Sabtu harinya Medi mengantar Azmi ke shuttle travel karena Azmi akan kembali ke Jakarta lebih dulu. Kebetulan tempatnya tak jauh dari rumah Medi hingga mereka bisa pergi dengan berjalan kaki. Kalau jauh, mungkin Medi akan meminta tolong pada Denis atau Ayah untuk mengantar Azmi karena ia tidak bisa mengendarai motor.
“Gimana kesannya?” tanya Medi sambil menyunggingkan senyum manisnya dan menoleh ke arah Azmi yang berjalan di sampingnya dengan sedikit menengadah karena lelaki itu lebih tinggi darinya. “Setelah bertemu dengan Ayah, Ibu, dan Denis?”
“Baik. Aku suka bertemu dengan mereka,” jawab Azmi dengan jujur. “Tapi adikmu itu dingin banget ya?”
Medi tertawa kecil mendengarnya. “Aku rasa dia begitu setelah ditinggal aku pergi ke Jakarta dan dia mulai kuliah. Percaya nggak, dulu sewaktu kecil aku sering berantem sama dia?”
“Oh ya? Mungkin dia kangen temen berantem ya ditinggal kamu ke Jakarta?” tanya Azmi sambil ikut tertawa kecil.
Medi bergumam, “Mungkin begitu. Atau sedikit merasa, sekarang dia anak tertua di rumah dan satu-satunya. Dia harus bijak dan bisa menjaga Ayah juga Ibu. Dia menjadi lebih dewasa,” jawab Medi. “Sebenarnya dia nggak pengen kuliah dulu. Dia punya bakat di desain grafis dan dia cukup bisa mengandalkan itu untuk mendapatkan uang. Aku yang paksa dia buat mau kuliah.”
“Kenapa begitu?” tanya Azmi yang sebenarnya setuju tidak setuju dengan tindakan Medi itu. “Kalau menurutku, apa yang menurut kamu baik belum tentu baik untuk dia. Aku khawatir dia menjadi dingin justru karena ada sesuatu yang bikin dia nggak nyaman sejak mulai kuliah.”
“Iya aku setuju sama kamu. Kadang aku merasa bersalah dan cukup mengkhawatirkan dia,” ujar Medi yang sama sekali tak marah dengan pendapat Azmi. “Tapi bagiku saat itu, kuliah itu penting, Denis harus kuliah. Aku sampai cukup berkorban demi dia bisa kuliah. Saat itu aku baru lulus S1. Prestasiku di kampus menurun bahkan harus ambil satu semester lagi untuk menuntaskan skripsi dan aku terancam tidak dapat beasiswa lagi untuk kuliah apoteker. Denis mati-matian bilang kalau dia nggak seperti aku, dia nggak mungkin dapet beasiswa. Karena itu aku memilih untuk kerja dulu aja, biar tabungan Ayah dan Ibu untuk Denis kuliah. Biar aku yang nanti cari uang sendiri untuk kuliah apotekerku. Setelah lulus S1 pun, Ayah mulai nggak ambil project apapun. Aku yang larang karena Ayah yang mulai sering sakit. Keuntungan dari toko sebenarnya nggak seberapa dibanding ketika Ayah ambil project instalasi listrik ketika ada pembangunan suatu gedung. Dan projectnya itu nggak selalu Bandung, jadi aku khawatir,” cerita Medi selesai tepat ketika mereka sampai tujuan.
Azmi tak menjawab apapun selain memeluk gadis di hadapannya itu. “Semuanya akan berbuah manis. Pengorbanan kamu nggak sia-sia. Denis masih bertahan kuliah kan? Tinggal setahun lagi. Kamu juga akan lulus apoteker. Ayah dan Ibu juga terlihat sangat sehat.”
Medi tersenyum lebar mendengar semua kata-kata yang keluar dari mulut Azmi. “Ya, kamu benar,” jawabnya. “Walaupun aku agak khawatir bagaimana dengan PKPA-ku enam bulan ke depan,” ujar Medi masih mempertahankan senyumnya.
“I’ll be your number one supporting system,” ujar Azmi yang kemudian melepas pelukannya dan menatap lekat Medi lengkap dengan senyum dan lesung pipinya yang manis.
“Makasih ya,” jawab Medi sambil menepuk lengan Azmi, tepat setelah itu travel Azmi tiba. “Hati-hati. Kabari kalau sudah sampai. Salam untuk Ka Asti, Ka Andri, juga Naya.”
