan yang terlihat di depan mata membuat hati mereka semakin pilu. Melihat Shinouti hari ini sangatlah berbeda dengan terakhir sebelum dia pulang dari Madinah. Shinouti, pria kuat dengan semangat membara dan menjadi kebanggan Megaukes, kini terbaring lemah di atas ranjang. Sekira 24 purnama ia terkurung oleh rasa sakit dan rindu tak berkesudahan. Wajahnya pucat. Tubuhnya kurus kering. Rindu dan cinta tak sampai telah menggerogoti setiap inci kekuatannya. Mata Shinouti yang dulu bersinar kini suram seakan beban dunia telah menghisap semua cahaya dari dalam dirinya. Sementara batuk-batuk lemah masih terdengar sesekali dari mulutya.
Mereka mendekati Shinouti yang tengah menatap kosong ke langit-langit kamar. Megaukes mengambil tempat di dekat kepala ranjang, sementara Tabib Mina berdiri di sisi lain. Mereka saling berpandangan dengan wajah penuh keprihatinan. Shinouti berusaha membuka mulut. Megaukes, dengan jubah kebesaran yang menambah wibawa, menatap pengawal setianya itu dengan tatapan penuh empati. Helaan napas berat Shinouti mengisi keheningan kamar. Di balik jendela kecil yang tertutup tirai tebal, sinar matahari sore sedikit menyelinap, memberikan cahaya redup yang mempertegas bayangan kelelahan di wajah Shinouti.
"Megaukes, Tabib Mina, apa lagi yang bisa kulakukan? Penyakit ini … ia seolah menolak untuk pergi," ujar Shinouti suara parau, seperti kerikil yang menggesek batu.
"Shinouti, sahabatku," ucap Megaukes dengan suaranya yang tenang, tetapi tegas. "Telah banyak usaha yang kita lakukan, tetapi kuasa atas hidup dan mati berada di tangan Tuhan. Hanya pada-Nya kita bisa berserah."
Tabib Mina yang berdiri di samping Megaukes mengangguk setuju.
"Aku telah mencoba segala cara yang kutahu, ramuan-ramuan terbaik, doa-doa yang tulus. Namun, tubuhmu … tubuhmu lemah bukan hanya oleh penyakit, tapi oleh beban batin yang kau pikul."
Shinouti terdiam sejenak, menatap kosong ke langit-langit.
"Rindu ini … rindu yang tak pernah sampai … ia yang menggerogoti jiwaku, Tabib. Aku tahu itu. Namun, bagaimana aku bisa mengatasinya? Hanya Tuhan yang tahu."