Medi meminta maaf terlebih dulu pada Azmi dan juga meminta Azmi agar ia tak lagi singgung soal psikiater. Ia jamin ia akan baik-baik saja. Pernikahan mereka semakin dekat. Medi masih sibuk bekerja. Azmi masih libur semester, tapi ia masih sering ke kampus karena tesisnya tersendat. Ia tak ingin kelulusannya tertunda, jadi ia tetap mengerjakan tesisnya sekalipun sedang masa-masa libur. Denis sudah kembali ke Bandung karena kegiatan PKL-nya sudah selesai. Medi pun kembali ke apartemen sebelumnya, agar biaya sewanya lebih murah.
Hari ini tepat satu tahun perayaan hari jadi mereka. Azmi mengajak Medi untuk maraton nonton film seharian di tempat dimana mereka kencan pertama kali. Mengingat tempat itu, Medi sedikit ragu, tapi ia berusaha melupakannya, tidak ingin mengecewakan Azmi. Medi benar-benar menghindari pertengkaran kali ini. Namun, kali ini mereka mempersiapkan dengan sangat matang. Ada sekitar sepuluh film yang mereka siapkan dan ingin mereka tonton, dari berbagai genre, tidak hanya film-film baru, tapi juga film-film klasik.
Azmi akan menjemput Medi di apartemenya pukul 10 pagi. Medi sudah siap, hanya tinggal menunggu Azmi. Beberapa saat kemudian Ibunya menelepon. Ibu mengeluhkan soal sikap ayahnya kali ini. Ayah memakan banyak oleh-oleh yang dibawa Denis. Ibu bukan maksud melarang, tapi seharusnya Ayah ingat dengan penyakitnya. Ibu meminta Medi untuk menasihati Ayah.
“Ya sudah. Nanti Medi bilang Ayah. Ibu nggak usah banyak pikiran. Nanti malah Ibu yang sakit,” ujar Medi yang sesungguhnya juga cemas.
Setelah menutup telepon dari Ibu. Medi segera menelepon Ayah. Namun yang ia dapati, Ayah justru ikut marah. Bilang kalau Ibu dan Medi sama saja. Ayah ingin sekali-kali bisa makan enak. Ibu meminta Medi untuk menasihati Ayah karena Ibu tahu, Ayah hanya akan menurut pada Medi. Tapi sejujurnya Medi lelah, akhir-akhir ini Ayah juga kesal karena Medi ikut-ikutan melarang.
“Bukannya nggak boleh, Yah. Tapi jangan banyak-banyak. Kalau nanti kambuh, gimana?” ujar Medi. Belum selesai Medi bicara, Ayah sudah memutus hubungan teleponnya.
Setelah Ayah memutus teleponnya. Ia mendapat pesan dari Denis. Adiknya bilang bahwa ia kini sedang kabur dari rumah. Bukan kabur, hanya pergi dengan kesan yang tidak menyenangkan karena Ibu memarahinya. Oleh-oleh yang ia bawa ia maksudkan untuk teman-temannya. Mana ia tahu kalau Ayahnya juga suka dan makan banyak.
Kamu jangan kayak gitu. Ibu jadi kepikiran. Jangan malah pergi. Coba ngertiin aja Ibu. – Medi
Kamu nggak ngerti, Ka. Aku yang di sini sama mereka, bukan kamu. – Denis
Medi yang kesal dengan balasan Denis dengan refleks berteriak dan melampar ponselnya. Kini ia menangis terisak dan terjatuh seolah tak mampu menumpu badannya.
Azmi yang mendengar teriakan dari luar pintu apartemen Medi berusaha untuk membuka pintu itu. Dan ternyata pintunya memang tak terkunci. Ia mendapati ponsel Medi dibalik pintu yang sudah setengah hancur. Tak kalah terkejut dari itu, ia melihat Medi yang duduk dengan kedua lulutnya yang ditekuk di sudut ruangan sambil menangis terisak dan kedua tangannya meremas kepalanya.
“Kamu kenapa, Sayang?” tanya Azmi yang menghampiri.
Medi tak menjawab apapun. Ia hanya memeluk Azmi. Azmi membiarkannya cukup lama. Sampai Medi mulai tenang.
“Aku nggak apa-apa,” jawab Medi yang kemudian melepas pelukannya dari Azmi. “Kita jadi kan hari ini?”
“Kamu jangan bikin aku khawatir. Kamu kenapa bisa sampai kayak gini?” tanya Azmi cemas.
“Aku nggak pengen inget aku kenapa. Jadi jangan tanya ya,” pinta Medi. “Nanti aku cerita sama kamu kalau waktunya sudah cukup tenang. Aku cuma pengen seneng-seneng sama kamu hari ini. Oke?” pinta Medi.
Azmi benar-benar tak bisa membantah. Ia takut justru Medi akan lebih parah. “Oke. Hapus dulu ya airmatanya.”
***
Tanpa banyak bicara dan membahas apa yang baru saja dialami. Kini Medi dan Azmi berangkat menuju coworking space milik teman Azmi. Bedanya hari ini cukup ramai karena kali ini sudah tidak PSBB lagi. Azmi menyewa ruang rapat lagi. Azmi baru booking kemarin malam. Untung saja sedang kosong, karena biasanya ruangan itu sering disewa sekelompok orang yang memang ingin mengadakan pertemuan.
Kali ini ruangan yang pernah mereka sewa di tempat coworking space milik teman Azmi itu sudah didekorasi dengan sangat cantik. Ada meja makan di sisi kanan meja rapat yang sebelumnya kosong.