Azmi mengangguk lalu naik ke dalam travelnya. Medi masih menunggunya sambil travel itu berjalan. Azmi yang sudah duduk melambaikan tangan dari balik kaca mobil itu.
***
Medi kembali ke Jakarta pada hari minggu pagi. Biasanya jika pulang ke Bandung, ia kan kembali ke Jakarta di Minggu sore. Tapi karena ia rasa ia perlu mempersiapkan banyak tenaga untuk memulai PKPA-nya esok harinya, ia sudah kembali ke Jakarta di pagi hari. Dengan berat hati Ibu melepas Medi. Selalu seperti itu, sudah tiga tahun Medi merantau, selama tiga tahun juga akan ada drama Ibu yang hampir menangis ketika Medi akan kembali ke Jakarta.
Azmi dan Medi semakin jarang bertemu sejak Medi mulai PKPA. Azmi yang menjanjikan akan sering berkunjung ke apartemen, ternyata sudah dua bulan ini tak sempat berkunjung. Tesisnya sedang benar-benar butuh perhatian. Medi mengerti, mereka saling mengerti. Mereka tak pernah absen untuk saling telepon di malam harinya, pukul 11 malam saat Medi sudah selesai dengan aktivitasnya sehari-hari atau di pagi hari ketika mereka sama-sama akan memulai aktivitas. Tidak akan lama-lama karena pekerjaan masing-masing sudah menanti. Mereka biasa video call untuk waktu yang cukup panjang di akhir pekan, sambil masing-masing mengerjakan tugasnya.
“Bagaimana dengan PKPA-nya?” tanya Azmi ketia mereka sedang video call di akhir pekan.
Medi mulai lesu mendengar pertanyaan itu. “Ini belum seberapa sih. Karena aku PKPA terus kerja di tempat yang sama. Jadi aku nggak perlu diburu-buru di perjalanan buat datang ke tempat kerja. Aku PKPA di departemen QA, kerja di QC. Jadi tinggal jalan ke gedung sebelah. Aku nggak tahu nih, minggu depan udah mulai PKPA di BPOM. Ngebayanginnya aku udah pengen belah diri dari sekarang.”
“You are so great! Semangat ya, Sayang. Aku nggak tahu harus bilang apa,” ujar Azmi.
Medi hanya balas tersenyum.
“Aku kangen banget sama senyum itu. Rasanya pengen aku cubit pipi kamu,” ujar Azmi sambil menyentuh layar laptopnya.
“Aku juga kangen sama kamu,” ujar Medi. Entah ia benar-benar merindu atau hanya untuk menyenangkan Azmi.
“Minggu depan, deadline-ku harusnya udah selesai. Aku main ya kesana!” seru Azmi dengan antusias. “Kamu mau aku bawain atau masakkin apa?”
“Oh ya?” Medi pun cukup antusias. “Terserah kamu mau bawa apa aja,” jawabnya kemudian. “Eh, jangan deh. Aku aja yang masak,” lanjutnya, seketika dia ingat soal Asti yang ingin mengiriminya video tutorial untuk masak rendang. “Tapi, aku takut nggak berhasil. Kamu bawa makanan aja deh. Terserah kamu mau bawa apa.” Medi teringat bahwa memasaak rendang sangatlah sulit.
Azmi tertawa sangat puas melihat respon Medi. “Kamu antusias banget ya mau disamperin aku? Segitu kangen kah?” tanya Azmi menggoda.
“Apaan sih? Enggak kok. Kan repot nanti kalau masakanku gagal terus kita nggak ada stok makanan,” ujar Medi. “Udah ya, udah sore. Aku harus siap-siap buat besok. PKPA pertamaku di apotek,” ujar Medi yang sejujurnya sedikit gelisah akan selelah apa nantinya.
“Oke. See you. Ingat, tetap jaga kesehatan ya,” ujar Azmi yang kemudian mereka sama-sama memutus koneksi telepon mereka.
Setelah itu Medi segera menelepon Asti dan menceritakan rencananya di minggu depan bahwa ia ingin memasakkan rendang untuk Azmi. Mendengar itu, Asti ikut antusias. Ia menjanjikan Medi untuk mengirim videonya di hari Rabu. Ia akan siap-siap untuk membeli bahan-bahannya besok. Semoga saja Naya tidak rewel sehingga bisa ditinggal sejenak untuk masak rendang sekaligus membuat video.
