Seminggu kemudian, kegiatan belajar mengajar di sekolah dan kampus benar-benar diterapkan. Sekalipun Medi senang akhirnya tidak kuliah online lagi. Tapi itu berarti kini ia harus pulang-pergi Jakarta-Depok setiap hari. Ia berangkat ke Depok pagi-pagi buta. Rata-rata jadwal kelasnya selesai sekitar pukul 12 siang setiap harinya. Ia ada waktu sekitar dua jam untuk istirahat sebentar sebelum berangkat lagi ke Jakarta. Jam kerjanya dimulai dari pukul tiga sore sampai sebelas malam. Terdengar melelahkan, tapi ia anggap bahwa ia hanya sedikit lebih produktif dari biasanya karena setiap hari pun ia memang bangun subuh dan tidur sekitar pukul 12 malam. Setiap hari ia hanya tidur 5 jam. Ia berpikir, mungkin kali ini akan terasa lelah di perjalanan. Apalagi kalau KRL penuh dan ia tak dapat duduk. Karena physical distancing masih diterapkan, jadi hanya beberapa bangku yang bisa digunakan. Sisanya harus berdiri. Hanya tiga bulan kok, sampai semester ini berakhir. Tapi ia justru memikirkan semester berikutnya.
Semester berikutnya ia harus PKPA (Praktik Kerja Profesi Apoteker). Dua bulan di apotek, dua bulan di industri, dua bulan di pemerintahan. Praktik kerjanya mengikuti jam kerja instansinya, 8 jam, sama seperti saat ia bekerja sekarang. Praktik kerja pukul 7 pagi sampai 3 sore. Belum sempat istirahat ia harus langsung berangkat bekerja. Managernya sudah memaklumi ia akan telat, jauh sebelum mengizinkan kerja sambil kuliah.
Azmi pun masih memiliki beberapa jadwal kelas sampai pukul 12. Setelah kelas selesai, biasanya ia akan baru memulai bekerja untuk tesisnya. Tapi ia mengerjakan tesisnya cukup fleksibel. Dosennya tidak mengekang, beliau hanya memberi deadline untuk setiap tahapnya. Dan Azmi cukup pandai dalam mengatur waktu. Terlebih dia tidak sedang bekerja.
Selama tiga bulan ke depan. Azmi dan Medi akan lebih sering bertemu. Sebelum akhirnya Medi harus PKPA. Biasanya mereka bertemu di perpustakaan pusat atau kantin kampus yang bisa didiami lebih lama. Itu pun sebenarnya mereka saling sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Terutama Medi, ia sangat tidak profesional. Ia sering membawa pekerjaan kantornya ke kampus, juga sering membawa tugas kampusnya ke kantor. Mau bagaimana lagi? Kalau tidak curi-curi waktu seperti itu, ia akan tertinggal. Azmi hanya bisa memaklumi, walau terkadang jengkel merasa diabaikan. Medi sendiri selalu berusaha sedemikian rupa untuk selalu menanggapi ocehan Azmi. Ia mencoba menghargai Azmi yang selalu ada di sisinya.
“Kamu pengennya kita nikah umur berapa?” tanya Azmi yang membuat Medi cukup terdistraksi sampai menghentikan aktivitasnya.
“Mungkin 27, seenggaknya aku lulus apoteker dulu. Atau 28 setelah kamu lulus S2. Kita juga harus matang secara finansial kan?” jawab Medi sambil kembali fokus pada tugasnya.
“Oke, 27 ya,” kunci Azmi, kebetulan umur mereka juga sama, Azmi lebih tua enam bulan dari Medi. “Aku nggak nunggu sampai lulus S2 kok. Aku memang nggak kerja sekarang. Tapi tabunganku setelah kerja sebelum lanjut kuliah kemarin sudah cukup dan project Pak Ketut juga sebenarnya ada profitnya, walau mungkin nggak lebih besar dari gaji kamu sekarang.”
Medi kembali terdistraksi, “Aku nggak mempermasalahkan gaji siapa yang lebih besar nantinya,” kali ini ia serius dalam perbincangannya dengan Azmi sampai ia tidak kembali pada tugasnya, “Kenapa sih standar menikah di Indonesia itu umur 20an? Di Korea, juga di negara-negara lain banyak yang menikah umur 30an.” Medi bicara seperti itu karena ia rasa banyak goal yang seharusnya dicapai sebelum menikah. Bukan hanya mandiri secara finansial, tapi juga tujuan-tujuan pribadi yang mungkin nantinya tidak lagi bisa menjadi fokus setelah menikah.
