Magical Revenge Shika-魔法レヴェンゲ志香: magical girl whose aim is not to save but to take revenge (series 1) novel edison

Pikri YAnor
Chapter #1

Kebakaran dan Kontrak Berdarah

'Shika Arisu' menarik napas dingin, aroma klorin dan debu tebal menempel di tenggorokannya. Ia duduk sendirian di sudut halte bus yang lembap, seragam sekolahnya yang lusuh terasa kaku dan berbau tidak sedap.

Sudah menjadi rutinitas; sekolah adalah neraka yang harus ia jalani. Punggungnya terasa nyeri, bekas tendangan dan pukulan dari 'Dewan Lima'—kelompok pembully sekolah yang dipimpin oleh 'Minami'—masih terasa.

Namun, rasa sakit fisik bukanlah yang terburuk. Yang terburuk adalah kekosongan.

"Lucy..." bisiknya. Nama itu adalah nama anjing kecil yang ia temukan di bawah kolong jembatan, satu-satunya makhluk yang memberinya kehangatan.

Lucy mati dua hari lalu. Tepat di depannya, diinjak-injak dengan sengaja oleh Minami dan anak buahnya, hanya sebagai lelucon.

Shika tidak bisa melupakan suara patahan tulang itu, atau mata Lucy yang menatapnya untuk terakhir kali—mata penuh kepercayaan yang ia gagal lindungi.

Air matanya kering. Setelah sekian lama, air mata Shika hanya menyisakan rasa asin yang pahit di lidahnya.

Pulang ke rumah juga bukan pelarian. Rumahnya adalah medan perang yang lain.

Ia bisa mendengar teriakan mereka dari jauh. Ayahnya, seorang penjudi yang frustrasi, dan ibunya yang rapuh, bertengkar tanpa henti.

Hari itu, suara pertengkaran itu terdengar lebih intens, lebih mematikan.

Shika menghentikan langkah di depan pintu, ragu untuk masuk. Sebuah insting, sebuah peringatan bahaya, menahannya.

"Kau menghabiskan semua uangku lagi, dasar perempuan tidak berguna!" Ayahnya menggeram dari dalam, suaranya dipenuhi alkohol.

"Aku hanya membeli makanan untuk anak-anak! Apa yang harus kami makan kalau kau terus kalah judi, hah?!" suara ibunya bergetar.

Tiba-tiba, keheningan. Keheningan yang menakutkan, seperti jeda sebelum badai.

Lalu, terdengar suara pecahan kaca yang keras, diikuti oleh jeritan adiknya, 'Yuu' (8 tahun), yang baru saja pulang dari penitipan.

Shika langsung membuka pintu dengan panik. Pemandangan di dalamnya membeku: ayahnya memegang botol pecah, tatapan mata yang gelap.

"Ayah... hentikan," Shika nyaris tidak bersuara.

Ayahnya menatapnya sekilas dengan tatapan kosong, sebelum berbalik dan lari keluar rumah melalui pintu belakang.

Ibunya menangis sambil memeluk Yuu, tidak menyadari seutas kabel listrik yang terkelupas di lantai, atau genangan bensin yang entah sejak kapan ada di dekat kaki meja.

Shika hanya sempat berteriak, "Ibu, Yuu, lari!" sebelum api menyambar.

Lihat selengkapnya