Karena kemarin tidak jadi fitting gaun pengantin. Azmi dan Medi pergi hari ini. Kebetulan hari ini hari libur, jadi mereka bisa pergi sejak pagi.
“Oh ya, kemarin kamu pergi kemana? Maaf aku nggak sempat tanya, soalnya ternyata aku juga ada bimbingan mendadak.”
Medi ragu sejenak untuk menjawab. “Sebenarnya dr. Jimmy menemuiku.”
“That’s good,” komentar Azmi. “Terus kenapa?” tanya Azmi melihat wajah gelisah Medi.
“Aku juga bertemu Jasmine dan Meira, istri dan anaknya Juni. Lalu aku menemui Juni. Aku minta maaf, aku nggak bermaksud untuk,” kata-kata Medi terhenti karena Azmi memotong.
“Nggak apa-apa, Sayang. Aku percaya sama kamu,” ujar Azmi.
“Aku melihat Meira. Dia gadis kecil yang ceria dan penuh semangat, dia juga disukai sama teman-temannya. Aku nggak mau dia tumbuh besar seperti aku,” ujar Medi sambil menunduk.
“Loh kenapa? Dia akan jadi gadis yang manis, baik, dan sempurna, kalau tumbuh besar seperti kamu,” ujar Azmi.
Medi menggeleng. “Nggak, Mi. Aku buruk, overthinking yang benar-benar berlebihan. Aku nggak mau dia tumbuh besar dengan pikiran-pikiran yang mengganggu. Aku merasa harus bicara dengan Juni. Jasmine perempuan yang baik. Tidak ada pertengkaran di antara mereka. Mereka memutuskan untuk bercerai itu alasannya konyol. Hanya karena Juni ingin hidup sendiri aja. Walau Juni akan tetap berlaku baik pada Jasmine dan Meira. Tapi tetap aja, Meira pantas mendapatkan keluarga yang sempurna. Aku bukan bermaksud ikut campur soal rumah tangga mereka. Sok tahu, padahal baru sekali bertemu Jasmine. Tapi aku ngerasa perlu bicara soal hal ini ke Juni. Aku nggak mau Meira seperti aku.”
Azmi mengelus rambut Medi dengan lembut. “Sayang, apa yang kamu lakuin udah bener kok,” ujar Azmi menenangkan. “Dan satu lagi, jangan pernah bilang diri kamu buruk ya. Aku nggak rela ada yang bilang istriku buruk, apalagi kamu sendiri yang bilang. Kamu itu perempuan paling cantik, paling hebat, paling baik di dunia ini.”
“Itu kan dari perspektif kamu,” Medi tertawa kecil mendengarnya. “But, that’s enough for me. Cukup kamu aja yang pandang aku kayak gitu,” ujar Medi sambil menatap hangat wajah Azmi.
“Aku serius. Jangan pernah anggap kamu buruk lagi ya. Yang suka sama kamu tuh banyak tahu, kamu aja yang nggak buka hati,” ujar Azmi teringat kata-kata Denis. “Makanya aku ini beruntung banget, akhirnya aku yang dapetin hati kamu.”
“Denis ya bener-bener. Kata-kata dia terpatri di otak kamu ya?” tanya Medi.
“Udah sana coba gaunnya. Aku pengen liat secantik apa tuan putri aku nanti.”
Kalau Azmi sudah mengeluarkan jurus pujangganya, Medi tak bisa menjawab apa-apa. Karena jika ia menanggapi, Azmi tidak akan pernah selesai dan Medi akan semakin geli. Beberapa saat kemudian Medi keluar dari ruang ganti dengan gaun putihnya. Azmi benar-benar terpana dibuatnya.
“You’re so beautiful,” komentarnya singkat sambil menyunggingkan senyum lesung pipinya.
“Kamu kenapa?” tanya Medi yang megambil salah satu kursi dan kini duduk di hadapan Azmi, masih dengan gaunnya.
“Aku cuma terpesona sama kecantikan kamu. Untung kita fitting dulu ya. Kalau enggak, aku bisa pingsan di pelaminan nanti.”
Medi tertawa kecil, “Kamu nggak pingsan sekarang?”
“Iya ya? Aku udah siapin mental,” jawab Azmi sambil terus memandang kagum perempuan di hadapannya itu.
“Kamu kenapa? Aku serius. Kamu gelisah dari kita berangkat, Mi,” ujar Medi. “Kamu emang paling pinter sembunyiin sesuatu dari aku. Tapi semakin aku kenal kamu, aku semakin ngerti. Jangan kamu terus-terusan yang berusaha buat ngertiin aku ya. Kamu juga harus berbagi sama aku kalau ada sesuatu yang membebani kamu.”
Azmi terdiam sesaat sambil tersenyum tipis memperlihatkan lesung pipinya, ia terharu dengan sikap Medi kali ini. “Tesisku sedikit bermasalah. Aku bisa nggak lulus tepat waktu. Ada satu solusi, tapi aku harus ke KAIST, karena fasilitas di sana lebih memadai. Aku nggak masalah buat nunda sebenarnya, tapi dosbingku mendesak.”
Medi terdiam sejenak, “Kamu juga sebenarnya nggak pengen nunda kan? Umur kamu semakin tua karena dulu nggak langsung lanjunt S2,” ujar Medi sambil tertawa kecil. “Aku tahu, aku juga nggak pengen kamu nunda kelulusan. Nggak apa-apa kok kalau kamu ke KAIST, cuma enam bulan kan sapai tesis selesai?”
Azmi menggangguk dengan sedikit terpaksa.
“Kenapa?” tanya Medi yang masih melihat keraguan di wajah Azmi. “Aku nggak apa-apa kok ditinggal enam bulan. Aku percaya sama kamu. Kamu percaya juga kan sama aku?” tanya Medi yang kini mengelus pundak Azmi.
Azmi masih tersenyum sambil kembali mengangguk.
“Ada yang lain?” tanya Medi yang melihat keraguan di wajah Azmi belum juga hilang.
“Profesorku yang di KAIST bilang kalau riset ini masih panjang dan berkelanjutan. Dia minta aku buat bantu dia. Dia nawarin aku buat S3 di sana,” ujar Azmi kemudian. Ia lega akhirnya bisa menyampaikan ini pada Medi. Bimbingan mendadaknya kemarin adalah soal membicarakan semua itu. Kebetulan profesornya yang di KAIST juga sedang berkunjung ke Indonesia. Jadi mereka bertemu. Dan profesor itu benar-benar membujuk Azmi agar mau menerima tawarannya.
Kini Medi berlinang air mata.
“Dia mau kasih aku beasiswa dan biaya hidup,” lanjut Azmi. “Aku juga sebenarnya tanya, kalau aku bawa istriku boleh atau enggak. Dia bilang boleh,” ujar Azmi namun kemudian ia ragu apalagi setelah melihat Medi sudah berlinang airmata. “Tapi kalau kamu nggak bisa nggak apa-apa kok. Aku bakal di sana sampai selesai tesis aja.”