Tiga tahun kemudian
Azmi sudah sampai di bandara. Medi dan jagoan kecilnya sudah berjanji akan menjemput di sana, tapi Azmi sama sekali tak melihat batang hidung keduanya. Hingga akhirnya ada panggilan masuk.
“Halo, Sayang. Kamu di mana? Aku sudah di bandara,” ujar Azmi melalui ponselnya.
“Sayang, maafin aku. Aku nggak bisa jemput. Aku di rumah sakit.”
“Siapa yang sakit? Kamu kenapa?” tanya Azmi benar-benar khawatir.
“Tadi Nathan sesak nafas. Ibu Guru di tempat daycare nggak sengaja kasih susu yang ternyata ada kacang kedelainya,” jawab Medi sedikit panik.
“Terus Nathan gimana?” tanya Azmi yang jauh lebih panik.
“Dia udah nggak apa-apa kok. Aku mau bawa dia pulang. Kita ketemu di rumah aja ya. Kamu nggak apa-apa kan?”
“Iya, nggak apa-apa. Kita ketemu di rumah ya. Aku langsung pulang sekarang.”
Azmi tadinya ingin lebih santai dengan menaiki kereta bandara bersama Medi dan jagoan kecilnya. Ia ingin menikmati perjalanan Jakarta menuju Depok yang sudah cukup lama ditinggalinya. Tapi mendengar alergi Nathan kambuh, ia bergegas membawa kopernya dan memesan taxi. Ia cukup panik saat ini. Kalau ia bisa, ia ingin meminjam pintu kemana saja milik doraemon agar segera sampai rumah.
***
Sampai di rumah, Medi sudah menunggunya di ruang tamu, sedangkan jagoan kecil sudah terlelap jauh. Ia memeluk erat dan mengecup kening istrinya. Lalu bergegas menuju kamar Nathan dengan badan yang sudah sangat lengket dan berkeringat. Medi mengikutinya dan menunggu di sisi pintu kamar Nathan.
“Jagoan Ayah sudah tidur ya?” panggil Azmi di sisi ranjang, dan Nathan sama sekali tak bergeming. “Ayah pengen banget banggunin Nathan, tapi pasti Nathan capek kan hari ini? Makasih ya udah jagain Bunda selama Ayah nggak di sini. Tidur yang nyenyak ya. Besok kita main seharian,” ujar Azmi sambil mengecup kening Nathan.
Medi yang mendengarkan ikut tersenyum kecil. “Udah ayo mandi terus makan. Aku udah siapin air panasnya.”
Azmi lalu beranjak, sekali lagi mengecup kening istrinya lalu menuju kamar mandi. Selesai mandi dan berpakaian, ia segera menuju ruang makan menghampiri sang istri yang sudah menunggu.
“Rendang?” tanyanya dengan wajah berseri-seri.
Tidak hanya ada rendang, di sana juga sudah ada sup ayam, perkedel, dan masih banyak lagi. Medi sudah menyiapkan rendangnya sejak subuh sebelum ia mengantar Nathan ke daycare dan berangkat kerja. Dan karena akhirnya ia tak menjemput Azmi di bandara, ia putuskan untuk masak lebih banyak lagi. Kebetulan ia memang stok banyak bahan masakan. Mengetahui Nathan punya alergi terhadap beberapa makanan, ia lebih memilih untuk memasak sendiri.
Medi hanya tersenyum menyambut wajah berseri dari suaminya.
“Udah jago masak ya sekarang?” tanya Azmi sambil melahap besar makanan di hadapannya.
“Harus dong!” jawab Medi. “Tiga tahun ditinggal kamu, aku harus lebih jago masak dari kamu. Tiap sabtu minggu kalau aku pulang ke Bandung apa nggak main ke BSD. Kalau Nathan udah asyik main sama Kakek dan Om-nya, juga sama Naya kalau lagi di BSD. Aku pasti belajar masak sama Ibu atau sama Uni.”
Azmi yang gemas dengan penjelasan Medi melapiaskannya dengan mencubit pipi tembam istrinya. Bagi Azmi, Medi tak banyak berubah. Masih sama cantik dan manisnya. “Kita kasih adik yuk buat Nathan,” ujar Azmi mengalihkan.
Medi tersedak mendengarnya. “Kamu baru nyampe loh. Beresin dulu tuh koper kamu sama barang-barang kamu yang baru sampai,” jawab Medi sambil tertawa puas.
“Aku serius, Sayang. Aku kangen sama kamu. Aku pengen yang cantik di rumah ini nggak cuma kamu. Aku pengen liat seberapa gemas replikanya kamu,” ujar Azmi dengan senyum menggoda.
“Aku juga serius. Kita harus beres-beres dulu,” ujar Medi masih dengan senyum manisnya.
Azmi tak menanggapi lagi dan sedikit cemberut.
“Gitu aja kok marah sih?” ujar Medi sambil balas mencubit pipi berlesung Azmi. “Aku juga kangen sama kamu,” lanjutnya yang kini mengacak-acak rambut Azmi yang kini sedikit panjang dan masih basah berantakan setelah mandi.
Azmi balas tersenyum dengan sedikit terpaksa, namun tetap manis dengan lesung pipinya.
“Sayang, dengerin aku,” ujar Medi yang kini benar-benar serius. “Kita kasih adik buat Nathan minimal kalau dia sudah masuk sekolah ya?”
“Kenapa?” Azmi mengerutkan kening tak mengerti.
“Aku punya Denis sebagai adikku saat aku pertama kali sekolah, saat aku masuk TK. Aku merasa, itu waktu yang tepat buat aku terlahir menjadi seorang kakak. Aku mulai merasakan bagaimana rasanya punya tanggung jawab, walau hanya dengan PR yang nggak seberapa. Aku mulai disiplin dengan jadwal keseharian yang sedikit berubah tapi menjadi lebih teratur, dibantu Ibu. Pagi sampai siang sekolah, pulangnya mengerjakan PR, sorenya main bersama teman-teman. Malamnya tidur tepat waktu. Aku merasa menjadi dewasa, mungkin bukan dewasa, tapi ‘sudah besar’ di usiaku yang lima tahun itu, dan siap untuk menjaga adikku,” cerita Medi sambil tersenyum mengenang masa lalunya.
Azmi masih mendengarkan dengan seksama dan ikut tersenyum.