"Dan...!" Roni tak kuasa untuk tidak meninggikan suaranya, sudah tiga kali ia memanggil Sekar yang duduk berjarak tiga meja dari meja kerjanya, namun tak satupun sahutan yang ia dapat dari Sekar.
Mereka tengah berada di ruang kerja Divisi Kejahatan dan Kriminalitas dari stasiun televisi Berita Ternama di negeri ini.
Sistem pembagian divisi pada tempat kerja Sekar cukup unik, karena mereka dibagi berdasarkan jenis berita, bukan berdasarkan jenis program, ataupun jam tayang. Hal ini dilakukan agar mereka dapat fokus pada lingkaran yang sama, dan menghasilkan beberapa program dari satu sumber berita.
Seperti yang sudah disebutkan bahwa pembagian divisi berdasarkan jenis berita, shingga terdapat divisi politik, divisi infotainment*, divisi olah-raga, divisi gaya hidup, divisi ekonomi, divisi budaya dan seni, divisi kesehatan dan tak tertinggal divisi kejahatan dan kriminalitas tempat Sekar berjuang menyambung nyawa.
Bukan tanpa alasan mengapa Sekar memilih dunia kriminal sebagai mata pencahariannya, sejak kecil ia sudah tertarik dengan hal-hal yang berhubungan dengan detektif.
Hal tersebut terjadi karena, ia tidak sengaja memencet remote control televisi pada minggu sore, seketita tayangan pada layar kaca yang menggantung di ruang makan, yang juga merangkap sebagai ruang tamu, serta daput rumah Sekar, menyuguhkan serial anime yang menceritakan seorang detektif SMA memecahkan berbagai kasus pembunuhan.
Ia mengagumi bagaimana seorang anak remaja putri dapat berpikir secara analitis dan rasional, sehingga setiap celah yang ditinggalkan oleh sang pembunuh dapat ia telusuri dan temukan kebenarannya.
Dari aksinya, tugas polisi diringankan dan ia disematkan gelar pahlawan. Sejak satu episode singkat mengenai kasus penculikan anak kecil yang tayang pada minggu sore itu, Sekar teryakinkan bahwa saat ia besar nanti, ia akan menjadi seorang detektif seperti layaknya tokoh fiktif tersebut.
Selang beberapa tahun setelah ia menetapkan cita-citanya sebagai detektif, tragedi kemanusiaan menimpa negeri ini, saat Sekar memasuki usia remaja. Tidak banyak kasus pembunuhan dengan racun yang sering digunakan dalam film kolosal dapat dijumpai pada kehidupan nyata.
Sekar ingat saat itu ia masih duduk di bangku SMA kelas dua, semua orang yang ia kenal, mulai dari guru sekolah, teman-teman, tetangga rumah, keluarga, dan seluruh media massa membicarakan mengenai kasus seorang aktifis muda yang tewas akibat racun dengan rumus formula KCN*.
Tak lama kemudian, polisi menentukan tersangka, akan tetapi ada sedikit kejanggalan pada kasus aktifis tersebut, dikarenakan dengan mudahnya ditemukan bukti yang tertuju langsung pada tersangka.
Sehingga banyak muncul spekulasi di masyarakat serta pro dan kontra mengenai kasus tersebut. Dari semua dugaan, tidak sedikit yang berpihak pada polisi karena terdapat banyak hal yang memberatkan tersangka.
Momen tersebut juga dijadikan kesempatan besar oleh media untuk meningkatkan jumlah penonton, pembaca dan pendengar, bahkan ada pula yang memanfaatkan kasus tersebut sebagai pengalihan isu.
Akibatnya, muncullah komentar negatif disertai ujaran kebencian tertuju padanya, menimbulkan amukan massa yang lebih percaya bahwa dirinyalah penyebab tewasnya aktifis yang berjuang untuk rakyat kecil tersebut.
Semenjak itu, hidup tersangka mengalami perubahan, terutama pada kesehatan mental dan jiwanya, membuat tersangka menjadi manusia yang terisolasi. Bukan hanya itu, ia bahkan sempat akan diusir dari wilayahnya setelah beberapa kali tempat tinggalnya diganggu masyarakat sekitar.
