Madeleine

Nurina Maretha Rianti
Chapter #2

Goodbye Comfort Zone

Medi berlari menuju Balairung, ia hampir saja telat. Kampus ini jauh lebih luas dibanding kampusnya di Bandung dulu, jadi ia sempat tersesat. Sebenarnya ia tak harus ke kampus, mengingat PSBB kembali diterapkan. Namun karena ada masalah administrasi, beberapa calon mahasiswa harus datang ke Balairung kampus. Kemarin jadwal untuk mahasiswa program sarjana, hari ini untuk mahasiswa pasca sarjana dan profesi.

Sampai di Balairung, ia masih harus berlari kecil karena meja-meja administrasi sudah akan segera dibereskan. Akibat terburu-buru, ia menabrak seorang laki-laki, hingga semua berkas-berkasnya jatuh. Laki-laki itu membantu merapihkan semua barang Medi. Medi mengucapkan terimakasih. Laki-laki itu membalas dengan anggukan dan matanya yang menyipit, menyiratkan bahwa ia tersenyum di balik maskernya. Lalu Medi kembali bangkit dan segera menuju petugas yang mengurus administrasi.

Medi kembali kuliah setelah dua tahun merasakan dunia kerja di bidang industri farmasi. Ia tidak mengambil program pascasarjana, hanya menggenapkan gelarnya. Menyematkan apoteker di depan nama lengkapnya. Kata orang-orang, tidak akan lengkap sarjana farmasi jika tanpa gelar apoteker. Ia menamatkan kuliah stratanya selama empat setengah tahun di Bandung. Kali ini ini memilih kuliah di Depok dengan alasan agar bisa tetap bekerja. Ia benar-benar tidak ingin melepas pekerjaannya. Bukan karena ia sangat mencintai pekerjaannya. Tapi riskan baginya jika memutuskan untuk resign di masa-masa pandemik seperti ini. Walau ia tahu, akan berat menjalani keduanya secara bersamaan. Tempat kerjanya pun tidak bisa dibilang dekat dengan kampus, tapi setidaknya terjangkau dengan perjalanan kurang lebih satu jam menggunakan transportasi umum. Hal yang tidak bisa ia lakukan jika memilih kembali kuliah ke Bandung sekalipun urusan administrasi untuk masuk pasti akan lebih mudah karena ia masih terhitung alumni.

“Hanya setahun, Medi!” kata-kata itu yang ia gunakan untuk menyemangati dirinya sendiri ketika ia ragu apakah bisa menjalani keduanya secara bersamaan.

Untungnya kegiatan perkuliahan masih dilakukan secara daring, jadi ia tak perlu menempuh perjalanan Depok-Jakarta setiap harinya. Namun Medi benar-benar tidak menyukai metode ini. Bukan karena tugasnya yang menjadi sangat banyak. Adiknya yang sedang memasuki semester lima sering mengeluh akan hal itu. Tapi, ada banyak hal yang hanya bisa dijelaskan atau didiskusikan dengan bertemu langsung.

Salah satu dosennya pun merasa apa yang dirasakan Medi tanpa Medi mengutarakan hal tersebut. Karena itu, beliau memberi tugas kelompok yang tidak sekedar membentuk beberapa kelompok-kelompok kecil dalam kelasnya, tapi ia menyarankan agar mereka saling bertemu. Memang tidak diwajibkan bertemu, tapi tugas itu tidak bisa dikerjakan tanpa referensi dari textbook-textbook tebal yang hanya disimpan di Perpustakaan Fakultas Farmasi di kampus. Mau tidak mau, mereka harus ke kampus. Namun untuk menghindari semua kelompok bertemu di satu waktu, dosen tersebut membuat jadwal setiap kelompoknya, agar hanya satu kelompok yang mengunjungi perpustakaan setiap harinya. Satu kelompok pun hanya terdiri dari empat sampai lima orang.

Protokol kesehatan harus tetap diterapkan. Bidang mereka farmasi, sudah seharusnya menjadi salah satu garda terdepan yang menerapkan dan mengingatkan soal protokol kesehatan. Memberi tugas seperti itu saja, beberapa dosen sudah sangat menentang Pak Dosen satu ini. Bahkan ada yang sampai bilang beliau tidak berintegritas. Berlatarbelakang bidang kesehatan, tapi mengharuskan mahasiswanya berkumpul di masa pandemik. Namun dosen yang satu ini tetap pada pendiriannya. Toh, dekan tidak melarang selama menerapkan protokol kesehatan. Bahkan banyak juga fakultas lain yang melakukan pertemuan, tapi memang bukan dalam kelompok besar.

Medi kadang berpikir, ia setuju dengan new normal yang diterapkan pemerintah, walau beberapa orang bilang bahwa itu hanya kata-kata manis dari yang sesungguhnya herd immunity atau mungkin bahkan ia sering bilang sama saja artinya dengan seleksi alam. Karena baginya, mau sampai kapan seperti ini? Sedangkan ekonomi harus kembali stabil. Musuh kita kali ini virus yang tak terlihat, bukan seperti krisis tahun 1998. Manusia sulit untuk mengontrol kali ini. Virus itu tak akan pernah hilang, justru terus berevolusi. Yang membuat kita merasa aman mungkin jika vaksinnya sudah ditemukan. Tapi kita semua orang farmasi paham benar berapa lama vaksin atau obat baru dikembangkan dari riset sampai selesai uji klinis praklinis hingga bisa dipasarkan. Mau menunggu selama itu sampai ekonomi kita semakin terpuruk?

