Madeleine

Nurina Maretha Rianti
Chapter #5

Azmi"s Sister

Sabtu pagi Medi bangun cukup pagi. Sudah biasa bagi Medi. Tapi kali ini, ia tidak bisa tidur dengan nyenyak semalam memikirkan apa yang terjadi di hari pertamanya bertemu dengan salah satu anggota keluarga Azmi, kakaknya. Azmi meminta Medi untuk menyiapkan beberapa baju ganti karena mereka akan menginap. Sebenarnya Medi tidak ingin menginap karena itu membuatnya semakin tegang. Tapi ia menyadari bahwa BSD cukup jauh, akan sangat lelah baginya dan Azmi jika tidak menginap. Lagipula itu permintaan kakaknya sendiri agar mereka menginap karena suaminya sedang bekerja di luar kota. Ia cukup kewalahan mengurus Naya. Di rumahnya terdapat satu ruang untuk kamar tamu. Azmi bisa tidur di sana dan Medi tidur bersama kakaknya.

Medi berangkat dengan menggunakan KRL menuju rumah Azmi. Lalu akan bersama menuju BSD dengan mengendari motor Azmi.

Tepat pukul sebelas siang, mereka akhirnya sampai di rumah kakak Azmi. Medi ikut masuk dengan jantung yang berdetak kencang membayangkan bagaimana respon kakak Azmi. Kakak Azmi sedang menggendong Naya yang menangis cukup keras. Ia belum sempat masak, selain makanan untuk bayi, karena Naya benar-benar tidak bisa ditinggal sejak selesai makan. Rumah juga sangat berantakan dengan semua mainan Naya. Semuanya dikeluarkan demi menenangkan Naya, tapi tidak berhasil.

Melihat situasi seperti itu, Medi membayangkan jika suatu hari ia harus menjadi Ibu Rumah Tangga, rasanya ia sangat belum siap. Medi memang sangat suka anak kecil, tapi sebenarnya ia cukup kaku jika dihadapkan dengan anak kecil.

Azmi langsung bergegas menuju kakaknya melihat ia kewalahan menghadapi Naya.

“Lihat, Sayang. Ada siapa? Ada Om Azmi!” seru Asti, kakak Azmi berusaha mengalihkan Naya.

Azmi mencoba untuk mengambil alih Naya tapi yang ada Naya justru menangis semakin keras. Sejak awal, Naya memang tidak pernah akur dengan Azmi. Azmi selalu ingin menggendong dan bermain bersama keponakan satu-satunya itu. Tapi yang ada Naya justru menangis, bahkan saat Naya sedang anteng sekalipun.

“Naya,” panggil Azmi yang masih mencoba membujuk Naya sambil membuka lebar tangannya. “Coba lihat, Om Azmi datang dengan siapa?” ujarnya mengalihkan Naya sambil merangkul Medi.

Medi yang tadi hanya di belakang Azmi kini berada di samping Azmi. Ia membungkuk sambil tersenyum ke arah Asti. Asti balas tersenyum masih sambil menggendong Naya.

Naya yang mungkin asing melihat Medi kini justru berhenti menangis dengan bibirnya yang masih manyun dan mata jernihnya yang cukup penasaran tak lepas dari Medi.

“Coba kamu gendong,” pinta Azmi pada Medi.

“Boleh, Uni?” tanya Medi meminta izin pada Asti lalu dibalas dengan anggukan sambil tersenyum. Medi sangat antusias membuka tangannya ke arah Naya. Ia sangat senang karena diizinkan untuk menggendong Naya. Untungnya Naya sudah cukup besar. Jika masih beberapa bulan, Medi sangat tidak berani.

Naya lantas menyambutnya dengan tangan yang juga membuka.

“Oh, Sayang!” ujar Medi lalu meraih Naya dan menepuk-nepuk punggung balita yang masih menangis kecil itu.

“Aku tinggal masak dulu ya,” ujar Asti yang bergegas ke dapur. “Medi, aku titip Naya,” pinta Asti. “Azmi, bantu aku pasang kasur bayi dong, kerangkanya ada di kamar,” pinta Asti sambil berteriak dari dapur.

“Iya!” jawab Azmi sedikit berteriak agar kakaknya mendengar dari dapur.

Lalu matanya beralih pada Medi yang kini menggendong Nya. “Udah cocok tahu,” komentar Azmi sambil menepuk-nepuk kepala Medi.

“Apaan sih,” jawab Medi yang masih menyeimbangkan Naya dalam gendongannya, ternyata bayi itu cukup berat. Untungnya saja sudah tidak menangis dan berontak. “Udah sana, tadi Uni kamu minta apa?”

“Iya, Bawel,” jawab Azmi. Ia kemudian menuju kamar kakaknya untuk mengambil kerangka kasur bayi lalu membawanya kembali ke ruang tamu.

“Kok dibawa ke sini? Nanti dipasang di sana, kan? Kerja dua kali dong, ngangkut-ngangkutnya?” tanya Medi yang sudah menurunkan Naya dan kini menemani bayi itu dengan segala mainannya.

“Biar bisa nemenin kamu sama Naya. Rasanya kayak aku sama kamu jadi Papa Mamanya Naya. Anggap aja simulasi,” jawab Azmi. “Iya kan, Naya?” tanya Azmi yang kini mencoba mendekati balita itu.

Namun yang ada Naya justru menghindar dan merangkak menuju Medi dengan mata yang sudah bekaca-kaca. “Oh, Sayang-sayang. Om nakal ya?” Medi yang melihat Naya menghampiri, bergegas memeluk sebelum bayi itu nangis kembali. “Udah deh nggak usah ganggu. Susah tahu nenanginnya,” ujar Medi jengkel pada Azmi.

