Aku tak pernah seakrab ini dengan bau obat dan karbol yang berbaur jadi satu. Lalu lalang orang yang merintih sakit, keluarga-keluarga yang saling menguatkan, teman, bahkan kenalan yang kebetulan duduk di kursi tunggu bersebelahan saling memberi dukungan. Meyakinkan satu sama lain bahwa apa yang tengah mereka derita akan sembuh secepatnya
“Atas nama Ibu Lia?” teriak salah seorang perawat yang membuatku tersontak dan melompat berdiri.
“Iya, saya.” ujarku sembari menggenggam dua lembar kertas yang kemudian diminta oleh perawat tadi. Ia mengantarku pada sebuah ruang persegi putih dengan dua tempat tidur dan seperangkat meja kursi beserta alat-alat yang tak kukenal.
“Silahkan lepas semua bajunya ya, Bu. Lalu berbaring di sini.” Si perawat tadi menunjuk sebuah ranjang yang paling pinggir. Aku mengangguk enggan meski setelah itu sang perawat menutup gorden rapat-rapat, memberiku ruang untuk melepas pakaian.
Setelah menaruh semua yang kukenakan kecuali celana dalam di atas nakas stainless, aku berbaring dan menunggu. Perawat tadi mendorong sebuah alat kecil dengan kabel saling menjuntai untuk memeriksa kondisi jantungku. Aku bertanya-tanya tentang alat sekecil itu sanggup membaca kelainan yang terjadi pada jantung.
Beberapa bulan terakhir, aku tahu bahwa tubuhku sedang tidak baik-baik saja. Perut yang nyaris tiap hari tak nyaman dirasa, sakit kepala yang datang dan pergi sesukanya, serta jantung yang tiba-tiba ikut berdegup kencang tak teratur. Aku menyerah saat nafasku terengah-engah hanya karena beralih dari duduk ke berdiri. Kutangkap bahwa isyarat itu sinyal yang dikirim tubuhku untuk segera ditangani. Kecemasanku memuncak begitu merasakan organ yang sangat penting ini mulai ikut menjerit.
Suara dari alat tersebut memecah keheningan ketika aku hanya berbaring mencoba tak bergerak selain bernafas sambil melihat langit-langit ruangan. Kudengar perawat tadi berbincang dengan perawat satunya yang sibuk di meja kerja sambil menulis di atas tumpukan catatan yang kemudian ia rapikan. Lima menit berlalu, dan kabel-kabel yang menjepit tubuhku dilepas. Lagi-lagi aku diberi ruang untuk memakai pakaianku kembali. Begitu semua bajuku sudah melekat di tubuhku, kubuka gorden dan melihat si perawat menempelkan hasil rekam jantungku ke kertas menggunakan lem.
“Jantung saya kondisinya bagaimana ya, Sus?” tanyaku tak sanggup menahan rasa penasaran.
“Nanti biar dokter yang menjelaskan, ya.”
“Tapi menurut Suster ada masalah tidak dengan jantung saya?”