***
Azmi berjanji pada Medi untuk datang di hari Sabtu. Tapi teman lama di kantornya meminta tolong dan ingin bertemu dengan Azmi. Azmi sempat menolak, tapi Medi bilang pada Azmi untuk menemui temannya saja, siapa tahu ia memang benar-benar butuh bantuan. Azmi bisa datang di hari minggu. Kebetulan Medi belum yakin dengan rendang yang dibuatnya, bumbunya tidak meresap sempurna dan dagingnya masih cukup keras. Ia ingin mengulangnya lebih dulu.
Minggu pagi, Medi sudah bangun sejak dini hari. Ia tidak ingin gagal kali ini. Pukul 8 pagi, masakkannya sudah selesai, tinggal ia cicipi. Tapi belum sempat mencicipi, ia mendengar suara pintu diketuk. Ia segera berlari menuju pintu apartemennya. Dan setelah dibuka, ternyata itu adalah Azmi. Medi cukup terkejut karena Azmi datang sepagi ini.
Masih dengan mata sipitnya yang membulat dan mulut yang menganga, lelaki di hadapannya itu memeluknya cukup erat hampir membuatnya sesak.
“Argh, aku kangen banget sama kamu!” seru Azmi.
Medi tak membalas pelukannya karena ia masih terkejut. Lidahnya pun membeku tak menjawab apapun.
“Kamu kok pakai celemek. Lagi masak ya?” tanya Azmi.
Medi hanya menggeleng. Ia tak ingin Azmi mencicipi makanannya lebih dulu dibanding dia.
“Ini harum apa ya?” tanya Azmi yang segera menuju dapur bahkan sebelum Medi mempersilakan masuk.
“Harum apaan sih? Aku bahkan belum mandi,” ujar Medi terus terang untuk mendistraksi Azmi agar mengurungkan niatnya untuk menuju ke dapur.
Azmi berhenti sejenak mendengar kalimat terakhir Medi. “Oh ya?” tanya Azmi sambil tertawa kecil. “Tapi harumnya bukan dari kamu sih, dari dapur,” ujar Azmi yang kemudian melewatkan Medi dan tetap pergi ke dapur.
Kompor yang masih menyala kecil dan wajan dengan beberapa potong daging di atasnya sukses mengalihkan perhatian Azmi. Medi sudah benar-benar pasrah dengan apa yang akan Azmi lakukan berikutnya. “Kamu masak rendang ya? Wah, ini masakan favorit aku.”
Medi mengangguk ragu. “Aku belum cicipi. Kamu jangan cicipi sebelum masakan favorit kamu itu jadi yang paling nggak enak di dunia.”
Azmi mengabaikan kata-kata Medi lantas meniup kecil sesendok daging di tangannya lalu memasukkan sesuap daging dari wajan itu ke dalam mulutnya.
Medi kembali pasrah melihat masakkan hasil eksperimennya sudah dicicipi Azmi terlebih dahulu. “Kamu nggak boleh niup makanan. Karbondioksida yang keluar dari mulut kamu berubah jadi asam karbonat ketika bercampur sama panasnya makanan. Terus makanan yang kamu makan membawa asam karbonat yang berbahaya buat lambung juga jantung,” jelas Medi yang jengkel dengan Azmi.
“Oh ya? Sama kayak kalau aku minum minuman berkarbonasi?” tanyanya yang gemas dengan sikap Medi jika sudah kesal.
“Udah ah. Kamu orang Metalurgi kan? Bukannya kimia juga jadi basic ilmu di Metalurgi juga ya?” ujar Medi. Ia teringat dengan temannya di Bandung yang mengambil jurusan Teknik Metalurgi. Dulu ia sempat hampir mengambil bidang Kristalografi untuk tugas akhirnya sebelum beralih ke Formulasi Sediaan Tablet, mengingat dosen pembimbingnya adalah Ahli Kristalografi di Indonesia. Ia yang sama sekali buruk di Kristalografi dan tidak mengambil kuliah itu sebagai mata kuliah pilihan, mau tidak mau sedikit belajar dengan temannya yang mengambil Metalurgi. Penerapannya di Farmasi memang sudah pasti berbeda, tapi setidaknya ia paham dasarnya. “Gimana rasanya?” tanya Medi khawatir.
