Madeleine

Nurina Maretha Rianti
Chapter #6

Medi"s Family

Minggu-minggu libur semester benar-benar Medi gunakan untuk menyimpan energinya, dia banyak istirahat. Kerja dari pukul tujuh sampai tiga sore. Ia juga berusaha untuk tidur lebih cepat dari biasanya. Azmi dan Medi sudah terbiasa untuk tidak bertemu. Seperti awal mereka kenal dulu, saat masa pandemik. Mereka hanya berhungan via telepon.

Hari jum’at pun tiba. Medi sudah sangat tidak sabar untuk pulang ke Bandung. Medi dan Azmi janjian di salah satu shuttle travel Jakarta-Bandung. Mereka akan pulang ke Bandung dengan menggunakan travel. Mereka juga sekalian memesan travel untuk Sabtu dan Minggu. Sabtu untuk Azmi pulang, dan Minggu untuk Medi pulang.

Medi tidak bisa menyembunyikan betapa bahagianya ia. Bagaimana tidak. Ini adalah waktu dimana akhirnya ia bisa pulang setelah setahun. Sebelum pandemik, hampir tiap minggu ia pulang ke Bandung. Ia tersenyum sepanjang jalan. Ia membayangkan bagaimana wajah Ayah dan Ibunya kini, apa banyak berubah. Bagaimana juga rupa adiknya, apa ia masih bertambah tinggi. Terakhir bertemu tingginya sudah mencapai 180 cm. Ia yang masih senyum-seyum melihat jalan dari jendela travel tak sadar bahwa di sampingnya duduk seorang laki-laki yang akan dikenalkan pada keluarganya. Hal yang tak pernah ia lakukan sebelumnya. Mengenalkan laki-laki yang hubungan dengannya lebih dari sekedar teman. Ia mengamati wajah lelaki yang sedang tidur itu. Tak tahu apa yang membuatnya mudah sekali tidur di kendaran umum seperti ini. Apa ia terlalu lelah dengan tesisnya?

Gadis itu sadar bahwa selama ini Azmi yang selalu perhatian dengan rutinitasnya. Ia juga sudah cukup lelah dengan rutinitasnya hingga tak pernah sekedar basa-basi untuk bertanya bagaimana kabar tesis yang sedang Azmi garap. Ia masih memandangi wajah manis Azmi dengan lesung di pipi kanannya yang sedikit terlihat sekalipun lelaki itu tidak tersenyum. Medi mengakui bahwa laki-laki itu cukup tampan dan menarik. Ya kalau tidak, mana mungkin ia bisa menjadi playboy, juga mengencani wanita paling popular di salah satu fakultas di kampusnya. Tapi semua itu tak cukup membuat Medi jatuh cinta. Bahkan dengan semua perhatian yang sudah Azmi berikan selama ini. Ia hanya sedang membalas perasaan Azmi. Mengiyakan ketika Azmi sudah bicara serius soal hubungan mereka. Namun semua itu masih terdengar seperti dongeng bagi Medi. Dongeng yang indah. Ya, ia juga seorang gadis yang mendambakan akhir yang bahagia seperti yang dialami Putri-Putri Disney. Tapi ia tetap harus siap jika suatu saat hubungan ini tak berhasil.

“Kenapa merhatiin aku?” ujar Azmi yang ternyata tidak tidur.

Mendengar itu, Medi langsung mengalihkan pandangannya kembali menuju jalan.

“Aku tahu aku ganteng, tapi nggak usah segitunya.”

Medi kini tersenyum kecut dan kembali menoleh pada lelaki di sampingnya. “Kamu tahu, cowok ganteng yang ngaku ganteng itu bikin illfeel tahu.”

“Oh ya?” tanya Azmi. “Oke deh, aku nggak bakal narsis lagi. Aku udah tahu kok kamu mengakui aku ganteng.”

Medi terdiam dan wajahnya berubah datar.

“Kamu kenapa?” tanya Azmi menyadari keresahan Medi.

Medi memandangi Azmi, terdiam sesaat memikirkan bagaimana laki-laki ini seolah bisa membaca pikirannya, sering sekali. Tapi ia tak pernah bisa bicara sepenuhnya jujur saat Azmi sudah bisa membaca pikirannya. Dan sudah cukup sampai sana, Azmi tak melanjutkan lagi. “Aku takut aja. Gimana respon kamu nanti setelah ketemu keluargaku. Terus gimana respon mereka setelah ketemu kamu?”

“Hmm,” Azmi sedikit bergumam. “Aku mungkin nggak bisa jamin gimana respon keluarga kamu setelah ketemu aku. Tapi aku pastiin akan bersikap sebaik mungkin. Soal gimana respon aku sewaktu nanti ketemu keluarga kamu, aku yakin mereka bakal memberikan impresi yang baik buat aku,” balas Azmi. “Aku suka, juga sayang sama kamu,” matanya kini menatap Medi meminta perhatiannya. “Jadi aku juga harus suka, juga sayang sama semua tentang kamu, lingkungan kamu, keluarga kamu.”

“Kenapa kesannya seperti dipaksakan?” tanya Medi. “Gimana kalau mereka ternyata nggak sesuai sama ekspektasi kamu, nggak sesuai sama bayangan kamu?”

