Azmi lelah dengan tesisnya, juga dengan Medi. Terlebih semalam Denis datang ke rumahnya hanya untuk melayangkan sebuah tinju lalu pergi kembali. Sebenarnya ia sedikit merasa bersalah, tapi ia juga merasa keputusannya sudah tepat. Sudah lama ia tak mengunjungi kakaknya di BSD. Ia juga merindukan keponakannya yang mungkin saat ini sudah banyak hal yang bisa ia lakukan. Ia harap, bertemu Naya bisa membuat suasana hatinya membaik. Tapi semua tergantung dengan suasana hati Naya, bisa saja justru membuatnya semakin pusing. Ia tak terlalu peduli. Ia ingin bercerita kepada kakaknya.
Saat sedang akan memanaskan motor, ponselnya berdering. Ada telepon masuk dari Ibu. Ia ragu sejenak untuk mengangkat. Tapi ia tahu bagaimana karakter Ibu Medi. Ibu pasti sedang mengkhawatirkan Medi. Dan bisa menjadi semakin khawatir jika ia juga tidak mengangkat teleponnya. Medi bisa sangat sedih kalau ibunya jatuh sakit hanya karena khawatir memikirkannya.
“Halo Bu,” ujar Azmi.
“Mi, kamu lagi sama Medi nggak?” tanya Ibu. “Denis nggak angkat telepon Ibu, kayaknya dia udah berangkat. Medi nomornya nggak aktif. Dia nggak biasa matiin hp-nya,” ujar Ibu yang terdengar khawatir.
Azmi tidak mungkin bilang bahwa ia sudah memutuskan hubungannya dengan Medi. Ia berpikir, lain waktu saja mengatakan hal itu jika suasannya sudah tenang. “Mungkin Medi sedang kerja, Bu. Dia lupa aktifin hp-nya. Aku baru akan bimbingan setelah itu bertemu sama Medi, Bu. Nanti aku kabari ya. Aku berangkat dulu,” ujar Azmi.
“Oh ya sudah. Hati-hati ya di jalan. Maaf Ibu mengganggu.”
“Iya, nggak apa-apa, Bu,” jawab Azmi yang kemudian mematikan ponselnya.
Mendengar hal itu, ia menjadi khawatir dengan Medi. Medi memang tidak pernah mematikan ponselnya, bahkan saat sudah tidur pun data selularnya tetap menyala. Analis-analis di kantornya ada sampai tiga shift, mau tidak mau ia akan tetap turun tangan jika terjadi masalah di shift tiga bahkan dini hari sekalipun. Itu hal yang kadang Azmi tidak suka dari Medi. Ia memang memiliki loyalitas tinggi terhadap perusahaannya. Tapi kalau sudah begitu, itu tidak professional menurutnya. Seharusnya jam kerja untuk kerja. Jam istirahat hanya untuk istirahat. Mungkin itu juga yang membuat perusahaannya tidak ingin melepas Medi ketika ia ingin resign untuk kuliah apoteker.
Azmi berteriak sembari menutup wajahnya. Ia tekankan pada dirinya lagi, ia tak peduli. Ia segera menyalakan motornya dan berangkat ke BSD. Ia tak akan menghubungi Ibu. Medi pasti akan langsung menelepon Ibu setelah tahu Ibu men-spam panggilan masuk berkali-kali.
Benar saja, sampai di BSD, keberadaan Naya cukup memperbaiki suasana hati Azmi. Gadis kecil itu sudah mau diajak bermain bersama Azmi. Awalnya ia menanyakan mengapa Medi tidak ikut bersamanya. Tapi gadis kecil itu segera mengerti saat Omnya mengatakan bahwa orang yang dicarinya itu sedang bekerja. Ia bermain bersama Naya sembari menceritakan semuanya pada Asti.
Asti cukup terkejut dengan cerita Azmi. Ia benar-benar tak menyangka akan seperti itu akhirnya. Ia memikirkan, bagaimana jika kedua orangtuanya hingga kedua orangtua Medi tahu. Mereka sangat antusias untuk menghadapi pernikahan mereka. Di tengah-tengah cerita Azmi, ada panggilan masuk di ponsel Asti.
“Kamu dimana, Sayang?” tanya Asti cukup panik kepada orang di seberang telepon. “Tunggu di Stasiun Cisauk aja. Aku tunggu di sana. Kabarin ya kalau udah sampai Tanah Abang,” ujarnya kemudian lalu mematikan sambungannya.
Azmi ikut panik dan bertanya siapa yang menelepon kakaknya.
“Barusan Medi yang telepon. Dia mau ke sini, udah sampai Manggarai. Aku mau jemput dia di Cisauk,” ujar Asti yang segera meninggalkan Azmi untuk bersiap-siap.
“Mau ngapain dia? Kenapa hubungi Uni? Jangan bawa dia kesini. Aku nggak mau ketemu sama dia lagi.”