Azmi masih terus mengunyah dan memutar lidahnya ke segala arah. “Enak kok, bumbunya meresap sempurna.”
“Benar?” tanya Medi masih ragu. Ia memutuskan untuk mengambilnya sendiri dari wajan. Lalu di cegah Azmi yang kemudian mengambil wadah kotak makan di rak piring Medi. Ia memasukkan semua daging dan semua bumbunya ke dalam kotak makan itu. Membiarkannya terbuka agar panasnya tetap menguap.
“Kamu bikinnya sedikit. Aku mau bawa pulang semuanya,” ujar Azmi. “Kamu makanan makanan yang aku bawa aja tuh. Ibu bilang kamu suka oseng kulit melinjo sama terong balado. Aneh banget sih makanan kesukaan kamu. Tapi aku sudah buatkan.”
“Oh ya?” ujar Medi penasaan dengan rasanya. Tapi ia jauh penasaran dengan rendang yang ia buat. Hingga ia tetap mengambil sepotong daging pada kotak makan itu dan melahapnya. Ketika sudah di dalam mulutnya, bumbunya memang sudah meresap sempurna, tapi dagingnya masih cukup alot. Medi lantas mengerutkan keningnya, heran mengapa Azmi bisa menelan masakan itu. Ia segera memuntahkan masakannya dan membuangnya ke tempat sampah. Matanya mulai berkaca-kaca meratapi kegagalannya.
“Sudah sudah, jangan nangis. Gini aja kok nangis sih,” ujar Azmi sambil mengelus pundak Medi.
Mendengar kata-kata itu, airmata Medi justru lolos.
“Ini bisa diperbaiki kok,” ujar Azmi yang kini memeluk Medi. “Udah mandi sana. Aku aja yang tanya Uni gimana memperbaikinya.”
“Aku masak sedikit biar ada daging cadangan kalau yang ini gagal. Aku sudah gagal dua kali. Tapi kamu terlalu cepat datangnya,” ujar Medi masih sesenggukan sambil melepas pelukan Azmi.
“Iya, maafin aku ya,” ujar Azmi masih mengelus pundak Medi yang bergetar karena menahan tangis.
Azmi hampir tak menyangka Medi akan sesedih itu karena kegagalannya kali ini. Ia merasa bersalah karena menanggapinya dengan candaan sedari tadi.
Medi bergegas mandi. Setelah mandi dan berganti pakaian, mereka makan bersama. Azmi sudah menggelar masakan yang ia bawa di meja makan Medi. Begitu pun dengan rendangnya. Saat Medi coba, ternyata dagingnya sudah empuk. Ia yang penasaran, langsung bertanya pada Azmi. Azmi masih bercanda dengan tidak ingin memberitahunya. Tapi melihat mata Medi yang kembali berkaca-kaca, ia memberitahu Medi bahwa Medi hanya perlu memasaknya sedikit lebih lama. Sebenarnya Azmi pesan rendang secara online, lalu mencampur bumbu pada rendang Medi ke dalam rendang yang ia pesan. Sedangkan rendang buatan Medi, masih di kotak makan tadi dan ia masukkan ke dalam tasnya. Karena mustahil membuat dagingnya menjadi empuk hanya dengan beberapa menit ditinggal mandi oleh Medi. Untungnya Medi tidak curiga karena bumbu rendangnya sudah tercampur dengan rendang yang Azmi beli.
“Ini pasti pertama kali kamu masak oseng kulit melinjo sama terong balado kan? Kok bisa enak banget sih?” tanya Medi penasaran dengan kemampuan memasak Azmi yang luar biasa. “Kamu harus buka restoran suatu hari nanti. Soalnya kamu bisa masaka apa aja.”
“Aku memang berencana begitu. Nanti ya kalu kita sudah menikah. Kamu bantu aku,” ujar Azmi.
Medi sedikit tersedak mendengar kata menikah.
Azmi mengerti, Medi selalu begitu ketika sudah membicarakan soal pernikahan. Seolah belum siap, tapi tidak juga menentang apa yang Azmi bicarakan. “Kamu tahu nggak kalau aku pernah ikut audisi masterchef?”
“Oh iya?” tanya Medi yang benar-benar terkejut.