Azmi tak mengerti mengapa Medi bertanya seperti itu. Apa keluarganya buruk? Tidak mungkin, ia sangat antusias untuk bertemu dengan mereka. “Aku nggak berekspektasi atau membayangkan apapun. Kamu jangan khawatir ya. Aku akan berlaku baik. Aku juga yakin mereka baik dan bisa menerimaku.”

Jujur saja Medi masih khawatir dengan semua yang ia tanyakan pada Azmi. Tapi ia berusaha mempercayai Azmi.

“Nanti kita mampir beli martabak dulu ya habis turun dari travel,” ujar Azmi menenangkan sambil merangkul Medi, melihat gadis itu masih terlihat resah. Ini hari pertamanya bertemu keluarganya setelah lebih dari setahun. Ia tak boleh mencemaskan apapun.

***

Akhirnya mereka sampai di Bandung. Mereka mampir ke toko oleh-oleh. Medi memberitahu Azmi bahwa Ayah dan Ibu sangat menjaga makanannya karena mereka memiliki diabetes. Medi menceritakan kegelisahannya pada Azmi. Dia menyadari bahwa orangtuanya memang pasti akan menua. Tapi ia khawatir jika belum menikah sampai orangtuanya sudah tidak ada. Hanya itu yang memotivasinya untuk cepat menikah. Terlebih orangtuanya sangat menyukai anak kecil. Ayahnya yang memiliki wajah seram pun akan luluh dengan seorang bayi. Ayahnya bisa menenangkan seorang bayi bahkan ketika Ibu kandung si bayi tak bisa melakukannya. Sama seperti yang terjadi pada Medi dan Naya tempo lalu. Bedanya, Ayahnya ini tidak kaku saat menghadapi makhluk kecil itu. Wajah seramnya akan berubah lembut ketika bertemu dengan anak kecil.

“Saat aku ngeliat Ayah bisa sedekat itu sama anak kecil, aku cemburu. Ya, aku dari kecil memang daddy’s little daughter. Bersepeda, membeli buku, dan melakukan banyak hal dengan Ayah. Tapi setelah aku beranjak dewasa, yang ada bukan rasa cemburu. Tapi aku pengen suatu hari nanti Ayah begitu pada cucunya sendiri. Aku ngebayangin, sama anak tetangga aja Ayah bisa sesayang itu, bagaimana dengan cucu sendiri,” cerita Medi. “Cuma itu yang bikin aku pengen cepet nikah. Aku nggak tahu, gimana kalau Ayah atau Ibu pergi sebelum aku bisa kasih cucu. Mungkin aku yang sejak awal ngerasa nikah itu berat, nggak akan pernah nikah. Untungnya mereka nggak pernah menuntut aku untuk cepat nikah. Mereka orangtua yang mengerti, apa yang mau aku capai sebelum menikah. Dan mereka mendukung itu. Ya walau sesekali juga mereka nagih kapan nikah, nggak mau aku nikah terlalu tua,” pungkas Medi.

Azmi sendiri cukup tersentak saat mendengar Medi tak berniat menikah. Namun ia berusaha memahami dengan merangkul dan mengelus pundak wanitanya itu. “Kamu tenang aja. Ada aku yang siap kapanpun kamu siap,” ujarnya sambil tersenyum tipis.

Medi balas tersenyum. Kata-kata Azmi itu membuatnya tenang. Walaupun juga ia merasa bahwa lelaki itu pantas mendapat yang lebih baik darinya. Ia merasa bersalah sudah meragukan Azmi, semua janji yang ia utarakan tak pernah terkesan sebagai gombalan belaka bagi Medi sekalipun ia tak menghiraukannya. Selalu Azmi lontarkan dengan paras wajah yang serius.

Azmi yang mengetahui Ayah dan Ibu memiliki diabetes, akhirnya membeli martabak telur, dua porsi yang cukup besar.

Azmi yang tadinya sangat percaya diri, kini nyalinya menciut ketika dia sudah tepat berada di depan rumah orangtua Medi. Ditambah Medi bercerita bahwa Ayahnya cukup seram. Ini pertama kalinya ia mengunjungi orangtua pacarnya, bahkan sampai jauh-jauh ke luar kota. Ia memang sering membawa mantan-mantan pacarnya ke rumah, mengenalkan pada Papa Mama. Tapi ia tak pernah mau jika diajak pacarnya untuk menemui orangtuanya, sampai begitu juga pada Yudita, ketika ia sudah berusaha untuk serius dalam berhubungan.

Mendengar Medi mengucap salam dari luar pintu yang setengah terbuka itu, Ibunya yang sedang berada di dapur segera lari menuju ke luar. Melihat wajah gadis satu-satunya yang sudah lama tak dilihatnya, beliau langsung berhamburan memeluk gadis itu. Medi yang tak kalah rindu balas memeluk Ibunya sangat erat dan cukup lama. Azmi yang sedari tadi berdiri di belakang Medi menatap haru fenomena ini.

Menyadari ada seorang laki-laki yang hampir diabaikan saking terlarut dalam suasana melepas rindu, Ibu Medi segera melepas pelukannya. Begitu pun dengan Medi.

“Eh, ini Azmi ya?” tanya Ibu.

Lihat selengkapnya