Medi teringat dengan tragedi Thalidomide di tahun 1960-an yang dulu pernah diceritakan dosennya ketika ia masih kuliah di Bandung. Obat tersebut diproduksi oleh Jerman untuk indikasi mual pada ibu hamil. Namun ternyata obat itu menjadi penyebab ribuan bayi terlahir dengan kecacatan yang cukup parah. Rasanya tragedi itu menjadi titik balik untuk uji klinik dan praklinik yang lebih baik lagi. Karena itu, butuh waktu bertahun-tahun hingga suatu obat baru bisa dipasarkan. Untungnya, untuk coronavirus, vaksin sudah mulai dikembangkan sejak munculnya SARS dan MERS. Untuk beberapa hal, ketiga virus itu memiliki tipe yang sama. Semoga sama memang seperti itu.

Yang salah dari gagalnya new normal kemarin adalah karena masyarakat seolah merayakan dengan berlibur ke tempat-tempat umum. Padahal pandemik belum benar-benar berakhir. New normal harusnya ditanggapi bijak bagi seluruh masyarakat untuk beraktivitas di luar rumah yang memang benar-benar penting dan tetap kembali dengan protokol kesehatan.

“Laras, nanti tunggu aku di gerbang depan stasiun ya? Aku takut nyasar kayak waktu itu,” ujar Medi lewat percakapan di telepon pada salah satu teman kelompoknya. Mereka cukup akrab lewat kelas online dan beberapa chat walau belum pernah bertemu.

“Iya, Ka Medi!” seru Laras hampir jengkel karena berkali-kali Medi mengatakan itu. Sudah jelas Laras tidak akan tersesat karena ia sudah 4 tahun kuliah di sana. “Tapi nanti temenin aku ke gedung fakultas teknik dulu ya. Aku mau ambil laptop di pacarku. Kemarin dia pinjam laptopku buat ngerjain skripsinya karena hari ini harus review bareng asisten dosen pembimbingnya. Laptop dia masih diservis.”

“Oke,” balas Medi singkat, tanpa menghiraukan apa permintaan temannya itu. Ada bagusnya juga untuk Medi, ia harus lebih tahu sudut-sudut lain kampusnya sekarang, agar tidak buta arah lagi.

Laras memang sering cerita soal pacarnya yang sedang berjuang untuk lulus. Dulu ia ingin lulus bersama-sama dengan pacarnya, tapi tidak bisa karena riset pacarnya itu sedang mengalami kendala. Dan juga memikirkan bahwa ia masih harus kuliah apoteker. Ia benar-benar tidak enak hati dengan pacarnya, tapi pacarnya tidak masalah. Medi hanya bisa bilang, tidak perlu merasa bersalah lagi. Toh pacarnya tidak mempermasalahkan. Justru bagi Medi, Laras harus berpikir dua kali untuk melanjutkan hubungan dengan pacarnya, jika pacarnya melarang Laras lulus lebih dulu. Itu berarti pacarnya tidak mendukung apa impian Laras selama ini. Yang penting Laras harus selalu memberi semangat dan ada di sisinya ketika pacarnya mungkin putus asa dengan skripsinya. Ia sudah mendukung impian Laras, sudah seharusnya Laras pun begitu. Begitu kata Medi yang sebenarnya tidak ahli dalam hubungan romansa laki-laki dan perempuan karena seumur hidup ia belum pernah pacaran. Tapi ia senang mengetahui Laras merasa lega mendengar petuah darinya.

“Ka Medi!” panggil Laras setengah berteriak sambil melambaikan tangannya ke arah Medi. Medi tersenyum kemudian menghampiri Laras yang sudah ada di seberang jalan.

Ini kali pertamanya mereka bertatap wajah. Canggung bagi Medi yang memang sulit dekat dengan orang lain. Namun tidak bagi Laras, ia memiliki kepribadian yang berkebalikan, sehingga Medi merasa sangat terbantu. Jika lawan bicaranya sudah terbuka, Medi dapat menyesuaikan. Mereka bergegas menuju gedung fakultas teknik.

Laras menghampiri Bayu, pacarnya. Bayu sedang duduk bersama laki-laki yang terlihat sebaya dengannya. Laki-laki di depannya terlihat sangat serius bersama laptop di hadapannya, sedangkan Bayu membuka lembar demi lembar textbook tebal dipegangnya dengan cukup frustasi.

“Hei,” sapa Laras sambil menepuk pundak Bayu. Bayu dan laki-laki di hadapannya otomatis terdistraksi dari kegiatannya masing-masing, menatap Laras dan Medi yang masih berdiri di samping bangku panjang mereka. Medi menganggukkan kepalanya sedikit menyadari senyum tipisnya di balik masker tidak akan terlihat. Kemudian mengambil ponselnya di saku untuk mengecek apa teman-teman kelompoknya sudah sampai dan membiarkan Laras berbicara dengan pacarnya.

“Udah bisa aku ambil laptopnya?” tanya Laras pada Bayu.

“Udah kok,” jawab Bayu sambil menyerahkan laptop Laras. “Filenya udah aku pindahin semuanya ke laptopnya Ka Azmi,” ujarnya sambil menoleh pada asisten dosen pembimbing di hadapannya yang ternyata pandangannya tak teralihkan dari Medi yang sibuk dengan ponselnya. “Nanti sore laptopku udah bisa diambil,” lanjut Bayu yang sebenarnya cukup terdistraksi degan tingkah Azmi.

“Mau aku temani?”

Lihat selengkapnya