Setelah eksekusi Kenji yang nyaris menjadi bencana, Shika kembali ke apartemen, kelelahan hingga ke tulang sumsumnya. Bau belerang dan besi melekat pada 'jubah gothic'-nya.
Ia berhasil membersihkan diri dan menghilangkan semua jejak sihir dan darah. Namun, ia tidak bisa menghilangkan memori Renji yang mendobrak pintu penthouse.
Shika kini yakin: 'Mad Hunter' adalah ancaman nyata, dan dia semakin dekat. 'Kehampaan' di jiwanya penuh dengan energi dendam, tetapi rasa takut karena nyaris terekspos jauh lebih dingin.
Renji, di ruang tamu, sedang memeriksa sepotong kain hitam kecil itu di bawah lampu. Matanya tajam, penuh kecurigaan, tetapi juga putus asa.
"Aku hampir menangkapnya, Shika," gumam Renji, tanpa menyadari betapa dekatnya ia. "Dia 'menghilang' begitu saja. Dia menggunakan sihir teleportasi tingkat tinggi."
Shika hanya bisa mengangguk, nadanya datar. "Berhati-hatilah, Renji. Itu terdengar berbahaya."
Shika harus bertindak cepat. 'Emi Kasumi' adalah target terakhir 'Dewan Lima'.
Emi adalah kasus yang berbeda. Emi tidak pernah memukul, memeras, atau membakar. Dosanya adalah 'Kepasifan dan Pengecut'—dia membiarkan kejahatan terjadi.
Shika ingat bagaimana Emi dulu adalah satu-satunya orang yang terkadang menatapnya dengan 'penyesalan di matanya'.
“Aku hampir merasa kasihan padanya,” pikir Shika, dan pikiran itu mengejutkannya. 'Perasaan bersalah' adalah emosi yang hampir hilang.
“Perasaan bersalah adalah kelemahan, Alice. Dia memotretmu. Dia bagian dari Dewan Lima. Dia harus dihukum,” desis Caim, cepat menekan emosi Shika.
Shika memutuskan untuk memata-matai Emi di sekolah terlebih dahulu. Ia ingin memastikan Emi pantas menerima hukuman seberat yang diterima tiga target lainnya.
Emi terlihat gemetar di kelas, sering menangis dan membolos. Kehilangan tiga temannya telah menghancurkan semangatnya.
Shika mengikuti Emi hingga ke atap sekolah. Emi menelepon seseorang dengan suara serak.
"Aku tidak tahu harus berbuat apa, Minami-san! Aku takut! Mereka semua menghilang!" Emi meratap.
Shika mengerutkan kening. Emi mencari perlindungan dari Minami. Itu tidak terduga.
Shika menunggu sampai Emi selesai menelepon. Ia merasa ini adalah kesempatan terakhirnya untuk 'mengampuni' atau 'menghukum'.
Shika melangkah keluar ke atap, memanggil nama Emi. "Emi Kasumi."
Emi terlonjak. Ia berbalik, matanya yang merah karena menangis menatap Shika, wajahnya yang pucat karena ketakutan.
"A-Arisu... Shika-san?" Emi berbisik, tidak percaya.