Padahal saat itu statusnya masih sebagai tersangka, belum terdakwa apalagi terpidana, sampai akhirnya kasus tersebut mendapatkan titik terang.
Berkat hasil investigasi dari seorang wartawan senior yang ia lakukan secara mandiri, muncul nama tersangka baru dengan sejumlah bukti kuat, bahkan tersangka baru jugalah penyebab mengapa tersangka lama ikut terseret.
Bukti-bukti yang mengarah pada tersangka lama ternyata sudah dipersiapkan oleh tersangka baru. Nama tersangka lama yang sebelumnya dipandang kotor oleh masyarakat, akrhinya kembali bersih, hidupnya pun menjadi lebih baik, walaupun orang-orang yang menghujatnya banyak yang enggan meminta maaf ataupun menyesal telah memperlakukannya secara tidak manusiawi.
Semua hal yang berkaitan dengan kasus tersebut diikuti oleh Sekar, dan sekali lagi ia terkesima dengan apa yang saksikan pada layar kaca. Ia terpesona dengan cara kerja media, betapa mudahnya dapat menggiring opini masyarakat, dapat memutar balikkan keadaan, dan dapat memaparkan kebenaran.
Sejak saat itulah cita-citanya berubah, ia tak lagi ingin menjadi detektif, melainkan seorang wartawan yang dapat memberikan kebenaran atas suatu kasus, agar masyarakat tak lagi dapat dibodohi, serta ingin mencegah oknum tertentu yang memanfaatkan media sebagai alat kepentingan bagi pribadi serta kaumnya.
Selain itu, Sekar juga bercita-cita ingin bekerja dengan sang wartawan senior. Akan tetapi, cita-citanya untuk dapat bekerja dengan sang wartawan senior kandas dikarenakan sang wartawan wafat saat Sekar masih menempuh pendidikan di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik.
Paling tidak, sebagian cita-citanya terwujud, kini ia bekerja pada satu instansi yang sama dengan program ivestigasi pembelaan kepada korban penjebakan pembunuhan terjadap aktifis muda.
"Woy, Dan!"
"Anjrit, kaget aku! Napa sih? Lagi konsen nih kelarin naskah buat Lacak," gerutu Sekar tanpa menoleh pada Roni, jarinya senantiasa menari di papan ketik laptop meja kerjanya.
Sudah hampir tiga jam ia berada pada posisi seperti itu tanpa mengubah posisi duduknya, bahkan kopi yang dari dua jam lalu ia buat masih terisi penuh, tanpa menyisakan konveksi kepulan asap di atasnya.
Suara dari berbagai macam program acara televisi yang tersuguhkan oleh sebelas layar kaca berukuran tiga puluh dua inci yang tertempel di dinding ruangan tersebut tak dapat memecahkan konsentrasi Sekar.
Tak heran tanpa ragu Roni melantangkan suaranya, untung saja usahanya membuahkan hasil, Sekar seketika terperanjat, sempat jantungnya bergemuruh. Roni pun nampak tidak bersalah setelah membentak Sekar, karena di ruangan berukuran tak lebih dari limas belas meter persegi ini, tidak terdapat manusia lain kecuali mereka berdua.
Bukan karena mereka bekerja lembur sedangkan yang lain sudah pulang lebih terlebih dahulu, bukan juga karena sudah saatnya istirahat untuk makan siang sehingga rekan kerja mereka memilih meninggalkan pekerjaan untuk mengisi perut, bukan juga karena mereka bekerja di tanggal merah.
Itu dikarenakan tim mereka yang terdiri dari tujuh orang termasuk ketua divisi dan Sekar, mempunyai tugas sendiri-sendiri dengan jam istirahat yang tidak menentu.
Selain itu sistem pergantian jam kerja dalam dua puluh empat jam serta pembagian untuk keliling ke beberapa kantor polisi dan tempat kejadian perkara membuat ruangan sempit tersebut tidak begitu menyesakkan.