Azmi tak menghiraukan, walaupun ia tetap bertekat harus memiliki gaji yang lebih dari istrinya nanti. “Karena mereka bisa melakukan ‘itu’ bahkan sebelum menikah.”
Tak perlu dijelaskan apa, Medi sudah tahu apa yang dimaksud Azmi. Dan Medi benar-benar kesal dibuatnya, “Apa tujuan menikah hanya untuk melakukan itu?” tanyanya yang kini sudah membereskan barang-barangnya di meja.
Azmi masih tidak menyadari betapa kesalnya Medi, “Ya nggak juga.” Hingga akhirnya ia sadar ketika Medi memasukkan semua barangnya ke dalam tas. “Apa buat kamu umur 20 itu standar? Itu hanya rata-rata. Tidak ada yang menetapkan itu sebagai standar, hanya kebanyakan mereka menikah di umur 20an. Kamu mengatakan itu standar mungkin karena Ayah Ibu juga orang-orang terdekat sudah menanyakan ‘kapan menikah’.”
“Aku nggak pernah terganggu sama pertanyaan kapan menikah,” Medi tidak berbohong, semua orang memang menanyakan hal itu, tapi ia kembali pada tujuan yang ingin ia capai sebelum menikah.
“Kamu tahu nggak. Aku udah ngebanyangin kalau nanti kita berumah tangga. Saat aku pulang kerja, kamu sudah menyiapkan makanan untuk aku,” ujar Azmi sambil senyum-senyum ketika Medi sudah sama sekali tidak bisa tersenyum.
“Aku masih akan tetap bekerja bahkan setelah menikah,” ujarnya sambil bangkit dari kursinya.
Kini Azmi menyadari, ia tak bisa melanjutkan khayalannya, “Aku nggak larang kamu kerja setelah menikah.”
“Udah ah, aku capek!” seru Medi sedikit membentak, lalu pergi meninggalkan pacarnya itu.
Azmi bergegas menyusul, “Oke-oke, aku minta maaf,” ujar Azmi yang tak menghentikan langkah Medi. “Medi, please, jangan kayak gini,” lanjutnya hingga akhirnya menghentikan langkah Medi.
“Aku bukan capek sama hubungan kita kok,” ujar Medi yang sedikit melegakan Azmi. “Kamu tahu kan aku kuliah sambil kerja. Mungkin kamu mikir, banyak kok temen kamu yang kayak gitu, mereka biasa-biasa aja. Aku nggak kayak gitu, Mi. Aku kuliah ambil kelas regular, bukan kelas karyawan. Aku juga kerja full time, bukan part time. Rasanya udah kayak pengen belah diri tahu nggak,” oceh Medi mengeluarkan segala yang ingin ia tumpahkan.
“Iya, aku minta maaf ya, aku ngerti kok. Aku nggak pernah nuntut apa-apa kan dari kamu. Bertemu dua jam sehari sudah lebih dari cukup.” Hanya itu yang bisa Azmi katakan.
Tapi bukan itu yang Medi maksud, Azmi memang tak pernah menuntut apapun dari Medi. “Kamu tahu kenapa aku mati-matian mau kuliah sambil kerja kayak gini? Itu karena aku masih pengen punya karir sekalipun aku menikah nanti. Kuliah farmasi tanpa apoteker bikin posisi karir aku stuck disini-sini aja. Jujur aja, kali ini aku kuliah cuma buat ngejar gelar bukan ilmu. Kalau aku ngejar ilmu, aku udah ambil magister kayak kamu,” Medi jauh lebih berapi-api mengatakannya, “Aku udah kasih tahu kamu dari sekarang, kalau kamu cuma pengen istri yang nantinya diam di rumah menunggu suaminya pulang kerja. Kita udahan aja.”
Azmi lantas memeluk Medi, “Aku nggak akan larang kamu berkarir kok, selama nanti istriku juga bisa mengurus rumah tangga dengan baik.”