Kalimat Azmi cukup membuat Asti terkejut sampai ia kembali ke ruang tamu ketika sedang memilih baju di lemari kamarnya. “Kamu pikir mau apa lagi selain minta mediasi? Aku ini kakak kamu. Nggak mungkin dia langsung nemuin kamu yang masih keras kepala. Kamu nggak mikir kalau sampai Mama Papa tahu, keluarga dia tahu? Pernikahan kalian udah tinggal beberapa minggu lagi.”
Azmi teringat Ibu yang tadi pagi meneleponnya. Medi sudah bisa menelepon Asti, berarti ponselnya sudah aktif dan ia akan menghubungi Ibunya. Apa ia juga akan bilang pada Ibunya kalau mereka sudah putus. Azmi tak peduli. Justru lebih baik jika ia sudah bilang sendiri. “Keluarganya nggak tahu? Uni pikir siapa yang bikin aku lebam gini kalau bukan adiknya yang tengah malem dateng ke Depok cuma buat nonjok aku?”
“Kamu pantes dikasih pelajaran biar kamu sadar. Kalau aku jadi Denis aku juga bakal lakuin hal yang sama,” ujar Asti dari balik kamarnya sambil berganti pakaian. Ia masih membiarkan Naya untuk main bersama Azmi.
“Uni,” rengek Azmi melihat Asti sudah di depan pintu membawa Naya bersamanya. “Saudaranya belain dia? Masa Uni juga ngebelain dia? Uni ini kakaknya siapa sih?”
“Nggak usah bertingkah kayak anak kecil. Kamu itu udah 27 tahun!” lama-lama Asti jengkel dengan sikap adiknya. Dan kejadian ini adalah hal yang paling menjengkelkan di hidupnya dalam menghadapi adiknya.
***
Asti pergi menemui Medi di Stasiun Cisauk. Lalu mereka pergi ke kafe terdekat. Medi sangat berantakan. Asti bersyukur Medi bisa sampai dengan selamat di Cisauk. Mereka sudah duduk dan memesan minunam. Asti masih menunggu Medi sampai gadis itu siap bercerita.
Medi masih sesenggukan sedari tadi. Ia mengalihkan pikirannya pada Naya yang menggemaskan. Meminta izin pada Asti untuk menggendongnya. Tapi Naya menolak. Gadis kecil itu sangat menyukai Medi, tapi kondisi Medi yang tampak kacau membuatnya takut dan hampir menangis.
“Kamu sedang sangat buruk, Medi. Naya aja tahu,” ujar Asti dan Medi sama sekali tidak tersinggung justru malah tertawa kecil, masih memperhatikan Naya. “Kamu kenapa? Cerita sama aku.”
“Azmi juga sudah cerita kan?” tanya Medi.
“Aku butuh cerita dari sudut pandang kamu. Anak itu masih belum dewasa bahkan sampai ia mau menikah,” jawab Asti.
Mendengar kata menikah, Medi kembali menangis. Asti mengelus-elus pundak Medi. “Udah ya nangisnya. Nanti Naya ikutan nangis. Lihat nih bibirnya udah ikutan manyun.”
Medi kembali tersenyum ke arah Naya dan tertawa kecil melihat betapa menggemaskannya Naya. Ia menata hatinya. Lalu mulai menceritakan semuanya. Benar-benar semuanya. Latar belakang sampa distimia yang kemungkinan ia alami, yang tak pernah ia ceritakan pada Azmi hingga akhirnya Juni yang menceritakan. Sampai Juni yang memberinya cincin, menawarkan diri untuk menggantikan posisi Azmi. Cincin itu kini ada di hadapan Asti. Medi sama sekali tak tertarik.
Mengetahui semuanya sudah separah ini. Asti menelepon Azmi untuk datang. Mereka harus bertemu. Asti juga menelepon Andri, memintanya untuk datang kesana juga. Andri harus membawa Naya, balita itu tidak baik ada di situasi yang seperti ini sekalipun ia belum mengerti sama sekali.
Andri sampai lebih dulu, lalu mengambil Naya dan membawanya jalan-jalan. Asti sudah menceritakan sedikit soal Azmi dan Medi, sehingga Andri tak banyak bertanya. Naya agak rewel karena masih ingin bertemu Medi. Medi menggendongnya sebentar. Lalu meyakinkan Naya agar ia mau ikut dengan Papanya. Andri juga mengiming-imingi akan membelikan mainan untuk Naya hingga akhirnya Naya mau ikut dengannya.
“Anak itu. Benar-benar suka sama kamu,” ujar Asti.
Medi hanya tersenyum. Ia juga sangat suka dengan Naya. Gadis kecil itu sangat menggemaskan.
Beberapa lama kemudian Azmi datang. Ia duduk diantara dua wanita itu. Memandang sekilas Medi yang tak berani menatap ke arahnya. Mereka masih saling diam, tak ada yang memulai pembicaraan.