Suatu hari pukul 11 siang, Medi izin untuk pulang lebih dulu dari kantor karena ia akan fitting baju pengantin bersama Azmi. Sesampainya di apartemen dan hendak bersiap-siap, Medi mendengar pintunya diketuk. Medi segera menuju pintu. Rasanya tidak mungkin Azmi, karena mereka janjian untuk bertemu langsung di butiknya. Azmi harus kembali putar arah jika harus menjemput Medi dulu.
Saat membuka pintu, tamunya adalah seorang laki-laki yang tak dikenalnya. Ia memperkenalkan diri sebagai Jimmy. Medi mempersilakannya masuk.
“Maaf saya sampai ke sini. Juni bertanya pada saya setiap hari apa kamu sudah menemui saya,” ujarnya setelah dipersilakan masuk.
“Maaf dokter, tapi saya rasa saya memang belum membutuhkan psikiater,” jawab Medi yang tetap pada pendiriannya.
“Iya saya mengerti. Setidaknya kita bertemu kan? Nanti saya tinggal bilang pada Juni bahwa kamu baik-baik saja,” ujar Jimmy. “Dia yang butuh konseling. Dia itu psikiater, tapi tak bisa mengurus dirinya sendiri.”
“Dia apa kabar, dokter?” tanya Medi yang memang penasaran.
“Dia cemas akhir-akhir ini. Sidang perceraiannya ditunda. Dia sendiri yang membuatnya ditunda. Saya tidak mengerti, dulu dia yang ingin segera bercerai. Tapi sekarang Jasmine yang kesal karena Juni yang mengulur-ulur.”
Medi terdiam, menerka apa yang terjadi pada Juni. Sampai akhirnya ponsel psikiater di hadapannya itu berbunyi.
“Oke, aku yang jemput Meira. Kalian tuh ya, kamu sama Juni yang punya masalah, kenapa aku yang kena dampaknya sih?” jawab Jimmy yang kemudian menutup teleponnya.
“Maaf, saya harus segera pergi,” ujar dr. Jimmy. “Tapi kamu yakin, kamu baik-baik saja kan?” tanya lelaki yang berusia sekitar 30-an itu pada Medi.
Medi mengangguk. Ia tak ingin menahan dokter itu pergi, tapi ia penasaran dengan obrolan Jimmy dengan seseorang di telepon tadi. “Maaf, saya boleh tahu. Meira itu siapa? Kenapa dr. Jimmy singgung Juni di telepon tadi? Apa yang menelepon tadi Jasmine, istrinya Juni?”
“Iya, itu Jasmine,” jawab Jimmy. “Dia sedang ada rapat dengan klien yang sedang ia pegang kasusnya, jadi dia nggak bisa jemput Meira di sekolahnya. Dia minta saya yang menjemput agar bisa langsung dia ambil. Kalau Juni yang jemput pasti sulit dia ambil lagi. Meira itu anak mereka.”
“Saya boleh ikut?” tanya Medi. “Saya boleh bertemu Meira?”
Jimmy ragu sejenak, lalu mengiyakan. Medi mengirim pesan pada Azmi bahwa ia tak bisa fitting baju hari ini dan memintanya mengganti jadwal besok saja.
***
Medi dan Jimmy tiba di suatu taman kanak-kanak. Tak lama kemudian Meira datang menghampiri Jimmy dengan wajah yang berseri-seri.
“Hari ini dr. Jimmy yang jemput? Papa sama Mama sibuk ya?” tanya Meira.
“Iya, Sayang. Nggak apa-apa kan? Nanti Mama jemput ke rumah dr. Jimmy kok, katanya nggak lama.”
“Iya, nggak apa-apa. Meira senang kok dijemput siapa saja,” jawab gadis kecil itu tanpa raut wajah sedih sama sekali. “dr. Jimmy ajak siapa ini?” tanya Meira memperhatikan Medi.
“Oh ya, kenalin ini tante Medi, temannya dr. Jimmy sama Papanya Meira,” ujar Jimmy memperkenalkan Medi.
“Oh Tante Medi dokter juga?” tanya Meira polos.
“Bukan, Sayang. Tante Medi itu apoteker, Tante bikin obat yang biasa dikasih sama dokter-dokter kayak Papa sama dokter Jimmy ke orang-orang yang sakit,” ujar Medi sambil mengulurkan tangan pada Meira. “Senang berkenalan dengan Meira.”
“Senang berkenalan dengan Tante Medi,” jawab Meira sambil menjabat tangan Medi. Tak hanya itu, Meira juga memeluk Medi. Medi yang terkejut dipeluk anak itu secara tiba-tiba, kini justru membalas erat pelukan gadis kecil itu.
“Tante Medi suka dipeluk ya?” tanya Meira karena Medi tak melepaskan pelukannya.
“Oh iya, maafin Tante Medi. Kelamaan ya pelukannya,” tanya Medi yang kini melepaskan.
Namun Meira justru memeluknya erat sekali lagi, sebelum akhirnya ia lepas. “Nggak apa-apa kok. Meira juga suka pelukan. Papa sama Mama suka peluk Meira,” jawabnya sambil tersenyum lebar memperihatkan salah satu giginya yang tanggal. Senyum gummy smile yang sangat manis seperti Juni.
Mereka menaiki mobil Jimmy menuju rumah Jimmy. Medi masih ingin ikut, ia ingin menemani Maira sampai dijemput Jasmine. Kebetulan sekali, Jimmy merasa terbantu karena ternyata ia harus kembali ke rumah sakit. Ia belum bisa mempercayai Medi sepenuhnya karena baru bertemu. Tapi ia benar-benar harus ke rumah sakit. Meira yang duduk di samping Jimmy tertidur dibalik seatbeltnya.
“Apa dia tahu kalau Papa Mamanya akan bercerai?” tanya Medi yang duduk di bangku belakang.
“Aku nggak tahu sejauh apa anak ini paham. Tapi dia sudah terbiasa tinggal hanya dengan Mamanya, lalu minggu depannya tinggal hanya dengan Papanya. Dia tidak terlihat lelah sama sekali, dia sangat menikmati itu.”
“Dia nggak dirundung sama teman-temannya karena Papa Mamanya berpisah?”
“Nggak. Dia punya banyak teman. Suka dia ajak ke rumah Mamanya, juga kadang ke rumah Papanya. Teman-temannya tidak merundung karena Meira teman yang ceria dan menyenangkan,” jawab Jimmy.
“Apa Meira akan masih seperti ini setelah ia tumbuh besar dan menyadari Papa Mamanya bercerai?” tanya Medi sambil terisak menahan tangis.
“Kamu kenapa?” tanya Jimmy sembari melihat kaca untuk memastikan keadaan Medi.