Magical Revenge Shika-魔法レヴェンゲ志香: magical girl whose aim is not to save but to take revenge (series 1) novel edison

Pikri YAnor
Chapter #11

Karma Kepasifan dan Tak Pengampun, Pengadilan terakhir

Setelah pengkhianatan Emi di atap, Shika tahu ia harus bergerak cepat. Emi adalah 'umpan' Minami, diletakkan untuk menjebak Vengeance Alice.

Shika memutuskan ia akan menemui Emi di 'Ruang Seni' sekolah pada Senin malam, setelah jam pelajaran usai.

Itu adalah tempat yang jauh dari keramaian dan tempat Emi sering menyendiri, menangis, dan melukis. Itu adalah tempat di mana 'kepasifan' Emi terlihat paling nyata.

Shika memasuki sekolah. Ia merasakan 'aura sihir Minami' yang samar—'seperti ada jebakan sihir disana.'

Minami tidak bersembunyi. Minami ingin Shika tahu bahwa dia mengawasi.

Shika mengabaikan jebakan itu. Ia tahu ia tidak bisa melawan Minami dan (Mad Hunter) Renji sekaligus. Ia hanya harus 'lebih cepat'.

Shika menemukan Emi di Ruang Seni, dikelilingi oleh cat dan kanvas. Emi tidak melarikan diri, tetapi sedang duduk diam.

"Aku tahu kau akan datang, Shika-san," kata Emi, tanpa menoleh. Suaranya tenang, tetapi 'matanya bengkak' karena menangis.

Emi memegang sebuah foto lama—foto Shika, dan Emi saat mereka masih SD, sebelum semua terjadi.

Shika menutup pintu. Dia mengenakan jubah 'Vengeance Alice' dan mengambil posisi di belakang Emi.

"Aku datang untuk mengadilimu, Emi. Kau harus membayar 'dosa kepasifan'-mu," kata Shika, suaranya dingin.

Emi menoleh. Dia tersenyum pahit. "Aku pantas mendapatkannya, Shika-san. Aku pengecut. Aku membiarkanmu dan keluargamu hancur."

Emi menaruh foto itu di lantai, menghadap ke atas. "Aku tidak akan melawan. Aku ingin kau menghukumku, Alice."

Minami tidak menjebak Shika secara literal, dia menjebaknya secara persikologis, dia tahu Shika akan menyelesaikan tugasnya di sana.

Pengakuan tanpa perlawanan Emi membuat Shika goyah. Shika merasakan sedikit rasa bersalah di kehampaannya.

“Itu hanya trik psikologis, Alice! Jangan tertipu!” Caim mendesis keras.

"Dosa Pertama: 'Ketidakberdayaan yang Membunuh'," Shika memulai, menempelkan telapak tangannya ke punggung Emi, tempat 'kepengecutannya' bersembunyi.

Emi tersentak. Dia tidak menjerit. Dia merasakan semua rasa takut yang ia tahan, semua yang bisa ia lakukan untuk membantu, tetapi tidak ia lakukan.

Emi merasakan 'rasa sakit moral' yang hebat, seperti belati dingin menusuk organ-organ dalamnya.

Shika merasakan sensasi yang sama—'rasa frustrasi dan tidak berdaya' yang melumpuhkan. Shika hampir ambruk, tetapi Emi tetap diam, menahan diri.

Lihat selengkapnya