“Tapi nggak lolos tepat satu tahap lagi sebelum masuk ke galeri. Itu sewaktu aku baru lulus S1 dan menunggu panggilan pekerjaan,” cerita Azmi. “Tapi beneran yang ini enak?” tanya Azmi. Ia tak begitu yakin karena ia tak pernah mencoba masakan itu sebelumnya. Jadi ia tak punya standar bagaimana rasa yang enak. Ibu membuatkan untuk Medi ketika mereka ke Bandung. Ia hanya mencoba sedikit dan lidahnya masih merasa asing dengan makanan itu.
“Enak, cuma kurang pedes aja,” ujar Medi.
“Ibu bilang kalau kamu pernah tifus karena bener-bener gila sama makanan pedes. Jadi aku bikin itu nggak terlalu pedes.”
Medi hanya mengangguk menanggapi Azmi. Kenyataannya memang seperti itu. Toleransi lidahnya terhadap pedas sedikit berkurang setelah tifus. Ia lebih mudah kepedesan terhadap makanan yang dulu ia anggap biasa saja. Dan ia khawatir jika perutnya kembali dipaksakan dengan makanan pedas. Tapi baginya, masakan Azmi itu khas masakan Sumatra yang pedasnya mengandalkan rempah, dan menueruh Medi hanya pedas dari aromanya. Berbeda dengan masakan Sunda yang pedasnya benar-benar pedas dari lada atau cabai yang bisa membuat luka di lambung seseorang jika tak terbiasa dengan masakan pedas.
Mereka menghabiskan waktu seharian bersama dengan menonton beberapa film Netflix. Sampai tepat pukul delapan malam. Medi mengingatkan Azmi untuk pulang. Ia sendiri pun lelah dan ingin istirahat. Ia sudah merasakan seminggu PKPA di apotek dan itu membuatnya jauh lebih lelah dibanding dua bulan kemarin PKPA di industri dimana ia juga bekerja di sana. Medi menceritakan semuanya pada Azmi. Ia khawatir, bahkan mungkin nanti sekedar telepon atau berkirim pesan saja tidak sempat karena ia sudah terlalu lelah dengan aktivitas sehari-harinya.
Azmi mencoba untuk memahami. Ia pun menjanjikan untuk lebih sering mengunjungi apartemen Medi di setiap akhir pekan. Tesisnya memang cukup menyibukkan dirinya saat ini. Tapi ia sadar, Medi cukup butuh dukungan darinya.
***
Tiga bulan akhirnya terlewati. Azmi benar-benar membantu Medi melewati hari-harinya yang sulit. Dengan porsi yang tepat bagi Medi, tidak terlalu mengganggu, tapi juga selalu ada ketika Medi merasa butuh seseorang. Seringkali Medi tiba-tiba menangis hanya karena terlalu lelah. Ia tak ingin tubuhnya tumbang, tapi ia benar-benar tak bisa mengurangi aktivitasnya. Tak selalu ingin Medi tumpahkan pada Azmi, tapi Azmi selalu menyemangatinya ketika ia sudah menangis atau hampir menangis.
Minggu ini adalah minggu pelantikan apoteker dimana Medi akan diambil sumpahnya. Ia hampir tak percaya bahwa ia sudah melewati semuanya. Ayah, Ibu dan Denis akan hadir di acara pelantikkannya. Karena apartemennya tidak akan cukup untuk mereka tinggali dan juga cukup jauh dari kampus, Medi berusaha mencarikan hotel di sekitar kampus. Tapi Azmi menawarkan keluarga Medi untuk tinggal di rumahnya saja atau di rumah Asti di samping rumah Azmi. Di sana ada kamar yang lebih layak untuk Ayah dan Ibu tinggal, bekas kamar orangtuanya yang tidak pernah direnovasi oleh Asti. Denis bisa tidur bersama Azmi. Medi bisa menempati bekas kamar Asti. Ia juga akan tinggal di sana, karena bisa-bisa riasan di hari pelantikannya sudah luntur jika memaksakan berangkat dari Jakarta ke Depok.
“Mama mau ngomong nih sama kamu,” ujar Azmi yang sedang bermain ponselnya.
Medi cukup terkejut. Ia sedang membereskan barang-barang dan semua keperluan untuk keperluan besok. Ia sudah berada di rumah Azmi. Hari ini keluarganya juga akan sampai. Denis menyetir mobil Ayah dari Bandung. Medi meminta mereka untuk langsung ke Depok saja agar tidak dua kali lelah di perjalanan.