Tiga bulan sudah Medi menjalani kuliah sambil kerjanya. Tidak, kerja sambil kuliah. Managernya selalu mengingatkan kerja harus menjadi prioritasnya. Medi tidak bisa memilih mana yang harus diprioritaskan, ia ingin kuliahnya lancar-lancar saja, tapi pekerjaannya juga harus baik-baik saja mengingat yang membayar biaya kuliah apotekernya kali ini adalah kantornya. Untungnya semua berjalan baik-baik saja. Ia masih tidak harus pulang-pergi Depok-Jakarta karena kuliahnya masih via daring. Hanya sesekali ke Depok jika memang ada keperluan.
Sudah tiga bulan juga, Azmi dan Medi saling berkirim pesan secara intens dan sesekali mengobrol di telepon. Banyak hal yang mereka bicarakan mengenai hal-hal yang mereka suka, isu-isu yang sedang hangat dan sebagainya. Obrolan yang masih sebatas teman. Azmi sebenarnya ingin membuat komitmen untuk hubungan mereka, tapi rasanya tidak gentle jika ia bicara lewat telepon.
“Kamu berani nggak ke luar apartemen?” tanya Azmi.
Medi tertawa mendengar pertanyaan Azmi. “Setiap hari aku ke luar. Aku masih ke kantor, aku nggak work form home. Aku juga masih sesekali ke kampus.”
“Kamu nggak bilang setiap kamu ke kampus. Aku setiap hari ke kampus buat ngerjain tesis, ketemu dosbingku,” jawab Azmi kesal, merasa Medi tidak menganggapnya penting, tapi memang begitu kenyataannya. “Maksud aku ke luar buat selain kepentingan kuliah juga kerja. Selama ini kamu kan bilang ke aku, selama pandemik kamu bener-bener nggak keluar rumah. Belanja bulanan selalu online, pesan makanan online. Pulang ke Bandung juga takut kan, padahal teman kantor kamu juga banyak yang diam-diam pulang. Pastinya tetap mematuhi protokol kesehatan kan?”
“Ya, maaf. Lagian buat apa aku ngabarin kamu kalau aku ke kampus. Kita sama-sama sibuk kan? Mau ngapain juga?”
“Aku mau ketemu kamu,” ujar Azmi tak tertahankan. “Ada yang mau aku omongin. Aku maafin kamu kalau kamu mau keluar sama aku.”
“Ngomong aja kali kalau mau ngomong, ini juga kamu lagi ngomong kan? Kenapa jadi malah kamu ngajak keluar?” ujar Medi sambil tertawa di balik ponselnya, tidak menyadari bahwa Azmi serius dan semakin frustasi ingin mengajak Medi keluar.
“Aku tahu kamu hampir stres terus-terusan di apartemen kan? Bukan cuma karena takut penyebaran virus. Tapi kantor kamu juga menyuruh karyawannya buat izin tanpa upah 14 hari kalau ke luar kota. Kamu kesal karena teman-teman kamu banyak yang nggak patuh, padahal sebenarnya kamu juga pengen ke luar,” ujar Azmi yang sukses membuat Medi tertohok. “Ayo kita ke luar. Aku jemput kamu ke apartemen. Banyak tempat makan yang udah buka dan mereka menerapkan protokol kesehatan. Aku jamin, tempatnya aman, aku jamin kamu aman.”
Medi terdiam hampir ingin menangis, sesungguhnya ia benar-benar ingin bisa sebebas dulu untuk ke luar rumah. “Aku lebih suka nonton,” ujar Medi akhirnya. “Ya, aku lebih suka nonton dibanding makan kalau ngedate. Walaupun minggu depan sekolah dan kampus udah mulai kegiatan belajar mengajar normal, tapi bioskop belum akan buka, kan?” ujar Medi masih berusaha membuat Azmi menyerah.
Azmi justru tertawa kecil di balik telepon, “Katanya nggak pernah pacaran, tapi kayak tahu banget soal ngedate?”