“Iya, iya,” jawab Azmi yang kembali ke tempatnya dan mulai membongkar kerangka kasur untuk Naya. Masih dengan melihat Medi dan Naya yang menggemaskan. “Ngeliat kamu bisa nenangin Naya bahkan waktu sama Mamanya sendiri masih nangis kejer. Bikin aku tenang kalau nanti kita punya anak.”

Medi yang cukup geli dengan kata-kata Azmi memilih untuk tidak menanggapi. Karena jika iya, Azmi juga akan terus lanjut. Kini Naya sudah turun dari pelukannya dan kembali bermain dengan mainannya ditemani Medi. Ia mengambil salah satu buku cerita yang bisa mengeluarkan suara. Medi membantu membuka dan membunyikan suaranya, hal itu membuat Naya tertawa. Medi sesekali membacakan isi bukunya dan Naya memperhatikan seolah mengerti. Azmi yang tidak bisa ikut di tengah-tengah mereka sudah cukup gemas melihat interaksi keduanya. Ingin sekali menimbrung, tapi ia tidak ingin kakaknya mengomel dari dapur.

Beberapa menit kemudian, Asti sudah kelar dengan masakannya. Ia menuju ruang tamu, lalu menggelar meja panjang agar mereka bisa makan di sana. Tidak lupa kursi kecil untuk Naya agar ia bisa ikut makan bersama. Ia masih membiarkan Naya bermain dengan Medi sembari mengeluarkan semua yang telah dimasaknya. Sedangkan Azmi sudah selesai dengan kasur bayi rangkaiannya dan kini ia memindahkan kasur itu ke kamar kakaknya. Benar ternyata kata Medi, ia kerja dua kali, dan kasur itu terasa lebih berat setelah dirangkai.

Kini ketiga orang dewasa itu dan satu balita yang mengemaskan, sudah duduk di tempatnya masing-masing dan siap untuk makan. Asti masak cukup banyak hari ini.

“Oh iya, Uni. Aku belum kenalin kalian berdua,” ujar Azmi memecah keheningan. Ia melihat Medi sangat canggung, sedangkan kakaknya masih sibuk memasang celemek pada Naya. “Sayang, kenalin, ini Uni Asti, Uniku,” lanjutnya, diikuti dengan Medi yang mengulurkan tangannya pada Asti diiringi dengan senyum manisnya. “Uni, kenalin, ini calon istri aku, namanya Madeleine.”

“Panggil aja Medi, Uni,” ujar Medi yang kemudian disambut jabatan tangan oleh Asti.

Asti tak bisa menahan tawanya, membuat Medi justru makin canggung. “Kali ini dikenalinnya calon istri ya, yang dulu-dulu pacar. Memangnya udah siap nikah?” tanya Asti pada Azmi.

Menyadari apa yang membuat Asti tertawa, Medi justru menunduk tersipu malu.

“Udah lah, Uni. Aku sih siap, dianya yang belum,” jawab Azmi sambil melirik Medi yang masih diam saja.

“Beda dong sama yang dulu, yang terakhir itu. Judith? Yudita? Siapa namanya?” ujar Asti.

“Udah ah, Uni. Nggak usah mancing-mancing deh,” pinta Azmi sedikit memohon.

“Memangnya kenapa, Uni?” tanya Medi yang kini bersuara karena ia cukup penasaran.

“Tuh Medi aja pengen tahu. Nggak apa dong aku cerita?” lanjut Asti. “Aku kasih tahu ya, Mi, adikku sayang. Kalau mau ke hubungan yang serius, nggak boleh ada yang ditutup-tutupi. Bener nggak, Medi?”

“Iya bener, Uni. Nggak apa cerita aja,” jawab Medi yang kini menoleh sedikit sinis kepada Azmi.

Azmi pasrah dan tak bisa menahan Uni-nya lagi. “Naya, Sayang. Nanti kalau kamu sudah besar jangan comel kayak Mama ya,” ujar Azmi pada Naya sambil mengelus lengan mungil balita di sebelahnya itu. Naya tidak menangis lagi tapi juga tidak mengacuhkan Azmi karena ia sedang sibuk dengan makanannya sembari diacak-acak berusaha memasukkannya ke dalam mulut kecilnya.

Asti tak peduli dan lanjut memulai cerita, “Terakhir Azmi pacaran sebelum sama kamu itu dua tahun lalu. Dulu dia itu playboy, Med. Pacaran cuma berapa bulan terus cepet banget ganti pacar baru. Nah sama yang terakhir itu udah hampir setahun pacaran. Dia cewek paling populer di FEB, kampus yang sama. Azmi bukan mahasiswa paling populer sih di fakultas teknik. Tapi cowok teknik itu terkenal keren-keren dan masih jadi idaman. Kamu dulu di Bandung kuliah di kampus teknik pasti tahu lah ya? Apa saking semuanya keren jadi biasa aja? Pasti kamu pernah lah pacaran atau ngedate sama salah satu dari mereka?” tanya Asti yang teralihkan dengan ceritanya sendiri.

Medi masih menyimak, ia memang sudah tahu kalau Azmi cukup punya banyak mantan. Tapi ia tak pernah tahu bagaimana Azmi dalam berpacaran dengan pacar-pacar yang sebelumnya.

“Iya tuh, pasti pernah, kan?” ujar Azmi memandang tajam mata Medi.

Medi merasa tak tersudutkan, ini cerita soal Azmi, bukan dirinya. “Hmm, sekali dua kali sih pernah jalan sama mereka, tapi aku nggak pernah sampai pacaran,” jawab Medi. “Terus-terus Uni? Gimana Azmi sama Yudita itu?” tanya Medi yang juga masih ingat betul nama yang disebut Asti di awal.

Lihat selengkapnya