Abba Isaak menghela napas, suaranya mengandung kesedihan yang dalam. “Waraqah menghela napas panjang, seolah bisa melihat jauh ke masa depan. Suaranya mengandung kesedihan yang dalam saat ia berkata, 'Tidak pernah ada seorang pun yang membawa kebenaran seperti yang kau bawa, kecuali ia akan dimusuhi dan ditentang. Namun, jika aku masih hidup pada saat itu, aku akan menolongmu dengan segenap kemampuanku.'“
Maria, Shirin, dan Shinouti meresapi setiap kata yang telah diucapkan Abba Isaak. Seakan mereka sendiri telah menjadi saksi peristiwa itu.
“Dan sejak malam itu,“ Abba Isaak menutup kisahnya dengan nada penuh penghormatan, “Dunia tak lagi sama bagi dirinya. Wahyu pertama telah turun. Dan perjalanan seorang utusan Tuhan pun dimulai.“
Maria menyentuh jemarinya sendiri, mencoba memahami besarnya makna yang baru saja ia dengar. Shirin mengusap lengan atasnya, merasakan bulu kuduknya meremang. Shinouti menatap lurus ke arah Abba Isaak, tak mampu mengalihkan pandangannya.
Shinouti akhirnya bersuara, suaranya berat, seperti ada sesuatu yang menyesakkan di dadanya. “Dan kemudian? Apa yang terjadi setelah itu?“
Abba Isaak menatapnya dalam-dalam. “Waraqah wafat tak lama setelah pertemuan itu.“
Shirin menutup mulutnya dengan tangan. Ia terpekur dalam diam. Shinouti menghela napas berat, matanya menerawang. Sementara, Maria hanya menatap Abba Isaak dengan mata yang kini basah. Abba Isaak menurunkan surat di tangannya, membiarkan kata-kata terakhirnya menggantung di udara.
Siang itu, sinar matahari menerobos masuk dari jendela-jendela kecil di dinding batu. Kilaunya memantul lembut di permukaan meja kayu yang dipenuhi lembaran naskah tua. Udara di dalam ruangan terasa hangat, bercampur aroma kayu dan tinta yang telah mengering. Sementara di luar, angin bertiup pelan, menggoyangkan tirai tipis yang menggantung di dekat pintu. Maria menatap Abba Isaak dengan mata berbinar.
“Dia seorang Nabi?” tanya Maria, suaranya dipenuhi rasa ingin tahu.
Abba Isaak menarik napas dalam, tak menjawab pertanyaan gadis koptik itu. Dengan hati-hati, ia meraih sebuah naskah tua yang terbuat dari kulit binatang di atas meja. Jemarinya yang rentaa menyusuri permukaannya, seakan meraba menyentuh sesuatu yang berharga. Tidak lain adalah sejarah yang tersembunyi di balik lembaran yang menguning itu. Ia membukanya perlahan, suara halus gesekan kulit yang menua terdengar di antara keheningan ruangan.
Shinouti yang sejak tadi menyimak dalam diam akhirnya angkat suara. “Apakah ada nubuatan tentang ini dalam kitab kita, Abba?” Shinouti menyela, ekspresinya serius.
Abba Isaak menghela napas. “Aku tidak yakin, anakku. Tapi sahabatku, Tuma, sangat yakin bahwa ini mirip dengan yang dinubuatkan dalam kitab Nabi Yeshayahu.”
Abba Isaak membuka halaman tertentu, lalu menghentikan jemarinya pada satu bagian dalam naskah itu. Ia menunjuk barisan aksara yang masih tampak kokoh meski usia telah menggerogoti lembarannya. Huruf-huruf Yunani Koine itu terbaca jelas dalam keremangan cahaya lilin:
καὶ δοθήσεται τὸ βιβλίον τοῦτο εἰς χεῖρας ἀνθρώπου μὴ ἐπισταμένου γράμματα, καὶ ἐρεῖ αὐτῷ Ἀνάγνωθι τοῦτο· καὶ ἐρεῖ Οὐκ ἐπίσταμαι γράμματα.
“Dan kitab ini akan diberikan ke tangan seseorang yang tidak mengetahui huruf-huruf (tidak bisa membaca), lalu dikatakan kepadanya, ‘Bacalah ini.’ Tetapi dia akan berkata, ‘Aku tidak mengetahui huruf-huruf (aku tidak bisa membaca).’”
Maria menahan napas. Hatinya berdesir. Ia tidak sepenuhnya memahami makna teks itu, tapi ada sesuatu dalam intonasi suara Abba Isaak yang membuatnya yakin bahwa ini bukan sekadar tulisan biasa. Shinouti yang sejak tadi menekuni naskah itu tiba-tiba mengerutkan kening. Matanya menyipit, memperhatikan dengan cermat susunan huruf di depannya dengan lebih saksama. Ia mencondongkan tubuh, jari telunjuknya menyentuh satu kata tertentu. Ada keanehan di sana.
“Abba …” suara Shinouti terdengar ragu. “Kata ini… tampaknya ada yang aneh.”
Abba Isaak menatapnya dengan penuh perhatian. “Apa maksudmu, anakku?”