Madeleine

Nurina Maretha Rianti
Chapter #9

Internalized Misogyny

Noah mengadakan pesta kecil-kecilan untuk merayakan setahun channel youtubenya di kantor Love Yourself. Kantor itu memang kelihatan kecil. Tapi mereka memiliki ruang seperti aula yang cukup besar di lantai dua. Semua konstributor diundang, juga boleh membawa seorang teman, saudara, atau pasangannya. Tadinya Medi ingin mengajak Denis. Ia ingin adiknya mengenal orang-orang di Love Yourself. Kadang Medi khawatir dengan Denis dengan sikap dinginnya. Ia takut adiknya sedang mengalami tekanan dalam hidup dan tak bisa bercerita bahkan kepada dirinya. Ia juga ingin memberikan kesempatan untuk adiknya kembali mengembangkan bakatnya. Noah bilang, ia ingin menambah satu editor lagi. Namun Denis menolak, ia ingin fokus pada kuliahnya, ia ingin segera lulus. Ia juga menolak untuk ikut ke acara pesta itu dan menyarankan Medi untuk mengajak Azmi saja.

Tadinya Medi juga ingin mengajak Azmi, tapi ia takut kalau tunangannya itu sedang sibuk dengan tesisnya. Akhir-akhir ini Azmi tidak seintensif dulu dalam menanyakan kabar Medi. Medi berprasangka, mungkin Azmi sedang sibuk dengan tesisnya. Namun ia coba untuk mengajak Azmi. Rasanya akan lebih salah jika ia meminta izin untuk menghadiri acara itu tanpa mengajak Azmi. Soal Azmi bisa menemaninya atau tidak, ia tak akan mempermasalahkan. Tanpa disangka Medi, Azmi ternyata menerima tawaran itu, bahkan ia cukup antusias. Katanya ia butuh refreshing dari tesisnya yang melelahkan. Mengetahui Azmi antusias, Medi tambah senang mendengarnya.

Noah mempersiapkan pesta itu cukup matang. Ia membentuk panita bersama pegawai-pegawainya. Sederhana namun elegan dan Noah juga menjadikan pesta itu sebagai malam keakraban antara pegawai tetapnya juga semua konstributor yang bahkan mungkin di antara mereka belum pernah saling bertemu. Ia meminta semua yang datang untuk membawa kado untuk acara tukar kado. Kado-kado itu dikumpulkan di awal acara dan acara tukar kadonya akan menjadi penutup acara.

Noah juga menyiapkan panggung kecil dan panitianya membentuk band. Noah tak menyangka kalau pegawai-pegawainya juga memiliki bakat di bidang musik. Mereka juga mempersilakan bagi setiap konstributor jika ingin menyumbang lagu.

Juni datang sendiri namun ia bisa berbaur dengan yang lain. Semua orang di sana kenal dengan Juni. Tentu saja, hampir semua konstributor dan pegawai di sana pernah berkonsultasi dengan Juni. Ada yang sekedar curhat biasa di kantor. Ada yang secara profesional sampai datang ke rumah sakit dimana Juni praktik. Azmi juga mencoba untuk berbaur, termasuk dengan Juni. Pada dasarnya, Azmi memang mudah akrab dengan orang baru.

“Aku mau sumbang satu lagu,” ujar Juni yang kemudian berdiri dari kursinya ketika MC menanyakan apakan ada di antara mereka yang ingin menyumbangkan sebuah penampilan. MC-nya tidak membatasi, boleh lagu, musikalisasi puisi, atau stand up komedi. Sebelum Juni, ada salah satu konstributor yang maju dengan materi stand up komedinya. Semua orang menunjuk orang itu karena ia cukup lucu. Dan benar saja, ia berhasil membuat semua orang tertawa dengan materi yang spontan.

Juni maju ke atas panggung kecil itu dan mengambil gitar yang ada di sudut panggung. Ia mulai duduk sambil membenarkan posisi stand mic-nya senyaman mungkin. Hingga akhirnya ia mulai memetik gitarnya. Tidak semua orang mengetahui lagu itu. Tapi semua terlihat menikmati. Berbeda dengan Medi, ia jelas tahu lagu itu.

Madeleine, what’s up with those tears in your eyes

Suara Juni ternyata sangat merdu.

