Magnitudo

Bentang Pustaka
Chapter #3

Prolog - Rinaian Senja

TIRAI salah satu jendela di Lantai 3 sebuah rumah sakit besar di Yogyakarta itu masih terbuka, menampakkan keributan yang terjadi di dalam sana. Derap-derap langkah terburu yang berpacu dengan waktu terdengar bertalu-talu, memukul-mukul rongga dada yang bergemuruh karena rasa cemas dan takut.

“Ibuuu ...!!!” Teriakan pedih itu menggetarkan malam yang belum jauh. Membelah hati, menorehkan duka. Sepasang tangan yang mengguncang tubuh itu tak jua mampu membangunkannya kembali, bahkan sampai dia putus asa pun tubuh itu tak bergerak sedikit pun. Lalu, sepasang tangan yang lain menyentuh wajah pucat yang terlelap itu sambil terisak pedih. Pada senja yang sendu ini, takdir seolah merenggut paksa semua cahaya dalam hidup mereka. Gelap!

“Ibu ...! Ibu …!” Seruan berikutnya semakin memecah tenangnya malam yang berjalan beriringan dengan rinaian hujan. Linangan air mata yang tak terbendung itu menambah pilu suasana pada malam yang dingin.

“Uwis, Nduk, jangan begitu! Kasihan Ibu ....” Seorang wanita tua mengelus pundak Kirana—gadis yang menangis tersedu-sedu sambil memeluk tubuh ibunya yang terlelap begitu damai. Wanita tua itu menarik pelan tubuh Kirana karena jenazah akan segera dipindahkan. Seketika, tubuh Kirana luruh ke lantai. Wanita tua itu langsung mendekapnya.

“Kenapa harus secepat ini, Mbok?” tanyanya lirih sambil mengusap air matanya.

Sementara Dhina, yang sejak tadi berdiri kaku di samping jendela memandangi perawat yang melepas semua peralatan medis hingga menarik kain putih sampai menutup seluruh wajah penuh kedamaian itu, berlari keluar dengan keadaan yang sama: berlinangan air mata. Mbok Karti yang masih menenangkan Kirana menoleh kepada sang kakak.

“Lho! Mbak Dhina mau ke mana?” teriak Mbok Karti kepada Dhina yang berlari keluar.

“Mbak Dhina!” seru Kirana sambil melepaskan pelukan dan langsung menyusul kakaknya ke luar, meninggalkan Mbok Karti sendirian di dalam ruangan bercat hijau muda itu. Mbok Karti menunggu sampai kedua perawat itu membawa jenazah majikannya.

“Owalah, Bu, kenapa harus secepat ini?” gumam Mbok Karti lirih sembari menatap kepergian majikannya. “Bagaimana dengan Mbak Dhina dan Kirana?” lanjutnya perlahan dengan suara parau karena dia juga tidak kuasa menahan air matanya yang tiba-tiba mengalir dari kedua mata tuanya.

***

Dhina berhasil melarikan kakinya keluar dari gedung rumah sakit. Dia berhenti di taman kecil rumah sakit yang tidak begitu jauh dari ruang rawat ibunya. Akhirnya, dia jatuh terduduk di anak tangga di dekat air mancur yang ada di tengah taman. Dibenamkannya wajahnya di atas lututnya yang tertekuk. Dia menangis tersedu seorang diri. Kepedihan itu telah mengiris-iris hatinya. Pikirannya terasa kosong hingga dia tidak mampu untuk sekadar menatap wajah pucat ibunya karena hal itu memaksanya untuk menerima kenyataan bahwa ibunya telah tiada, bahwa ibunya telah pergi selamanya. Cahaya hidupnya menghilang seketika.

Seseorang datang dari arah belakangnya dan berhenti tepat di sampingnya, tetesan gerimis tak lagi menerpanya. “Dhina.” Seseorang menyebut namanya pelan.

“Rafka ...,” gumam Dhina pelan tanpa harus menoleh karena dia sudah hafal suara itu. Laki-laki itu kemudian duduk di dekatnya.

Rafka hanya memandangnya, lalu menepuk-nepuk pundaknya pelan. Meskipun Rafka tidak berkata apa-apa, tapi dia tahu ketulusan lelaki itu. Lalu, air matanya kembali berlinangan saat kedua mata lelaki itu menatap ke arahnya dengan penuh pengertian. Saat itu juga satu tangan Rafka merengkuh pundaknya, memberikan tempat kepadanya untuk bersandar. Setidaknya saat ini dia bisa berlindung kepada Rafka.

Lihat selengkapnya