Medi tak lantas memeluk Azmi. Ia tidak suka, Azmi jadi lebih suka memeluknya ketika mereka bertengkar kecil. “Ya sudah, aku sudah harus berangkat kerja,” ujar Medi kemudian sambil melepas pelukan Azmi. Sesungguhnya ia masih tidak suka dengan kalimat terakhir Azmi. Tapi ia sangat lelah untuk menanggapi.
Azmi sebenarnya ingin menahan. Ia merasa Medi penuh kejutan, bisa sangat sensitif terhadap sesuatu. Masih menjadi misteri baginya karena ia rasa Medi belum cukup terbuka dengannya. Namun ia biarkan Medi pergi kali ini, ia takut salah bertindak kali ini. Biar pertemuan kali ini menggantung akhirnya. Medi tidak meminta putus saja sudah baik baginya.
***
Azmi terus memikirkan Medi. Pukul sebelas malam biasanya ia sudah terlelap. Tapi sejak berpacaran dengan Medi, ia belum pernah tidur sebelum memastikan Medi sudah sampai apartemennya dengan aman. Ia hanya akan berkirim pesan, tidak menelepon karena tahu bahwa Medi sudah sangat lelah untuk mengangkat telepon.
Kamu sudah sampai apartemen? Aku minta maaf ya soal yang tadi siang. Aku janji nggak akan menyinggung soal pernikahan. Kamu fokus aja dulu sama kuliah juga kerjaan.
Sejak berpacaran dengan Azmi, kini yang menanyakan apakah Medi sudah pulang bukan hanya Ibu. Dia khawatir sebenarnya karena Ibunya belum tidur sampai pukul sebelas malam. Ia sudah bercerita pada Ibu bahwa kini ada Azmi sebagai pacarnya dan Ibu tak perlu menunggunya sampai ia pulang kerja, ia memastikan bahwa ia akan baik-baik saja. Ibunya senang sekali karena akhirnya Medi sudah punya pacar, ditambah Medi memang selalu bercerita yang baik-baik soal Azmi. Seperti biasa, Ibunya akan selalu minta kontak orang yang sedang dekat dengan Medi. Sebelumnya Medi tak pernah memberi. Tapi entah mengapa, di sisi hatinya yang terdalam, ia cukup yakin bahwa kali ini Azmi bisa menjadi yang bertahan sampai akhir, sehingga ia tak ragu memberi kontak Azmi pada Ibunya, sembari minta izin pada Azmi untuk memberi kontaknya pada Ibu. Dan terlebih dahulu minta maaf kalau Ibunya cukup mengganggu.
Iya, aku sudah sampai. Aku juga minta maaf, reaksiku berlebihan. Wajar kan, kita ngomongin soal pernikahan, umur kita memang sudah matang.
Oh ya, Ibuku minta kontak kamu. Boleh aku kasih? Maaf ya kalau nanti Ibu malah mengganggu.
Azmi justru senang jika Medi memberi kontaknya pada Ibu. Itu tandanya Medi juga serius dengan hubungan ini. Dan ia tambah senang karena Medi sudah tidak marah lagi soal membicarakan pernikahan.
Boleh dong. Masa aku nggak mau dekat sama calon mertuaku. Ya sudah, kamu langsung tidur ya, istirahat yang cukup.
Medi senyum-senyum sendiri, sepertinya baru kali ini ia sebahagia itu karena bagaimana seorang lelaki memperlakukannya. Ia mengirim nomor Ibunya pada Azmi serta mengucap selamat tidur. Lalu mematikan ponselnya. Ia memejamkan mata masih sambil tersenyum.
***
Seperti biasa, setelah kelas selesai, Azmi dan Medi akan saling berkirim pesan untuk bertemu. Biasanya Azmi yang mengirim pesan lebih dulu. Mereka saling tahu jadwal masing-masing. Sehingga Azmi hanya akan berkirim pesan saat Medi sudah selesai kelas. Begitu pun Medi kepada Azmi.
Hari ini, Medi tak kunjung membalas pesan Azmi. Padahal kelasnya telah usai sekitar sejam yang lalu. Hingga akhirnya ada panggilan masuk dari Medi di ponsel Azmi.
“Kamu dari mana aja sih? Kenapa nggak bales-bales chat aku. Kalau ada FGD atau apapun, bisa bales chat aku dulu kan?” tanya Azmi khawatir.
