Madyam Padham

Avtor I Rezysior
Chapter #3

02. Satu Frekuensi?

"So? Kalo boleh tau waktu itu di pengadilan ngapaen?" lanjut Arya sambil melirik angka yang tertera pada alat di pojok kanan atas mesin cuci yang terisi pakaiannya. Angka berubah menjadi 5.

"Urusan pekerjaan," timpal Sekar sekenanya

"Kamu pengacara? Jaksa? Hakim?" serang Arya yang kini pandangannya lurus menatap Sekar, yang punya wajah masih duduk dengan tatapan lurus ke depan. Enggan berbasa-basi.

"Cocok sih! Cocok jadi hakim," lanjut Arya setelah keheningan menyelimuti mereka.

"Maksudnya?" kali ini Arya berhasil membuat Sekar berkutik. Walaupun masih tidak menolehkan pandangannya ke arah Arya.

"Kamu cocoknya jadi hakim, dari pengamatanku selama kita ngobrol, aku rasa kamu orang yang cukup idealis, analitis, adil juga dan mau dikritk serta mau mengakui!"

"Itu pujian ato sindiran?" tanya Sekar tak suka dengan penilaian Arya mengenai dirinya.

"Pujian dong, harus begitu jadi ahli hukum, biar gak bisa disuap, dan gak bias juga!"

"Hahaha... dan menurutku kamu orangnya judgemental! Dan itu sindiran!" tukasnya

"Kamu emang seperti ini ya? Menganggap semua orang itu kriminal?" Arya menggeser badannya agar dapat lebih dekat dengan Sekar, wajah yang semula bersahabat kini mulai redup, pandangannya tak lagi hangat.

"Seperti yang kamu bilang, aku analitis dan idealis. Dan yah... manusia itu kriminal, kalau tidak membunuh, ya dibunuh!"

"Kamu benar juga, untuk bertahan hidup manusia harus membunuh mahluk lain, aku akui itu, tapi bukan manusia aja lho yang kriminal, hewan juga, bahkan beberapa tumbuhan juga membunuh. Ya dunia ini penuh dengan para pembunuh!" seakan mereka berada pada satu frekuensi Sekar yang semula tak mengacuhkan Arya kini menoleh padanya, alisnya yang semula ditarik kini terangkat, garis wajahnya yang semula skeptis berganti dengan pandangan takjub. Arya juga tak kalah menyiratkan atmosfer yang sama, seperkian detik mata mereka seperti magnet, saling tarik menarik.

"Woow... baru kali ini ada yang sepemikiran!" puji Sekar tak percaya, ia yang bekerja sebagai reporter untuk program investigasi selalu menemukan kasus pembunuhan, pencurian, perampokan, pemerkosaan, penipuan dan kasus kriminal lainnya yang kalau ditelisik ternyata manusia itu rapuh dan kejam dalam satu waktu. 

Mereka dipenuhi dengan jiwa yang mudah tergoda, mudah menyerah, mudah terpuruk sehingga apapun akan mereka lakukan dengan dalih bertahan hidup. Sehingga itu memupuk sifkat skeptisnya terhadap hidup, dan apapun yang dilakukan oleh mahluk hidup hanya terdapat pada kepentingannya sendiri.

"Oh ya? Kamu berpikiran seperti itu juga?" raut wajah Arya kembali bersahabat. Dan seketika ia tersenyum dan tertawa kecil.

"Kok?"

"Ekspresimu lucu banget! Kamu kalo lagi kaget gitu menggemaskan," goda Arya membuat Sekar terlena, rona merah pada pipinya tercetak jelas tanpa ia sadari.

"Pipimu merah tuh!" tambah Arya dan berhasil membuat Sekar salah tingkah, dengan cepat ia berpaling dari wajah Arya. 

Sedangkan orang yang menggodanya hanya terkekeh senang, seolah berhasil memenangkan suatu kompetisi, dan begitulah menurut Arya, ia berhasil menjadi pemenang. Sepuluh detik berlalu setelah Sekar beralih pandang hingga tiba-tiba mereka dikagetkan oleh bunyi dari mesin cuci menandakan proses pencucian telah selesai. Sekar tiba-tiba beranjak menghindari tatapan Arya tanpa mengindahkan seruannya.

"Kamu mau kemana? Dani...?"

"Mo keringin bajuku! Udah kelar itu nyucinya!" kilah Sekar melangkah menuju mesin yang masih mengaduk pakaiannya.

"Itu bukan punyamu," ucap Arya seraya beranjak dan melangkah menuju mesin cuci yang sudah berhenti bekerja. Sedangkan sekar kembali duduk mencoba menahan rasa malu atas tingkahnya sendiri setelah melihat angka 11 tertera pada mesin cucinya . Pandangannya mengiktu Arya yang berjalan menuju tempat penyimpanan keranjang yang berada persis di sebelah mesin cuci yang digunakan Arya.

Sekar mengamati pahatan tubuh Arya yang tidak banyak tertutup oleh kain. Arya hanya menggunakan kaos kuning gading tanpa lengan memamerkan otot lengan atasnya yang tidak kecil dan tidak besar dilapisi kulit kuning kecoklatan, tidak gelap tidak juga cerah, ia juga memerhatikan bawah tubuh Arya yang kini menopang badannya. 

Arya tengah jongkok sambil memindahkan beberapa helai pakaiannya ke dalam sebuah keranjang kosong biru. Tubuh bagian bawah Arya hanya terbalut hingga paha bagian atas oleh celana kain berbahan Jersey, membuat dirinya terlihat cuek namun seksi dalam waktu bersamaan, memamerkan otot paha dan kaki yang kencang namun tidak besar. 

Tubuh Arya proposional menjulang saat ia beranjak untuk memindahkan seluruh pakaiannya ke mesin pengering yang bertengger tepat di atas mesin untuk mencuci. Sekar memperhatikan seluruh rangkaian kegiatan Arya hingga ia selesai memindahkan seluruh pakainnya, lalu memutar untuk kembali ke tempat duduknya. Terlihat wajah Arya yang maskulin dengan kumis dan berewok rapi tipis yang melingkari mulut tebalnya, dan Sekar menyadari bahwa Arya menarik untuk diperhatikan. 

Arya mendapati diri Sekar memperhatikannya, hanya mengangguk kecil sedikit condong ke depan seolah meminta penjelasan apa yang salah dari dirinya. Namun tak dipedulikan oleh Sekar, ia hanya menatapnya datar, menorehkan teka-teki pada benak Arya.

"Kenapa? Kok liatinnya gitu?" kalimat yang keluar dari mulut Arya begitu ia berada tak jauh dari Sekar.

"Ternyata benar yang dikatakan temanku!" timpal Sekar santai.

"Apa? Kalo manusia itu pada dasarnya pembunuh?" hanya dijawab dengan bibir moncong dan gelengan kepala ringan oleh Sekar.

"Lalu?"

"Kalo kamu itu cakep!" katanya datar.

"Balas dendam nih? Hahaha... gak mempan, gak bakalan salting aku!" ucapnya dengan senyum yang mengembang sambil menjatuhkan badannya di sebelah Sekar.

Lihat selengkapnya