“Kamu yang menyiapkan ini?” tanya Medi.
Azmi hanya menggeleng dan masih takjub dengan dekorasinya. Kemudian mereka masuk dan menyiapkan film yang akan mereka tonton. Seketika mereka mendengar ketukan pintu. Saat mereka buka, ternyata si pemilik tempat itu, lengkap dengan sekotak kue yang ia bawa.
“Buat kalian,” ujarnya sambil menyunggingkan senyum. “Gimana sih? Perayaan hari jadi tapi kok nggak ada kuenya.”
“Thank you,” jawab Azmi sambil menerimanya. Ia masih tak mengerti, yang ia tahu temannya yang satu ini cukup cuek.
“Gue minta maaf,” ujarnya kemudian. “Terutama sama lo, Medi. Pertemuan pertama kita kesannya buruk. Kalian custumer gue kan, bukannya gue kasih service terbaik, tapi gue malah bikin kalian nggak nyaman.”
Medi menyunggingkan senyum manisnya. “It’s ok. I understand,” jawab Medi. “Tapi ini jauh lebih keren dari yang kami harapkan. Terimakasih.”
“Nanti agak malem, pegawai gue bakal antar makan malamnya,” ujar teman Azmi mengetahui Azmi menyewa tempat itu lebih lama dan hampir seharian karena mereka memang ingin maraton semua film yang sudah mereka siapkan jika memang mereka tidak bosan nantinya. Terutama Medi, dia sangat betah jika sudah ada waktu untuk nonton seharian. Ia kurang suka dengan series yang berepisode-episode, tapi sangat suka maraton film yang berbeda dalam sehari penuh. “Lagian apa coba yang gue pikirin. Di ruangan ini kan nggak ada kasur, nggak mungkin kalian ngelakuin hal yang nggak diinginkan. Kecuali kalau memang kalian bisa,” jawabnya sambil tertawa ringan.
Medi kembali memandangnya sinis. Azmi ingin kembali menonjoknya, andai saja tangannya tidak penuh dengan kue yang cukup besar itu. “Lo tuh ya, baru minta maaf juga,” ujar Azmi menahan amarahnya.
“Sorry, sorry,” ujarnya, lalu mengambil coklat dan setangkai bunga dari ransel pinggangnya yang sedari tadi memang memperlihatkan indahnya bunga yang setengah mekar itu, hanya memperlihatkan mahkotanya, tagkainya tertanam dalam ransel. “Ini buat lo, Medi. Atas permintaan maaf gue,” ujarnya sambil menyerahkan keduanya pada Medi. “Lo gimana sih, Mi. Hari spesial tapi nggak ada bunga sama coklat. Cewek tuh suka yang kayak gini.”
“Calon istri gue nggak suka bunga,” jawab Azmi sinis.
“Tapi aku suka coklatnya. Makasih,” ujar Medi menghargai pemberian dari teman Azmi itu. Ia sangat suka coklat juga ice cream kalau suasana hatinya sedang cukup kacau Lalu mengambil salah satu dari dua macam benda yang diberikan teman Azmi.
“Well, bunganya bisa gue kasih buat cewek gue. Gue pamit dulu.”
“Jangan main-main terus. Cepet serius-in,” saran Azmi yang masih melihat temannya itu berlalu.
Mereka lalu menaruh kue itu di meja makan yang memang masih kosong.
“Aku suka bunga kok kalau kamu yang kasih,” ujar Medi kemudian. “Aku juga nggak nolak bunga pemberian teman-teman saat aku wisuda dan pelantikan kan?”
“Aku kira kamu cuma suka makanan dan buku,” jawab Azmi sambil menepuk pundak Medi, menyadari bahwa Medi sebenarnya sedang memberi kode.
Medi cemberut mendengar jawaban Azmi. “Ah kamu tuh nggak bisa romantis dikit ya? Waktu aku bilang aku nggak suka bunga itu karena bunga tuh nggak awet, nggak bisa jadi kenangan. Tapi kamu tahu kan bunga itu lambang dari apa? It can be sweet.”
“Oke, nanti aku beliin bunga,” jawab Azmi yang kini sudah duduk sambil memotong kue pemberian temannya.
“Nggak usah deh. Kalau karena aku yang minta, jadinya bukan kejutan terus nggak romantis.”
“Kok gitu sih?” tanya Azmi, sesungguhnya ia gemas dengan sikap Medi saat ini. “Aku punya sesuatu buat kamu. Aku jamin, kamu lebih suka ini daripada bunga.”
“Oh iya? Apa?” tanya Medi antusias dan lupa bahwa Azmi sudah membuatnya jengkel.
Azmi mengeluarkan bingkisan berbentuk kotak persegi panjang, rasanya seperti buku, tapi bisa jadi bukan, karena bingkisannya sedikit tinggi dan tidak terlalu lebar jika itu satu buku yang cukup tebal.
“Buka,” pinta Azmi. “Semoga pilihanku tepat.”
Medi sangat antusias untuk membukanya. Ternyata itu adalah tumpukan series Agatha Christie dengan desain cover lama, ada sebanyak sepuluh buku. Dugaan Azmi tepat, Medi sangat bahagia mendapat hadiah itu. “Kamu dapet darimana cover yang ini? Di gramed kan semuaya desain baru? Warna putih yang sama sekali nggak ada kesan misterinya.” tanya Medi penasaran.
“Di Pasar Senen. Aku muterin pasarnya sampai ketemu itu. Itu aku pilih series yang kamu belum punya bukunya.”
“Kok kamu tahu ini semua judul yang belum aku punya bukunya?” tanya Medi masih penasaran.