“Ka Azmi, ini Laras. Ka Medi tadi pingsan habis kelas. Sekarang ada di klinik kampus. Maaf ya baru kabarin. Ka Medi baru bangun,” terdengar suara dari balik telepon yang Azmi kenal bukan suara Medi.
“Ah, Laras, maaf aku marah-marah. Oke aku ke sana sekarang!” seru Azmi yang segera menutup telepon dan bergegas ke klinik kampus.
Sesampainya di klinik kampus, Laras masih di sana, juga terlihat dokter klinik yang masih memeriksa Medi. Mengetahui Azmi sudah datang, Laras pamit untuk pergi.
“Kamu overactivity. Kalau bisa bed rest dulu seminggu ini. Kalau diterusin bisa-bisa jadi gejala tifus,” pesan dokter klinik yang kemudian pergi.
Medi masih terbaring lemas. Azmi hanya bisa mengelus rambut Medi.
“Aku harus berangkat kerja,” ujar Medi berusaha bangun, melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul dua siang.
“Kamu nggak denger omongan dokter barusan?” tanya Azmi kesal.
“Aku cuma kecapekan. Aku memang beberapa kali pingsan kalau capek. Aku sering anemia, punya hipotensi juga. Tekanan darah sistol 70 pun aku masih bisa beraktivitas normal,” ujar Medi keras kepala.
“Mending kamu resign aja deh. Nanti kan bisa kerja lagi kalau udah kelar apoteker,” saran Azmi tanpa basa-basi karena ia rasa yang membuat Medi seperti ini adalah kuliah sambil kerjanya.
Bukannya menuruti, Medi justru sangat kesal dengan ucapan Azmi barusan, “Kamu siapa aku sih? Belum jadi suami aja udah berani ngatur-ngatur!”
Azmi yang sakit hati mendengar jawaban Medi barusan seketika melepas tangannya yang sedari tadi berada di punggung Medi, menumpu gadis itu yang duduk saja masih tidak begitu kuat.
“Aku cuma takut kamu kenapa-napa!” ujar Azmi sedikit membentak. “Kalau kamu nggak suka ya sudah,” lanjutnya yang kini justru pergi meninggalkan Medi.
Medi tak peduli, ia benar-benar tidak suka dengan kata-kata Azmi soal resign. Ia masih melihat Azmi yang tidak pergi dari balik jendela klinik. Lelaki itu berdiri mondar-mandir dengan sangat gelisah, membuat Medi merasa bersalah karena ucapannya yang lebih dulu membentak padahal Azmi hanya memberi saran.
Ia berusaha turun dari tempat tidurnya, tapi kepalanya masih terasa sangat berat sehingga badannya tak seimbang untuk berdiri tegap. Azmi yang melihatnya langsung bergegas masuk kembali ke ruangan untuk membatu Medi.
“Seenggaknya kamu nggak usah masuk hari ini,” pinta Azmi sambil menumpu tubuh Medi. “Kali ini aja nurut sama aku. Aku memang bukan siapa-siapa kamu. Pedulinya aku mungkin nggak penting buat kamu. Tapi coba kamu peduli sama diri kamu sendiri. Kalau kamu makin sakit, kamu malah nggak bisa ngerjain semua kerjaan sama tugas kampus kamu,” lanjutnya sambil membantu Medi duduk kembali di kasur klinik.
Medi menatap haru wajah Azmi dengan mata yang sudah berkaca-kaca. “Oke,” jawabnya dengan suara yang hampir tak terdengar.
Azmi tersenyum tipis. “Kamu tunggu di sini sebentar. Aku ada janji sama dosbingku. Nggak lama kok, cuma nyerahin draft. Habis itu aku langsung ke sini. Kamu istirahat di rumahku aja,” pinta Azmi yang tidak tega membiarkan Medi pulang karena perjalanannya cukup jauh.
Medi hanya mengangguk. Azmi kemudian pergi. Medi kembali berbaring lalu membuka ponselnya untuk meminta izin pada supervisornya bahwa ia tidak bisa masuk kerja hari ini.
Tidak sampai lima belas menit, Azmi sudah kembali menjemput. Sebenarnya ia memang ada janji diskusi dengan Pak Ketut, tapi ia meminta izin untuk menganti jadwalnya menjadi besok. Bisa saja draftnya ia kirim via email, tapi ia tidak enak jika tidak menemui Pak Ketut terlebih dahulu. Untungnya hari ini Pak Ketut sangat kooperatif.