Medi senyum-senyum sendiri melihat penampilan Juni. Ia ikut bersenandung kecil karena ia sangat hafal dengan liriknya. Berbeda dengan Azmi, ia tak fokus pada penampilan Juni. ia terus memperhatikan Medi yang bahagia melihat penampilan Juni. Ia jarang sekali melihat Medi tersenyum bahagia selepas itu. Ia senang, tapi jauh di dalam hatinya, ada perasaan yang mengganjal. Ia tak henti menatap Medi dan Medi tak menyadari apa dilakukan Azmi sedari tadi hingga lagu Juni selesai. Ia berdiri dan memberi tepuk tangan yang paling keras.

“Kita pulang sekarang,” bisik Azmi yang sudah berdiri di samping Medi. Tanpa menunggu jawaban Medi, ia langsung menarik lengan Medi untuk ke luar ruangan. Bahkan Medi tak sempat berpamitan dengan yang lain. Mereka pun tak memperhatikan karena masih kagum dengan penampilan Juni. Berbeda dengan Juni. Lelaki itu melihat Medi yang ditarik ke luar ruangan oleh Azmi. Ia berusaha mengabaikan karena semua mata sedang menuju ke arahnya.

“Kenapa?” tanya Medi yang kini sudah berada di pintu keluar Kantor Love Yourself bersama Azmi.

“Aku nggak suka cara Azmi mandang kamu,” jawab Azmi. Walau ia memperhatikan Medi, ia juga sesekali melihat ke arah Juni yang pandanganya tak lepas ke arah Medi sepanjang lagu yang ia nyanyikan.

“Dia cuma nyanyiin lagu yang kebetulan judulnya sama kayak nama aku,” bela Medi.

“Tapi dia suka sama kamu. Kamu nggak ngerti?” tegas Azmi yang sama sekali tak menerima pembelaan Medi.

“Dia udah punya anak dan istri,” ujar Medi kembali memberi pembelaan.

“Lagi proses perceraian kan? Memangnya aku nggak tahu,” ujar Azmi. Selama acara pesta tadi, Azmi berbincang cukup banyak dengan Noah. Noah pun bercerita banyak soal Juni bahkan sampai proses perceraian yang akan Juni hadapi. Sengaja Azmi yang bertanya banyak, karena ia penasaran dengan sosok Juni.

“Oke, kalau memang dia suka sama aku,” Medi tak lagi memberi pembelaan. “Aku juga nggak suka sama dia. Aku sama dia cuma teman. Aku suka ngobrol sama dia karena dia psikiater, aku bisa sambil konsultasi,” jawab Medi.

“Kita pulang sekarang,” ulang Azmi tak ingin melanjutkan perdebatan.

“Iya! Iya kita pulang. Tapi aku nggak mau pulang sama kamu,” jawab Medi yang kemudian mengeluarkan ponselnya untuk memesan ojek online.

“Aku antar kamu pulang,” terdengar sebuah suara memecah keheningan mereka. Secara serentak mereka beralih kepada sumber suara.

“Nggak usah, Jun. Aku sudah pesan ojek online,” jawab Medi yang kembali fokus pada ponselnya, memeriksa sudah sampai dimana ojek yang ia pesan.

Azmi mengepal tangan, menatap tajam ke arah Juni. Namun ia berusaha tenang. Sampai akhirnya ojek yang dipesan Medi sampai. Medi segera menghampiri ojek itu tanpa berpamitan kepada dua lelaki yang sedang bersamanya. Azmi masih diam di tempat sampai Juni menyadari tatapan tajamnya, dan Juni tetap tenang tak bergeming. Ingin sekali rasanya Azmi melayangkan tinju pada laki-laki di hadapannya ini. Tapi ia tak ingin memulai keributann. Ia memilih untuk pergi menuju dimana motornya diparkir.

“Kita bicara dulu,” ujar Juni tiba-tiba. Namun hal itu tak menghentikan langkah Juni. “Kalau kamu memang peduli sama calon istri kamu,” lanjutnya yang menghentikan langkah Juni.

“Soal apa?” tanya Azmi yang kini berbalik arah menghadap Juni.

“Di ruangan saya,” ujar Juni yang kemudian berjalan menuju ruangannya, diikuti oleh Azmi.

***

Juni menuju ruangannya, membuka pintu, dan menyalakan lampu. Ia mempersilakan Azmi untuk duduk. Suasana canggung terjadi beberapa saat di antara mereka. Tak ada yang membuka obrolan. Azmi sudah jelas tidak akan membuka obrolan karena yang mau bicara adalah Juni.

“Saya memang suka sama dia,” ujar Juni terang-terangan, membuat Azmi geram tapi ia berusaha meredam emosinya. “Tapi percuma, dia nggak akan pernah suka sama saya. Bukan karena keberadaan kamu, tapi karena profesi saya,” lanjut Juni memulai cerita.

