Kelas lengang, tidak ada pelajaran lagi, kini yang tersisa adalah jam kosong di sekolahan. Aiko duduk memandang jendela, sembari menjatuhkan kepalanya di atas meja. Tepat di sampingnya terdapat ponsel yang mati. Layarnya memantulkan wajah Aiko. Rambut hitam pendek tidak sampai menyentuh pundak. Bola matanya berwarna ungu. Mengenakan seragam sekolah bermodelkan pelaut berwarna biru dan putih. Dan juga, Aiko masih mengenakan jaket berwarna hitam serta memiliki tudung. Sesekali, Aiko memandang bangku kosong yang berada di ujung depan. Itu adalah bangku Fani, sahabatnya yang meninggal dua bulan yang lalu.
Melihat bangku itu kosong masih belum terbiasa bagi Aiko. Setiap pagi, setiap kali datang ke sekolah Aiko selalu berharap disambut oleh Fani. Namun, semua itu telah berubah, sangat berubah. Mata Aiko berkaca-kaca. Dia masih belum menerima kepergiannya. Dadanya begitu sesak setiap kali mengingatnya. Meski berusaha melupakannya, itu merupakan hal yang sulit bagi Aiko.
Kini, Aiko menutupi wajahnya tepat di atas meja. Dia ingin segera menangis. Kenangan itu, tidak bisa hilang. Masih terus membekas di kepalanya. Bahkan suara dan tingkah Fani yang menyebalkan itu juga masih ada.
Mau sampai kapan aku begini terus? Aiko bertanya pada dirinya sendiri. Air matanya kini mulai berjatuhan.
“Aiko, kenapa kamu menangis?” Suara itu tidak asing bagi Aiko. Lantas dia bangkit. Aiko menolah ke belakang. Sosok Fani berdiri di sana sembari menyunggingkan bibir.
Aiko membuka matanya. Semua itu hanyalah mimpi. Kini air mata Aiko yang berjatuhan semakin menjadi-jadi. Dia menangis terisak-isak. Air matanya membasahi pipi dengan deras. Sendirian di dalam kelas. Semua sudah pulang terlebih dahulu. Hanya menyisakan Aiko.
Dari balik pintu depan, Hikaru berdiri, memandang Aiko yang masih belum bisa merelakan kepergian Fani. Laki-laki itu berambut hitam pendek rapih. Bola mata hijaunya masih menatap Aiko. Dia menghembuskan napas. Apa yang harus dilakukannya? Hikaru menyandar pada dinding di depan kelas. Tidak tahu harus berbuat apa.
Bagaimana aku bisa melindunginya kalau aku sendiri belum bisa membuatnya tersenyum? Hikaru bertanya pada dirinya sendiri.
Hikaru menatap langit-langit. Menatap lampu yang mati bergantung. Tidak ada yang menarik dengan bola lampu itu. Dia hanya menatap tanpa tujuan yang jelas. Kemudian, tatapannya kembali melirik Aiko yang masih duduk di bangkunya.
Hikaru pun melangkah masuk kelas itu. Kelas yang terlihat rapih. Papan tulis masih bersih tanpa noda sama sekali. Bangku guru yang berada di pojok kanan depan kosong, hanya terdapat spidol papan tulis tertata pada tempatnya. Hikaru terus melangkah menghampiri Aiko.
“Aiko....” Hikaru memanggil. “Hari ini kamu kosong, bukan?”
Aiko menoleh, menatap Hikaru sembari mengusap air mata. “Kosong, kenapa?”
“Aku ingin mengajakmu jalan-jalan.” Hikaru mengambil bangku kosong yang berada di depan Aiko. “Ngomong-ngomong matamu terlihat sembab, apa yang terjadi?”
Aiko menggeleng, seolah semua baik-baik saja. Padahal sebenarnya tidak. Hikaru menopang dagu, menatap jendela yang berada di sampingnya. Langit di luar cerah. Meski beberapa awan ada yang masih menggantung. Dia berharap nanti sore tidak hujan. Biasanya kalau sudah senja pasti akan berawan.
“Hei, bagaimana kabar Misaki?”
“Dia baik-baik saja, mungkin saat ini dia tengah ujian.”
“Begitu ya.”
Itu basa-basi yang buruk bagi Hikaru. Lengang menyelimuti sekitar. Aiko kembali melamun, menatap ponsel. Dia pun mengambil ponsel itu, membukanya. Dia membuka galeri foto. Banyak sekali foto yang tersimpan di sana. Bahkan termasuk foto dirinya dan Fani.
“Entah kenapa aku merindukannya?” Aiko memecah keheningan. “A-aku, tidak bisa—”