“Kamu ngejek ya? Aku emang nggak pernah pacaran. Tapi bukan berarti aku nggak pernah ngedate sama cowok!”
“Aduh, aku sakit hati!” seru Azmi sambil tertawa puas. “Tapi kasian juga mereka, udah jalan berdua sama kamu tapi nggak kamu anggap,” lanjutnya masih meledek.
“Kalau aku nggak nganggap, aku nggak bakal inget dong. Terus bilang ke kamu kalau aku ngedate sama cowok,” ujar Medi masih memanas-manasi Azmi dengan memberi penekanan pada kalimat akhirnya.
“Aduh, aku takut dicampakkan Medi,” Azmi masih tidak merasa panas, justru malah menggoda. “Oke, permintaan dipenuhi. Ayo kita nonton ke luar.”
“Aku nggak mau kalau nontonnya di rumah kamu. Itu bisa aku lakuin di sini sendiri. Aku mau layar yang besar kayak bioskop.”
“Duh, cewek yang satu ini ya. Aku jamin, kamu nggak bakal kecewa sama tempatnya,” Azmi bisa jengkel lama-lama, tapi ia tak terkalahkan.
***
Azmi sangat bersemangat hari ini. Menyadari perjalanan Depok-Jakarta sangat lama, ia bergegas siap-siap dan memanaskan motornya, tak ingin membuat Medi menunggu.
Medi pun tak butuh waktu lama untuk bersiap-siap. Ia memang tak pernah memakai banyak riasan di wajahnya. Selain itu, ia juga sudah mandi bahkan sebelum Azmi telepon. Ia hanya berganti pakaian lalu menunggu sambil menyelesaikan buku yang sedang dibacanya, I Want to Die but I Want to Eat Tteokpokki. Medi tipe orang yang tidak akan kesal menunggu temannya selama ia memegang buku untuk ia baca. Kalau sudah ada di tempat, tapi ia tidak membawa buku, dan temannya telat sedikit saja sesuai pejanjian. Ia bisa mengomel bahkan lebih lama dari seberapa lama ia menunggu.
Satu jam kemudian, Azmi mengetuk pintu apartemennya. Medi memberi alamatnya lengkap beserta nomor apartemennya. Sebenarnya bisa saja Azmi bilang bahwa ia sudah di tempat parkir, Medi juga tidak akan marah untuk turun sendiri ke tempat parkir. Medi membuka pintu disambut dengan senyum lebar dari Azmi yang terhalang oleh masker. Medi kemudian mengunci pintu dan mengikuti langkah Azmi.
Mereka tak saling bicara sepanjang jalan. Medi menyesuaikan diri dengan Azmi yang memang diam saja sedari tadi. Ia pasrah dibawa ke mana saja, ia percaya pada pengemudi di depannya itu. Mungkin juga ia sedang fokus mengemudi sampai tak berbicara apapun.
Akhirnya mereka sampai di tempat tujuan. Medi mengerutkan keningnya. Azmi sudah khawatir ia akan kecewa, tapi ia yakin ia benar atas pilihan tempatnya.
“Coworking space?” tanya Medi. “Azmi, aku lagi nggak pengen ngerjain tugas kampus atau kantor.”
“Ikut aja dulu,” ujar Azmi sambil menarik tangan Medi.
Medi tak juga menuruti, ia melihat pergelangan tangannya yang dipegang Azmi. Matanya seolah berkata, siapa yang memberi izin atas itu?
Azmi yang sadar lantas melepas genggamannya, “Maaf. Ayo ikut dulu.”
Kini Medi menurut. Medi mengamati sekitar, tempatnya memang didesain sangat bagus sampai Medi tidak sadar bahwa Azmi sedang bernegosiasi dengan si pemilik tempat sampai memohon-mohon.
“Gue nggak sewain ruang rapatnya, Mi. Ikut anjuran pemerintah, nggak boleh ngadain kumpul-kumpul.”
“Kita cuma berdua, bro,” ujar Azmi.