“Apa maksudnya?” tanya Azmi tak mengerti.

“Saya dokter. Dia nggak suka dengan profesi dokter. Saya tahu tanpa dia harus cerita. Hanya dengan melihat caranya beropini,” ujar Juni. “Dia nggak suka dengan keadaan di Indonesia dimana masyarakat hanya memandang dokter dalam profesi di bidang kesehatan. Padahal ada apoteker yang lebih paham soal obat, ada perawat dan yang lainnya. Di luar negri, Malaysia saja yang dekat, masyarakat tahu kemana mereka harus konsultasi soal penyakitnya, kemana mereka harus konsultasi soal obat.”

Azmi masih tak mengerti.

“Kamu tahu dia seorang feminis?” tanya Juni sembari memperlihatkan ponselnya yang sedang membuka blog milik Medi. Medi mebahas banyak hal dari mulai sesederhana catcall sampai review film Mulan.

Azmi menerima ponsel Juni dan hanya men-scroll untuk membacanya scanning. “Hmm iya. Kebanyakan wanita yang berorientasi karir memang feminis. Nggak ada korelasinya sih, tapi kebanyakan begitu. Apa yang salah dengan seorang feminis?” ujar Azmi balik bertanya. Emosinya sudah mulai teredam.

“Memang nggak ada yang salah. Tapi ia justru terjebak pada internalized misogyny. Hingga akhirnya juga mengarah pada krisis identitas. Ia menganggap semua prinsip yang ada di pikirannya salah, tapi tidak bisa ia buang begitu saja. Cukup rumit buat dia sampai dia mengalami gangguan anxiety dan mengarah pada distimia, depresi ringan yang berkepanjangan.”

Mendengar istilah internalized misogyny yang dilontarkan Juni. Azmi diam sejenak mendapati tulisan berjudul internalized misogyny pada blog milik Medi. Ia membaca sedikit cuplikannya.

           Alih-alih feminis, sikapku justru mengarah pada internalized misogyny. Aku mendapatkan istilah misogini dari novel Kim Ji Yeong. Lalu aku cari tahu apa arti istilah itu di google. Cukup miris dan ada sedikit rasa sakit hati setelah tahu artinya. Bahkan salah satu filsuf ternama yang menganut misogini bilang, “Perempuan adalah bentuk cacat dari seorang laki-laki.” Mulanya aku paham istilah misogini sebatas yang tercatat di wikipedia. Hingga kemudian aku menonton salah satu video di channel youtube Gita Savitri Devi yang bilang ia terjebak dalam internalized misogyny karena sewaktu kecil ia lebih sering bermain bersama laki-laki dan menganggap lemah perempuan yang tidak bisa melakukan sesuatu, terlebih yang bisa dilakukan laki-laki. Aku cenderung seperti itu karena latar belakang yang aku alami.

Azmi penasaran apa maksud Medi dengan tulisan ‘latar belakang yang ia alami’. Ia teringat saat Medi yang seolah membela Yudita ketika Azmi mengira tidak-tidak saat Yudita meminta Azmi untuk segera menikahinya. Namun ia kembali pada Juni. “Ia tidak terlihat seperti itu,” jawabnya untuk pernyatan Juni soal gangguan anxiety dan distimia yang ia bilang itu adalah istilah untuk depresi ringan yang berkepanjangan.

“Memang. Ia menutupi semuanya. Berusaha berpikiran positif, bersyukur, tapi itu tak pernah mematikan distimianya, terlebih ketika ia sedang sendirian,” jelas Juni. “Ia punya trauma yang membuatnya terus-terusan seperti ini. Rasa feminisnya bermula dari bagaimana ia membenci laki-laki. Benci dari sisi sifat laki-laki, tidak menjadikan orientasi seksualnya menyimpang. Hingga tanpa sadar ia menetapkan laki-laki sebagai standar baginya untuk pencapaian terhadap sesuatu,” cerita Juni. “Ia harus lebih baik dari laki-laki, harus bisa melakukan apa yang bisa laki-laki lakukan, bahkan merasa tak terlalu butuh laki-laki dalam hidupnya. Itu juga membuat dia tak suka direndahkan, sesederhana apapun underestimate itu, ia tidak suka.”

Azmi masih terus mendengarkan sekalipun ada rasa tak percaya atas semua yang Juni lontarkan.

Lihat selengkapnya