“Ka, ada paket tuh,” ujar Denis setibanya Medi di apartemen.
Anak itu sedang sibuk dengan laporannya sambil membiarkan televisi tetap menyala walau ia tidak menontonnya. Ia jenuh mengerjakan tugas-tugasnya di kamar yang sesak. Kedua mata Medi langsung tertuju pada kotak di atas meja. Ia segera duduk di samping Denis dan membuka isinya.
Denis sama sekali tak penasaran dengan isinya. Ia sudah tahu bahwa itu dari Azmi. Namun ia ikut terkejut ketika kakaknya memukul pundaknya karena kaget dengan isinya.
“Apaan sih?” tanya Denis.
Medi tak menjawab hanya memperlihatkan gaun biru polos yang panjang dengan sebuah wedges. Dengan sebuah instruksi bahwa Medi harus menggunakan semua itu untuk makan malam nanti.
“Cuma baju sama sepatu aja, kaget banget sih. Biasa kali, apalagi Ka Azmi kan se-bucin itu sama Ka Medi. Nggak kanget aku kalau isinya begitu.”
Medi tertawa kecil mendengar tanggapan adiknya. “Tapi aku nggak pede pake baju kayak gini. Apalagi kalau bajunya kayak gini, berarti harus dandan kan?”
Denis melirik sekilas baju dan sepatu itu. “Itu masih manusiawi kali. Ka Azmi ngerti kalo Ka Medi yang bisa pakai baju yang cukup terbuka jadi dia kasihnya dress yang panjang. Terus tahu Ka Medi nggak bisa juga takut pake high heels, jadinya dikasih wedges. Itu bagus banget, pasti mahal. Dandan biasa aja kali, Ka Azmi juga udah suka.”
“Tumben cerewet kamu, Dek,” ujar Medi sambil mencubit hidung Denis dengan gemasnya.
Denis segera menyingkirkan tangan kakaknya yang mencubit hidungnya cukup keras. “Udah sana siap-siap. Keburu Ka Azmi dateng.”
Medi segera masuk ke kamarnya dan bersiap-siap untuk mandi dan berganti pakaian. Gaun dan wedges itu sangat cocok untuk dirinya. Ia terlihat anggun ketika bercermin. Namun kini ia bingung dengan riasan wajah dan rambutnya. Ia benar-benar tidak punya ide. Jadi ia hanya membiarkan rambut panjangnya terurai rapih dan riasan wajah yang natural.
Ia segera keluar dan Denis masih pada posisinya padahal ia hampir sejam bersiap-siap. Denis memandang Medi. Medi memperlihatkan senyumnya yang merekah. Denis hanya sebentar memperhatikan dengan wajah datarnya. Lalu kembali pada laporannya.
Melihat tanggapan adiknya, Medi kembali tidak percaya. Ia duduk dengan lemas di samping Denis. “Biasa aja ya? Duh, aku jadi malu pakainya. Apa bilang ke Azmi ya kalau aku nggak bisa pergi hari ini. Gimana kalau Azmi nggak suka? Gimana kalau orang-orang ngeliatnya aneh?”
“Udah pede aja. Ka Medi cantik,” ujar Denis singkat. Ia merasa bersalah karena responnya yang biasa. Tapi ia harus apa? Ia seseorang yang tak pandai mengekspresikan diri. Seharusnya Medi juga mengerti itu.
Belum sempat menjawab, mereka mendengar suara pintu diketuk.
“Itu pasti Azmi. Dek, bukain gih, aku malu. Aku nggak mau berangkat,” ujar Medi.
Denis tak menjawab apapun selain menuruti permintaan Medi.
Azmi sudah siap dan tidak sabar untuk pergi bersama Medi malam ini. Ia mempersiapkan senyum terbaiknya sebelum Medi membuka pintu lengkap dengan setangkai bunga mawar merah di tangannya. Ternyata yang membukakan pintu adalah Denis.
“Ka Medi nggak pede tuh. Dia nggak mau keluar,” ujar Denis to the point. Ia segera masuk kembali diikuti dengan Azmi.
Sampai di ruang tamu. Denis masih mendapati kakaknya yang gelisah. Ia tak terlalu peduli. Ia segera duduk dan kembali pada laporannya.
Berbeda dengan Denis. Azmi terpaku, rasanya ia belum pernah melihat Medi berpenampilan secantik ini. Medi semakin gelisah melihat Azmi yang hanya diam saja.
“Kok kamu diem aja sih?” tanya Medi. “Kita makan malam biasa aja aja ya. Aku ganti baju,” ujar Medi sambil beranjak dan ingin segera kembali ke kamarnya.
Azmi segera menahan Medi. “Jangan! Restorannya udah aku booking.”
“Tapi aku malu,” ujar Medi.
“Kenapa harus malu, coba?” tanya Azmi heran. “Kamu cantik, Sayang,” ujar Azmi jujur. “Rasanya ini pertama kalinya aku liat malaikat tapi nggak punya sayap.”
Medi hanya tersenyum kecil. Denis justru tertawa mendengar gombalan Azmi. Itu membuat Medi kembali gelisah.
“Denis, jangan kayak gitu dong. Kakak kamu cantik, kan?” tanya Azmi yang khawatir karena Medi kembali gelisah.
“Iya, iya. Aku minta maaf,” ujarnya sambil beralih menatap kakaknya. “Kakakku sudah pasti cantik lah. Aku ketawa gara-gara gombalan Ka Azmi,” ujarnya.
Medi ikut tertawa mendengar jawaban adiknya.
“Nah gitu dong. Kalau kamu ketawa terus percaya diri, kamu kan makin cantik,” ujar Azmi.
Medi akhirnya percaya diri. Mereka pamit pergi kepada Denis.
***
Azmi mengajak Medi untuk candle light dinner. Azmi tak ingin makan malamnya biasa saja. Ia membelikan gaun juga wedges yang cukup indah untuk Medi. Ia juga memilih restoran dengan nuansa yang mendukung. Ia bahkan meminjam mobil kakak iparnya untuk menjemput Medi. Tidak ingin Medi yang sudah berdandan cantik itu harus menaiki motornya. Tak banyak orang yang mereservasi restoran pilihannya saat itu. Membuat nuansanya menjadi lebih intim. Saat ia dan Medi sampai, mejanya sudah lengkap dengan menu yang Azmi pesan, lengkap dengan lilin aromaterapi di tengah-tengahnya. Kini mereka sudah duduk di bangkunya masing-masing.
“Buat kamu,” ujar Medi sambil menyerahkan sepucuk suat. Sedikit ragu, tapi ia rasa harus. Ia juga berpikir tidak akan apa-apa. Ia sudah yakin dengan Azmi. Dan ia rasa Azmi pun begitu.
“Apa ini?” tanya Azmi sambil membuka kertasnya dan melihat tulisan Dear My Future Husband sebagai judulnya. Itu membuatnya sudah tersenyum sebelum mulai membaca.
“Baca aja,” jawab Medi sambil terus memperhatikan paras Azmi yang membaca suratnya.
17 September 2019
Dear my future husband,
Aku penasaran sebenarnya, bagaimana rupamu? Apa kamu orang yang sudah lama aku kenal? Atau kamu memang benar-benar orang baru baru dalam kehidupanku? Aku tidak memikirkan siapa pun pada saat ini. Laki-laki yang pernah singgah di kehidupanku atau sekedar yang ada di pikiranku maupun idealnya seorang lelaki yang aku inginkan.