Azmi membantu Medi untuk berdiri dan berjalan. Benar saja, ia masih tidak cukup kuat bahkan untuk sekedar berdiri. Medi mengikuti Azmi ke parkiran, lalu naik ke motor Azmi. Ia menyandarkan badannya ke tubuh seorang di depannya itu. Badannya benar-benar lemas seolah otot-ototnya menghilang. Bahkan ia takut kalau sampai pingsan atau tertidur di motor. Azmi mengalungkan lengan Medi ke pinggulnya. Medi menurut saja. Untungnya rumah Azmi tak jauh dari kampus. Hanya memakan waktu perjalanan sekitar sepuluh menit.
Azmi pernah bercerita pada Medi bahwa ia tinggal sendiri di rumahnya. Mama dan Papanya kembali ke Padang setelah Ayahnya pensiun dan kakak perempuan satu-satunya tinggal bersama suaminya di BSD City setelah mereka menikah. Azmi menyuruh Medi untuk tidur saja di kamarnya. Ia akan di ruang kerja Papanya untuk melanjutkan tesisnya. Medi masih menurut saja walau ia merasa tidak nyaman tidur di kamar laki-laki. Mau bagaimana lagi, ia benar-benar butuh istirahat.
Benar ternyata, Medi hanya butuh istirahat. Ia tidur selama lima jam dan sekarang sudah pukul delapan malam, badannya sudah kembali segar. Tidurnya kali ini sangat berkualitas. Ia lalu ke luar kamar dan mencari Azmi. Aroma sup yang sangat harum memandu Medi menuju dapur. Ternyata laki-laki itu sedang memasak.
Menyadari ada gerak langkah, Azmi menoleh ke belakang, “Hei kamu sudah bangun,” sapa Azmi sambil menghentikan kegiatan memasaknya yang memang sudah hampir selesai. “Kamu pasti lapar kan?” ujarnya kini yang menghampiri Medi lalu membimbingnya menuju meja makan dan menarik salah satu kursi untuk Medi duduk.
Medi mengikut instruksi Azmi tanpa sepatah kata pun. Senyum tipisnya terus terpancar. “Kamu pintar masak ya? Baunya enak banget.”
“Nggak juga sih. Aku suka nimbrung kalau Mama sama Uniku lagi masak,” kata Azmi bersemangat sambil menyajikan supnya di meja makan.
Kini ia menyiapkan piring dan menuangkan nasi di atasnya, “Kamu harus makan yang banyak, biar cepat bertenaga.”
“Eh, aku nggak makan sebanyak itu!” seru Medi sambil memegang tangan Azmi agar ia menghentikan menaruh nasi di atas piringnya.
“Oke,” ujar Azmi yang kini memberikan piringnya pada Medi dan Medi mengurangi nasinya, lalu mengambil sendiri supnya. Sedangkan Azmi mengambil piring untuk dirinya sendiri.
“Pantes kamu nggak suka makanan kantin kampus ya? Ternyata ini jauh lebih enak,” puji Medi yang lahap sekali makannya.
Azmi tersenyum bahagia melihat Medi sudah kembali cerah, tidak pucat lagi seperti di klinik tadi. “Oh ya? Aku harusnya sering masak buat kamu ya,” ujar Azmi. “Medi,” panggil Azmi yang sedari tadi hanya fokus pada makanannya.
“Hmm,” sahut Medi yang memang benar-benar lapar.
“Mulai besok aku yang anter kamu kerja ya,” ujar Azmi mengalihkan topik. Ia tak bisa menyembunyikan rasa khawatirnya. Ia tahu kalau Medi akan marah jika ia disuruh bed rest seminggu penuh. “Aku tahu, yang paling capek itu perjalanan dari Depok ke Jakarta kan. Jam segitu pasti KRL juga penuh, kamu pasti nggak bisa duduk. Naik KRL sama motor sama-sama panas sih, tapi kalau aku antar seenggaknya kamu bisa duduk kan?”
Semua yang Azmi bicarakan memang benar. Medi sering lelah berdiri di KRL, kalau saja bisa ngampar di KRL, ia sudah lakukan sejak dulu. “Tapi kamu kan masih harus bimbingan jam tiga sore?” tanya Medi yang benar-benar tidak ingin merepotkan.