Magnolia

Fitri F. Layla
Chapter #2

Bab 2 (Bunga yang Dipetik)

Juli, 2005

 

Hari ini hari pertamaku masuk ke sekolah baru. Seragam yang kukenakan masih wangi dan kaku khas kain baru. Warnanya putih cemerlang. Dengan rok merah panjang yang plisketnya masih terlipit rapi. Namaku Magnolia. Senyumku merekah seindah bunga yang tersemat menjadi namaku.

“Lia, maafin Ibu, ya. Karena kita pindah rumah lagi kamu harus pindah sekolah lagi.” kata Ibu saat mengantarku sampai ke depan gerbang sekolah.

“Nggak apa-apa, kok,” jawabku. “Lia suka dengan sekolahnya.”

Meninggalkan sekolah lama sebetulnya tak mudah untukku. Kehilangan teman dan guru-guru yang kusukai. Bahkan harum cat kelas di sekolah lama masih tertinggal di indera penciumanku. Namun, kondisi keuangan dan harga sewa rumah sebelumnya menjadi lebih mahal dua kali lipat sehingga kami memilih pindah ke rumah yang lebih cocok dengan uang yang kami punya. Aku, anak perempuan pertama di keluarga. Sudah sepantasnya selalu mendukung keputusan orang tua. Mengesampingkan perasaanku. Karena egois tak pernah ada dalam ajaran yang kudapat dari didikan Ayah dan Ibu.

***

“Enakan di sekolah lama atau di sini?” tanya seorang anak perempuan yang duduk di depanku.

“Tidak tahu.” jawabku jujur yang tidak memuaskan anak tadi.

“Di sini enak lho …” ia mencerocos panjang lebar dengan kecepatan yang luar biasa. Aku tak dapat menangkap keseluruhan apa yang ia katakan. Yang jelas poin utamnya adalah dia sangat membanggakan sekolah yang kutempati.

“Ada satu guru yang jadi panutan kita semua.” Kali ini ceritanya sudah sampai pada sosok guru-guru.

“Siapa?” tanyaku.

“Pak Budi. Dia guru matematika dan PPKn.” Aku mengangguk-angguk dan tersadar bahwa setelah doa pagi, pelajaran pertama kami adalah matematika.

“Berdiri!” teriak ketua kelas yang membuat seluruh anak di kelas melompat dari tempat duduknya dan sigap dalam posisi berdiri.

“Beri salam!”

“Assalamu’alaikum, Pak Guru!!!” seru satu kelas saat Pak Budi yang baru dibicarakan teman depan bangkuku berjalan menuju mejanya.

Wa’alaikumsalam.” Pak Budi menjawab pendek. Setelah itu, ketua kelas kembali berseru menyuruh kami semua kembali duduk.

Lihat selengkapnya