Medi dan Azmi kembali pada rutinitasnya masing-masing. Ayah dan Ibu sudah kembali ke Bandung. Denis kini tinggal bersama Medi karena Denis sudah akan mulai PKL. Mereka menyewa apartemen dengan dua kamar. Akan lebih murah biayanya dibanding mereka menyewa sendiri-sendiri. Tempat Denis PKL tak jauh dari apartemen Medi. Denis membawa motornya dari Bandung. Kemarin ia mengantar Ayah dan Ibu pulang. Lalu esok harinya kembali ke Jakarta dengan membawa motornya. Padahal Ayah menawarkan diri tak perlu diantar ke Bandung. Motornya nanti bisa Ayah antar ke Jakarta atau dipaketkan. Tapi Medi, Denis dan Ibu menentang keras. Mereka tidak akan tega membiarkan Ayah menyetir sendiri.
Asti dan keluarga pun sudah kembali ke BSD. Mama dan Papa memutuskan untuk menginap lebih lama di BSD karena mereka masih kangen dengan cucu semata wayangnya. Mama juga menawarkan diri untuk membantu mempersiapkan pernikahan Azmi dan Medi. Mama memahami kesibukan Azmi dan Medi, karena itu beliau ingin membantu. Hal ini pun membuat Medi menjadi lebih dekat dengan Mama. Ia masih canggung sebenarnya. Tapi ketika ia memutuskan untuk membuka hati kepada Azmi. Ia juga harus membuka hati untuk keluarganya. Mereka keluarga yang sangat baik, Medi hanya belum terbiasa.
Mama ingin pernikahan mereka diselenggarakan secepet mungkin. Namun Medi memikirkan kesibukkan Azmi saat ini. Ia tak ingin urusan soal pernikahan membuyarkan konsentrasi soal tesisnya. Akhirnya diambil kesepakatan bahwa mereka akan menyelenggarakan hari pernikahan enam bulan lagi.
Mama dan Papa tidak bisa tinggal di rumah Asti sampai enam bulan ke depan. Mereka harus kembali ke Padang dua mingu setelah pelantikan apoteker Medi. Walaupun begitu, Mama Papa serta Ayah dan Ibu tetap membantu terselenggaranya hari besar itu. Bahkan cenderung mereka yang menyiapkan segalanya karena Azmi dan Medi sibuk dengan rutinitasnya. Azmi masih dengan tesisnya. Medi sibuk mempersiapkan diri untuk kenaikan jabatan.
Kini aktivitas Medi hanya bekerja. Hidupnya sudah kembali normal. Kini yang menjadi alasannya mengunjungi Depok bukan lagi kuliah, tapi Azmi. Ia pun tak bosan lagi di apartemen karena sekarang ada Denis. Denis tak sedingin itu, mereka sering mengobrol soal banyak hal.
Namun, Medi yang sudah biasa beraktivitas penuh sejak pukul tujuh pagi hingga sebelas malam, merasa ada yang kurang dengan aktivitasnya saat ini.
“Aku sudah nonton series ini semua episode. Tapi kok rasanya ada yang mengganjal ya?” ujar Medi kepada Azmi dan Denis seusai mereka menonton suatu series di Youtube berjudul Kenapa Belum Nikah di ruang tamu apartemen Medi.
“Kenapa memangnya?” tanya Azmi.
“Alasan mereka semua soal ‘kenapa belum nikah?’ itu seakan-akan disebabkan sama trauma. Kenapa nggak ada yang memang prinsip sejak awalnya gitu, merasa kalau memang belum saatnya nikah. Bukan karena trauma-trauma.”
Azmi tertawa mendengarnya. “Kayak kamu gitu ya maksudnya.”
“Hmm. Ya, bisa jadi,” Medi ikut tertawa mendengarnya.
Denis yang duduk di bawah sambil mengerjakan laporannya masih memperhatikan mereka.
“Untungnya kamu udah ga punya alasan lagi soal kenapa belum nikah,” ujar Azmi. “Iya kan?” tanya Azmi menekankan.
Medi hanya bergumam sambil mengangguk kecil.
“Yakin, alasan Ka Medi kemarin-kemarin nggak mau nikah itu karena prinsip? Bukan trauma juga?” tanya Denis.
“Apan sih, Dek,” ujar Medi pada Denis dengan sedikit membentak.
“Kenapa emangnya?” tanya Azmi penasaran.
“Aku balik ke kamar dulu ya. Laporannya perlu aku kelarin hari ini. Aku perlu fokus,” ujar Denis yang kemudian membereskan laporannya dan meninggalkan mereka.
“Aku nggak ngerti maksudnya Denis,” ujar Azmi.
“Aku juga nggak ngerti.”
“Jangan sembunyiin sesuatu dari aku,” Azmi merasa ada yang tidak beres.
“Mungkin apa yang ada di pikiran Denis sama kayak yang ada di pikiranku. Prinsip itu suatu yang sangat mendasar. Sulit untuk menjadi alasan seseorang kenapa belum menikah. Sedangkan trauma suatu yang sangat membekas. Jadi gampang saja buat film dengan premis terkait kenapa belum nikah dengan alasan trauma. Apalagi ini filmnya film pendek. Akan terlihat masuk akal dan mudah menggiring opini penonton dibanding dengan alasan prinsip,” jelas Medi.
“Oh. Iya juga sih,” respon Azmi menerima perspektif Medi yang memang masuk akal.
“Oh iya. Aku lagi tertarik sama satu Youtube Channel,” ujar Medi mengalihkan pembicaraan.
“Oh iya? Apa?” tanya Azmi antusias.
“Namanya Love Yourself. Belum begitu lama, tapi kontennya bagus-bagus,” cerita Medi. “Terus ternyata mereka open recruitment buat jadi content writer dan konstributor. Aku udah coba kirim tulisan ke mereka. Terus kemarin mereka ngontak aku buat jadi konstributor salah satu konten mereka.” Medi sangat antusias.
Berbeda dengan Azmi, dia tampak tak antusias mendengar cerita itu. Bukan ingin melarang, tapi heran dan mengkhawatirkan kesehatan kekasihnya itu jika terlalu banyak aktivitas.
“Kamu nggak suka ya?” tanya Medi.
“Bukan nggak suka. Kamu nggak tahu betapa khawatirnya aku sewaktu kamu ngejalanin kuliah sambil kerja kemarin. Sekarang mau nambah aktivitas lagi. Aku takut kamu kenapa-napa. Sebentar lagi kita nikah, kamu harus siapin stamina untuk hari H nanti,” jelas Azmi.
“Tapi aku bosen Mi sama rutinitas aku yang sekarang. Kerjaanku gitu-gitu aja. Jadi konstributor di sama nggak terikat kok. Setelah satu konten ini juga belum tentu aku jadi konstributor untuk konten yang lainnya. Boleh ya?” pinta Medi memohon.
Azmi tak bisa melarang lagi. Mudah sekali luluh dengan wanita di hadapannya itu. “Oke deh. Tapi janji ya sama aku, jangan terlalu overactivity.”
Medi tersenyum lebar mendengar dukungan dari Azmi. “Iya, Sayang,” ujarnya lalu kini memeluk Azmi.